Agar Demokrasi Berintegritas, Jimly Usul Etika Pejabat Publik Harus Dibikin Lebih Konkret

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Oktober 2018
Kategori: Berita
Dibaca: 18.099 Kali
Suasana Seminar Nasional dengan tema "Peran Lembaga Etik Dalam Mengawasi dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Publik" di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV DPR RI, Jakarta, Senin (8/10) siang. (Foto: Anggun/Humas)

Suasana Seminar Nasional dengan tema “Peran Lembaga Etik Dalam Mengawasi dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Publik” di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV DPR RI, Jakarta, Senin (8/10) siang. (Foto: Anggun/Humas)

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H.,M.H. mengusulkan agar etika yang mengatur tata perilaku pejabat publik dibuat lebih konkret sebagaimana pernah dialami hukum di zamannya.

“Dulu hukum juga tidak ditulis. Barulah lama-kelamaan ditulis menjadi peraturan perundang-undangan dan diberi landasan filosofis yuridis,” kata Jimly saat menjadi pembicara pada Seminar Nasional dengan tema “Peran Lembaga Etik Dalam Mengawasi dan Menjaga Perilaku Etik Pejabat Publik” di Ruang Pustakaloka, Gedung Nusantara IV DPR RI, Jakarta, Senin (8/10) siang.

Sekarang, lanjut Jimly, semua negara berlomba-lomba memperkenalkan sistem etika, yaitu etika pejabat publik. Ia menyebutkan, hampir semua undang-undang yang mengatur mengenai kelembagaan negara, baik eksekutif, legislatif, yudikatif atau lembaga campuran, sekarang semuanya sudah mengadopsi ketentuan mengenai kode etik dan komite majelis-majelis kehormatan penegak kode etik.

Namun mantan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu menegaskan, diperlukan suatu upaya sungguh-sungguh untuk menjamin supaya negara demokrasi kita tidak hanya diimbangi oleh tegaknya rule of law tapi juga rule of ethics.

“Supaya demokrasi kita ini berintegritas sehingga negara kita tidak hanya menjalankan aturan hukum tapi juga berintegritas,” tutur Jimly.

Salah satu hal menarik disampaikan Prof. Jimly bahwa hampir semua logika yang terkait dengan kebijakan kode etik di seluruh dunia masih dipahami etika sebagai masalah privat, tidak boleh dibuka-buka keluar. Bagi Jimly hal itu adalah pengertian lama sebagai akibat pengaruh sekularisme, pemisahan agama dan negara.

“Yang kemudian ekstrem, maka etika itu dianggap bagian dari agama, harus dijauhkan dari negara. Itu acara pandang lama, sekarang sudah tidak begitu lagi. Tapi sekarang semua negara, termasuk Inggris, Amerika, Australia, sudah punya UU tentangethics of public officer,” ujarnya.

Prof. Jimly juga menyampaikan bahwa saat ini kita perlu bersyukur karena di DPR sudah terdapat 2 RUU, tentang etika penyelenggaraan negara dan etika lembaga perwakilan rakyat. Ia pun berharap tahun depan RUU tersebut dapat dijadikan prioritas untuk dapat disahkan.

“Saya hanya ingin menggarisbawahi bahwa ada usaha kita untuk menata ulang sistem etika bernegara dan kita mendorong segera RUU-nya dijadikan prioritas,” kata Jimly.

Acara yang diikuti peserta dari DPRD Kabupaten/Kota dan Provinsi di Indonesia, Kementerian/Lembaga, Mahkamah Agung, Kejaksaan, Polri, kalangan perguruan tinggi dan akademisi, dan IKAHI itu juga dihadiri oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah dan Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI Dr. Ir. Sufmi Dasco Ahmad, SH, MH. (RAF/GUN/ES)

Berita Terbaru