Komitmen Pemerintah Dalam Penyediaan Infrastruktur: Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016?

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 15 Maret 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 125.799 Kali

Pengadaan-TanahMuhamad Zulfikar Ali *)

Pada tanggal 8 Januari 2016 Presiden telah menerbitkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, penerbitan Perpres dan Inpres tersebut dimaksudkan untuk akselerasi pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam menghadapi era pasar bebas, dan mewujudkan Nawacita yang menjadi kebijakan Presiden yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019.

Intinya dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 bertujuan untuk mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional guna memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dengan melakukan upaya simplikasi dan kemudahan perizinan dan nonperizinan, penyelesaian tata ruang dan kepastian penyediaan lahan, pemberian jaminan atas risiko perubahan kebijakan Pemerintah, penugasan kepada BUMN, percepatan pengadaan barang/jasa Pemerintah, pemberian diskresi dalam penyelesaian hambatan dan perlindungan hukum bagi aparatur pelaksana proyek strategis nasional, serta daftar proyek infrastruktur yang mencapai 226 proyek yang terdapat diseluruh Indonesia.

Sedangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2016, intinya memberikan instruksi kepada stakeholder terkait untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan dan/atau memberikan dukungan percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN), yang mencakup penyiapan PSN, pengadaan lahan/tanah PSN, pendanaan PSN, perizinan dan nonperizinan PSN, pelaksanaan pembangunan fisik PSN, pengawasan dan pengendalian PSN, pemberian pertimbangan hukum dalam pelaksanaan PSN, dan/atau mitigasi risiko hukum dan non hukum dalam pelaksanaan PSN.

Sekilas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 memberikan obat generik atas berbagai permasalahan penyediaan infrastruktur di Indonesia dengan menyediakan solusi dan fasilitas sebagai debottlenecking atas lambatnya proses birokrasi dan prosedur penyediaan infrastruktur yang menjadi penghambat ketersediaan infrastruktur, padahal infrastruktur merupakan merupakan gerbang bagi konektivitas antar wilayah, daya tarik investasi, dan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2016 juga seolah-olah Pemerintah bersikap permisif terhadap dugaan/sangkaan tindak pidana yang kadang menyertai pelaksanaan pembangunan infrastruktur.

Namun sedianya Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016 harus didudukkan sebagai upaya dan niat tulus Pemerintah untuk mengejar ketertinggalan penyediaan infrastruktur guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Perpres dan Inpres tersebut merupakan rangkuman kebijakan pemerintah yang telah ada sebelumnya dengan mempertegas ketentuan-ketentuan yang telah ada sebelumnya dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, dengan tetap berada pada koridor norma hierarki peraturan perundang-undangan lex superiori derogate legi inferiori.

“Rangkuman” ketentuan dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dipandang sebagai terobosan pemerintah dalam ”menjamin” terlaksananya PSN dan tidak menjadikan PSN hanya sebagai rencana pembangunan, namun juga sebagai perwujudan cita-cita mensejahterakan masyarakat dengan PSN sebagai lokomotif kesejahteraan tersebut. Oleh karena itu, disadari bahwa perpaduan “rangkuman” kebijakan pemerintah dan peraturan perundang-undangan dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 belum sepenuhnya sempurna untuk menutup celah bagi potensi hambatan dalam penyediaan infrastruktur, maka pemerintah telah pula menerbitkan Inpres Nomor 1 Tahun 2016, yang dalam salah satu Diktumnya menginstruksikan untuk melakukan penyelesaian masalah dan hambatan dalam pelaksanaan PSN atau untuk memberikan dukungan dalam percepatan pelaksanaan PSN, antara lain dengan mengambil diskresi dalam rangka mengatasi persoalan yang konkret dan mendesak, menyempurnakan, mencabut, dan/atau mengganti, ketentuan peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung atau menghambat percepatan pelaksanaan PSN, dan menyusun peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan yang diperlukan untuk percepatan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Sebagai sebuah “rangkuman”, bukan berarti Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tidak ada nuansa baru dalam pengaturannya. Hal baru dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 adalah antara lain perluasan kriteria penunjukkan langsung untuk jasa konsultansi yang menjadi maksimal Rp.500 juta, “diresmikannya” pengadaan berulang dimana pengguna dapat menunjuk kembali penyedia yang berkualifikasi baik pada tahun anggaran selanjutnya, dan dalam penyelesaian kontrak/pekerjaan dalam hal pekerjaan tidak selesai pada akhir Tahun Anggaran akibat kahar pekerjaan dilanjutkan pada Tahun Anggaran berikutnya. Begitupula akibat kesalahan yang dilakukan oleh penyedia ataupun kelalaian yang dilakukan pengguna, maka pekerjaan dapat diteruskan pada Tahun Anggaran berikutnya dengan sebelumnya tetap mengalokasikan anggaran untuk Tahun Anggaran dimaksud, dan pemberian sanksi denda bagi penyedia sesuai kontrak.

Selain itu, dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 juga diperkenalkan metode check list bagi pemenuhan persyaratan perizinan dalam penyediaan infrastruktur, penormaan penugasan bagi Badan Usaha Milik Negara dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur strategis nasional, dan penegasan ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yakni mendahulukan proses administrasi pemerintahan tanpa mengesampingkan proses pidana.

Dalam daftar PSN yang merupakan lampiran dari Perpres Nomor 3 Tahun 2016 terdapat beberapa infrastruktur yang sedang dalam pengerjaan dan hampir selesai, serta infrastruktur yang pengejaannya telah ditetapkan Perpres Penugasan antara lain Perpres Nomor 100 Tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 117 Tahun 2015, dan Perpres Nomor 98 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Kereta Api Ringan/Light Rail Transit (LRT) terintegrasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi. Dimasukkannya proyek infrastruktur yang telah dikerjakan oleh BUMN melalui mekanisme penugasan merupakan bagian dari “jaminan pemerintah” (baca: komitmen) atas keberlangsungan proyek, sehingga manakala BUMN yang mendapatkan penugasan dianggap sudah tidak mampu menyelesaikan proyek penugasan, maka pemerintah akan mengambil alih penyelesaian proyek tersebut melalui mekanisme penugasan, kerjasama dengan swasta, atau APBN.

Pendahuluan proses administrasi dibandingkan dengan proses hukum untuk penyelesaian masalah dan hukum dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 dan Inpres Nomor 1 Tahun 2016, harus dipandang bukanlah sikap permisif terhadap penyimpangan atau penyelewengan, namun lebih kepada upaya untuk kepastian penyelesaian PSN. Mengingat proses hukum atas laporan penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan saat penyelesaian PSN, berpotensi menghambat atau menghentikan penyelesaian PSN yang berdampak pada tertundanya penyelesaian PSN atau bahkan PSN tidak dapat diselesaikan. Meskipun demikian, Pemerintah tetap mendorong penyelesaian secara hukum setelah dilakukannya kategorisasi kesalahan yakni kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara, kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara, atau tindak pidana yang bukan bersifat administratif.

Terkait pembiayaan PSN dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 ada 3 (tiga) skema pembiayaan yakni melalui APBN/APBD, penugasan BUMN, dan Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur (KPBU). Tugas pemerintah adalah “memasarkan” PSN kepada investor dengan menawarkan fasilitas dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 agar investor tertarik sehingga penyelesaian PSN tidak melulu tergantung dengan ketersediaan alokasi anggaran dalam APBN/APBD. Pemerintah kiranya perlu membuat skala prioritas penggunaan APBN untuk penyelesaian PSN, tentunya dengan memperhatkan dan mempertimbangkan letak strategis PSN dan wilayah PSN, karena untuk wilayah barat Indonesia (khususnya Jawa) pembangunan PSN akan banyak menarik minat investor, sehingga pembiayaan pembangunan PSN dapat dilakukan melalui skema penugasan atau KPBU. Sedangkan untuk wilayah timur Indonesia yang masih minim infrastruktur dan konektivitas (baca: layak secara ekonomi dan tidak layak secara finansial atau bahkan tidak layak secara ekonomi dan tidak layak secara finansial), peran APBN lebih dibutuhkan dalam pembangunan PSN. Sehingga memberikan ruang lebih luas bagi kebijakan alokasi fiskal negara yang tidak hanya dialokasikan untuk penyediaan infrastruktur.

Saat ini sudah kewajiban bagi Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah untuk pemenuhan komitmen mewujudkan 226 daftar PSN menjadi kenyataan bagi kesinambungan konektivitas antar wilayah, peningkatan daya tarik investasi, dan pemenuhan kesejahteraan masyarakat, agar tidak adalagi disparitas pembangunan wilayah di Indonesia berdasarkan dekat tidaknya wilayah dengan pusat negara, dan khususnya agar warga negara di timur Indonesia dapat merasakan menjadi Indonesia, karena Indonesia adalah dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Mianggas sampai Pulau Rote.

*) Pemerhati Kebijakan dan Hukum

Opini Terbaru