Bahasa Sebagai Pemersatu Bangsa

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 1 November 2018
Kategori: Opini
Dibaca: 144.953 Kali

Eko SulistyoOleh: Eko Sulistyo*)

Dalam ikrar Sumpah Pemuda, salah satunya adalah pengakuan Bahasa Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tanah air dan bangsa Indonesia.  Dalam sejarahnya, Bahasa Indonesia sendiri adalah sebuah proses perkembangan dari bahasa Melayu yang menjadi bahasa “Lingua Franca” diantara keberagaman etnis, bangsa dan latar belakang sosial yang hidup di kepulauan nusantara. Lingua Franca yang berasal dari bahasa Latin artinya adalah bahasa penghubung antara komunitas yang berbeda bahasa di wilayah geografis yang cukup luas (Nusantara).

Dalam perkembangannya, apa yang kita kenal sebagai Bahasa Indonesia menjadi meluas karena peran dari percetakan diawal abad ke-20 yang menerbitkan kesusastraan dan pers nasional. Dari Bahasa Indonesia terjadi pembentukan kesadaran nasional dikalangan anak muda terpelajar saat itu. Indonesia yang dibayangkan (imagined community) kian dipersatukan oleh bahasa yang memungkinkan warganya dari berbagai latar belakang sosial, bersentuhan dengan dunia modern.

Karena itu Bahasa Indonesia tidak hanya menjadi alat ekspresi dari nasionalisme, tapi juga aspirasi tentang Indonesia.   Dalam dunia kolonial yang hirarkis (dan rasis), Bahasa Indonesia juga menjadi ekspresi dari kebebasan dan persaamaaan diantara sesama manusia. Maka benar seperti dikatakan Ben Anderson (2000) dalam Kuasa Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia, bahwa fungsi publik utama bahasa Indonesia terletak dalam perannya sebagai pemersatu.

Sastra dan Pers Pergerakan

Salah satu jasa penting yang menyebarkan Bahasa Indonesia secara meluas pada awal abad ke-20 adalah kesusastraan popular yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit Tionghoa peranakan. Melalui sastralah imajinasi Indonesia diikat, dimana manusia nusantara dari berbagai pulau bisa menikmati sebuah karya sastra yang sama. Pemerintah kolonial kemudian menyadari bahwa sastra telah mentransformasikan kesadaran lokal (kedaerahan) menjadi kesadaran nasional, sebuah ancaman buat status quo kolonial.

Apalagi ketika para tokoh pergerakan nasional juga menggunakan sastra sebagai ekspresi perlawanan atas tuan kolonial mereka seperti dalam novel Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo.  Pemerintah kolonial menstigmatisasi sastra seperti itu dengan sebutan “Bacaan Liar”. Bahkan pemerintah kolonial membentuk penerbitan Balai Pustaka, untuk memproduksi dan mendistribusikan bacaan dan mencegah munculnya identitas nasional ke-Indonesiaan serta menjauhkan muatan politis dalam karya sastra.

Menurut Hilmar Farid, “Kolonialisme dan Budaya Balai Poestaka di Hindia Belanda” dalam Prisma, 10 Oktober 1991, Balai Pustaka didirikan untuk menghindari dan menjauhkan rakyat jajahan dari bacaan politik. Dalam konteks tersebut, Balai Pustaka juga membangun konstruksi bahasa Melayu yang tertib dan sopan untuk merendahkan bahasa Melayu sastra yang telah dicap sebagai “Bacaan Liar”.

Pada masa pergerakan nasional bahasa Melayu bersifat progresif karena menarik garis atas dominasi kekuasaan birokrasi kolonial dan hirarki feodal. Peran penting itu dimainkan oleh pers pergerakan, yang menjadikan Bahasa Indonesia sebagai aspirasi politik untuk menggugat pengusasa kolonial. Tirto Adisuryo, yang disebut sastrawan Pramoedya A. Toer sebagai “Sang Pemula’’ yang menerbitkan surat kabar Medan Priyayi, adalah pelopor yang menggunakan Bahasa Indonesia dan pers  bukan hanya sebagai bahasa pemersatu, tapi juga sebagai bahasa perlawanan mengkritik kekuasaan kolonial.

Mutualisme Bahasa Indonesia dan pergerakan nasional kemudian direspon oleh pemerintah kolonial dengan membuat aturan hukum persdelict, yang intinya penguasa bisa melakukan kriminalisasi atas jurnalis dan media yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan negara kolonial.

Pada masa penjajahan Jepang, derajat bahasa Indoenesia dinaikkan sebagai bahasa resmi dalam birokrasi menggantikan Bahasa Belanda.  Bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa resmi di sekolah-sekolah dan perkantoran. Pada masa Revolusi 1945-1949, bahasa Indonesia menjadi bahasa perlawanan dan ekspresi menolak kedatangan Belanda.  Karena itu di era revolusi kemerdekaan, bahasa Indonesia menjadi bahasa anak muda dan pemberontakan.

Bahasa Persatuan

 Sejak awal pembentukannya, Bahasa Indonesia menunjukan proses sosial, budaya, dan politik yang menjadi sikap bersama sebagai bangsa Indonesia. Karena itu Bahasa Indonesia juga dapat dianggap sebagai cerminan sikap kebangsaan untuk memajukan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai sebuah produk sosial-budaya yang bhineka, Bahasa Indonesia mempunyai beberapa karakter.

Pertama, bersifat inklusif dan terbuka.  Berbagai bahasa daerah dan bahasa asing menjadi bahasa serapan dan kemudian menjadi Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menunjukan proses komunikasi dan pergaulan masyarakat yang inklusif, termasuk pergaulan dengan bangsa lain. Karena itu, ide “pemurnian bahasa’’ bertentangan dengan prinsip inklusif yang menjadi roh dari Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang hidup karena inklusivismenya.

Kedua, bersifat pluralis.  Menerima perbedaan dan keragaman sebagai sebuah kekayaan bangsa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah cerminan  dari Bhineka Tungal Ika—keberagaman yang menjadi legasi bangsa.  Bahasa Indonesia akan terus berkembang karena pluralisme menjadi roh dari bahasa tersebut. Tanpa plurlisme Bahasa Indonesia ibarat badan tanpa jiwa.

Ketiga, bersifat demokratis dan egaliter.  Semua orang dari berbagai status sosial, latar belakang, suku dan agama dapat berkomunikasi langsung dengan menggunakan bahasa yang sama. Tidak ada hirarki sosial dalam penggunan Bahasa Indonesia.  Karena itu Bahasa Indonesia dengan cepat dapat menjadi “bahasa kemanusiaan” dimana semua manusia menjadi setara dihadapan Bahasa Indonesia.

Keempat, bersifat pemersatu bangsa. Bahasa Indonesia kehadirannya dapat diterima disemua daerah, wilayah, lintas agama dan lintas etnis, orang desa dan orang kota, perempuan maupun laki-laki. Kehadiranya sebagai pemersatu sudah berumur lebih tua dari Republik Indonesia sendiri.  Dengan karakter tersebut maka sikap anti pluralis, anti inklusivitas, anti kesetaraan dan pemecah belah persatuan bangsa, dapat dianggap ancaman bagi keberlanjutan bahasa Indonesia.

Oleh karena itu, inklusivisme, egalitarisme dan pluralisme yang melekat pada Bahasa di Indonesia perlu dikelola untuk kebutuhan pembangunan sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia. Kebijakan memasukkan Bahasa Indonesia, bahasa daerah dan bahasa asing dalam pendidikan harus dapat meningkatkan peran bahasa Indonesia sebagai peneguh identitas bangsa yang menyatukan keberagaman suku bangsa di Indonesia.***

————-

*) Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden.

**) Artikel ini sudah dimuat di Koran Sindo, 1 November 2018.

 

Opini Terbaru