Deklarasi Djuanda dan Visi Mochtar Kusumaatmadja*)

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 14 Desember 2018
Kategori: Opini
Dibaca: 138.642 Kali

Eko SulistyoOleh: Eko Sulistyo**)

Tanggal 13 Desember 1957, adalah tonggak sejarah yang penting bagi perjuangan bangsa Indonesia paska kemerdekaan dalam meneguhkan kedaulatan wilayah NKRI.  Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, belum mampu menyatukan wilayah nusantara yang terdiri dari pulau-pulau yang dipisahkan oleh lautan seperti Indonesia saat ini.  Namun pada hari ini, 61 tahun yang lalu, Perdana Menteri Djuanda menyatakan bahwa pemerintah Indonesia memiliki “kedaulatan mutlak” atas semua perairan yang berada di garis pangkal lurus yang ditarik di antara pulau-pulau terluar Indonesia.

Garis-garis pangkal lurus ini, meliputi semua pulau yang membentuk negara, membentuk Indonesia—tanahnya dan lautan yang di atasnya pemerintah Indonesia menegaskan kedaulatan—menjadi satu wilayah tunggal untuk pertama kalinya.  Peristiwa yang dikenal dengan “Deklarasi Djuanda” ini membuat kaget dan marah kekuatan maritim Barat terutama Belanda.  Karena acuan mereka adalah Teritoriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939—Undang Undang Laut buatan Belanda tahun 1939—atau disingkat Ordonantie 1939.

Dalam peraturan Belanda tersebut, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut sejauh tiga mil dari garis pantai. Mereka kawatir implikasi Deklarasi Djuanda terhadap pergerakan kapal-kapal bebas melalui kepulauan dan akses ke daerah penangkapan ikan di perairan yang sekarang diklaim oleh Indonesia. Selain akan membatasi mobilitas angkatan laut mereka dan mengganggu pelayaran internasional.

Namun bagi Indonesia, Deklarasi Djuanda tidak hanya menunjukan keinginan untuk menciptakan kedaulatan negara sebagai suatu entitas fisik.  Tapi juga menandai perjuangan diplomasi Indonesia selama 25 tahun hingga diperolehnya pengakuan internasional pada tahun 1982. Ketika United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) ke-III, secara resmi mengakui keberadaan negara-negara yang dikenal sebagai negara kepulauan, dan menyatakan bahwa negara-negara ini memiliki kedaulatan atas perairan kepulauannya.

Visi Mochtar Kusumaatmadja

Salah satu tokoh sentral penyiapan rancangan Deklarasi Djuanda adalah Mochtar Kusumaatmadja. Anak muda yang memiliki keahlian dalam hukum internasional dan menerima LLM dari Yale University, Law School, dengan predikat cum laude (1956). Menamatkan sarjana hukumnya (S1) di Fakulktas Hukum Universitas Indonesia (1955). Lulus doktor (S3) bidang ilmu hukum internasional dari Universitas Padjadjaran Bandung (1962), dan menjadi guru besar di almamaternya.

Dalam karir birokratnya, Mochtar pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dari tahun 1974 sampai 1978, dan Menteri Luar Negeri dua periode dari tahun 1978 sampai 1988. Kerap mewakili Indonesia di PBB dan perundingan-perundingan internasional, terutama mengenai batas darat dan batas laut teritorial. Beberapa karya tulisnya telah mengilhami lahirnya UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

Konsep Mochtar yang menjadi subtansi dalam Deklarasi Djuanda adalah tentang pengaturan yang memberikan “wilayah lautan” Indonesia seluas mungkin yang dapat dipertahankan sesuai dengan hukum internasional. Kemudian yang terpenting adalah tentang karakter khusus Indonesia sebagai “negara kepulauan” yang kelak diterima sebagai prinsip Archipelagic State dalam UNCLOS.

Dalam dokumen UNCLOS, disebutkan bahwa “Negara Kepulauan” adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.  Sedangkan “kepulauan” adalah gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungannya satu sama lainnya demikian eratnya sebagai suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik.

Menurut Butcher dan Elson (2017), dalam bukunya Sovereignty and The Sea: How Indonesia Became An Archipelagic State, Deklarasi Djuanda mencerminkan kejelasan visi Mochtar tentang Indonesia. Ini dimulai dengan menegaskan keunikan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau, dan kepulauan Indonesia telah menjadi entitas sejak zaman dahulu. Untuk kesatuan teritorial dan melindungi sumber daya negara Indonesia, seluruh Nusantara bersama dengan laut yang ada di dalamnya harus dianggap sebagai satu unit yang integral.

Maka ketentuan pasal 1 Ordonantie 1939, oleh Mochtar dianggap membatasi laut teritorial Indonesia karena membagi wilayah darat Indonesia menjadi bagian-bagian terpisah yang memiliki perairan teritorial sendiri. Oleh karena itu, pemerintah menyatakan bahwa semua perairan yang mengelilingi, antara, dan menghubungkan pulau-pulau milik negara Indonesia, tanpa memandang dimensi atau lebarnya, merupakan bagian integral dari wilayah dan kedaulatan negara Indonesia.

Untuk meminimalkan penentangan dan melindungi kepentingan Indonesia dalam kelancaran perdagangan, pemerintah harus menjamin “perjalanan damai” (lalu lintas damai) di laut dalam oleh kapal asing, selama tidak mengancam kedaulatan dan keamanan negara Indonesia. Demikian visi Mochtar yang telah memberi landasan konsep bagi diplomasi Indonesia di konferensi-konferensi dan perundingan-perundingan internasional mengenai yurisdiksi perairan laut Indonesia.

Senjata Diplomasi

Deklarasi Djuanda telah memberi konsepsi baru yang radikal tentang Indonesia kontemporer sebagai satu wilayah tunggal yang bersatu. Peningkatan identitas nasional yang menyatukan wilayah Indonesia sebagai kesatuan geografis yang utuh dengan batas-batas terluar rangkaian kepulauan dikelilingi oleh “laut teritorial” sampai jarak dua belas mil laut. Sebuah pencapaian yang memperluas dua kali lipat wilayah Indonesia dengan diplomasi dan hukum internasional tanpa letusan peluru.

Dalam perspektif diplomasi, membaca kembali sejarah Deklarasi Djuanda akan memberikan banyak pelajaran penting. Tidak hanya subtansi, tapi juga visi Mochtar Kusumaatmadja, yang mampu menempatkan Indonesia sebagai “aktor besar” di panggung internasional. Pemikirannya tentang negara kepulauan, tidak hanya bermanfaat bagi Indonesia, tapi juga masyarakat internasional.

Kini, di tengah dinamika geopolitik yang berubah cepat, konsepsi negara kepulauan dalam UNCLOS harus menjadi senjata diplomasi dalam perundingan-perundingan terkait dengan wilayah teritori kedaulatan Indonesia.  Pencapaiaan dalam UNCLOS sebagai norma-norma internasional tentang hukum laut harus tetap dijaga dan dipertahankan.

Bagi bangsa Indonesia, laut adalah bagian teritori negara yang memiliki fungsi vital bagi kelangsungan hidup sebagai bangsa. Untuk itu, keberhasilan perjuangan Deklarasi Djuanda yang menempatkan laut dan perairan antar pulau, tidak lagi menjadi pemisah, tapi menyatukan kepulauan nusantara, hendaknya menjadi visi setiap pemerintahan yang berkuasa dalam membangun konektivitas Indonesia.

———

*) Dimuat di Suara Pembaruan, 13 Desember 2018.

**) Penulis adalah Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden

Opini Terbaru