Membangun Perbatasan, Merawat Etalase Negara

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 29 Maret 2017
Kategori: Opini
Dibaca: 122.204 Kali

imagesOleh : Thanon Aria Dewangga *)
“A nation that cannot control its borders is not a nation.” ? Ronald Reagan

Komitmen untuk mengubah paradigma pembangunan perbatasan semakin dipertegas oleh Presiden Jokowi.

Terakhir, baru saja dilaksanakan kunjungan kerja ke Provinsi Kalimantan Barat tanggal 16-18 Maret 2017 yang jelas menggambarkan keinginan beliau untuk mengubah wajah perbatasan dari ‘daerah terluar’ menjadi ‘daerah terdepan’, tepatnya ‘etalase terdepan negara’.

Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2016 menyebutkan “dalam rangka pemantapan kedaulatan, Pemerintah mengedepankan pembangunan daerah-daerah terdepan, daerah-daerah yang menjadi beranda Indonesia. Kita kembangkan daerah seperti Entikong, Natuna, dan Atambua agar dunia melihat bahwa Indonesia adalah negara besar dan setiap jengkal tanah airnya diperhatikan dengan sungguh-sungguh”. Wilayah-wilayah perbatasan yang merupakan beranda terdepan Republik ini harus tetap dijaga melalui orientasi pembangunan kawasan perbatasan yang integratif dan berkesinambungan. Artinya segenap komponen bangsa memiliki peran dan tanggung jawab yang sama baik itu pemerintah, swasta maupun masyarakat.
Sangatlah tepat di era persaingan bebas ini, Presiden Jokowi ingin pembangunan daerah perbatasan diakselerasi dan direalisasikan tidak hanya sekedar menjadi konsep atau wacana. Perbatasan, terutama perbatasan negara merupakan salah satu aspek penting dalam geopolitik. Sejarah mencatat bahwa banyak terjadi perang antarnegara dan atau antarbangsa disebabkan oleh permasalahan perbatasan. Yuda Tangkilisan dalam makalah “Indonesia dan Masalah Perbatasan: Beberapa Masalah dalam Perkembangan Daerah Tapal Batas sebagai Bagian Perekonomian Nasional dari Perspektif Sejarah” mengatakan bahwa istilah perbatasan memiliki dua pengertian, yaitu boundaries dan frontiers. Dalam konteks boundaries, perbatasan merupakan garis pemisah wilayah antarnegara. Adapun dalam konteks frontiers, perbatasan lebih merujuk pada jalur (zones) yang membentang dan memisahkan dua wilayah negara.
Beberapa permasalahan yang secara umum dijumpai di daerah perbatasan antara lain memiliki kecenderungan tumbuh lebih lambat, belum sinerginya perencanaan wilayah perbatasan dan ketidakserasian program-program pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah di daerah perbatasan tersebut. Telah ditegaskan bahwa pelaksanaan pembangunan di daerah harus selaras dengan potensi dan peluang pengembangan, dan sejalan dengan prioritas yang telah digariskan oleh peraturan yang berlaku pada masing-masing wilayah.

Untuk mencapai optimalisasi pembangunan di wilayah perbatasan, terlebih dahulu perlu diketahui karakteristik wilayahnya, dengan melakukan identifikasi potensi, kendala dan peluang pengembangannya. Dengan demikian maka penyusunan rencana pengembangan wilayah perbatasan tersebut akan menghasilkan rencana intervensi pembangunan, baik dalam bentuk program maupun kegiatan yang tepat sasaran dan berguna bagi masyarakat.
Pembangunan daerah perbatasan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Pengelolaan daerah perbatasan memerlukan adanya perhatian yang lebih fokus agar terjadi peningkatan kualitas pembangunan dan kualitas penduduk di wilayah tersebut. Stephen Jones dalam artikelnya “Boundary Concept in the Setting of Place and Time” mengungkapkan rumusan yang berkaitan dengan pengelolaan perbatasan.

Jones membagi ruang lingkup pengelolaan ke dalam empat bagian, yaitu alokasi (allocation), delimitasi (delimitation), demarkasi (demarcation), dan administrasi (administration). Jika disesuaikan dengan pendapat Jones, tiga isu utama yang terdapat di kawasan perbatasan secara garis besar, meliputi :
1. Permasalahan kondisi geografis dan topografis wilayah;
2. Permasalahan yang berdimensi lokal berupa kemiskinan;
3. Permasalahan yang berdimensi nasional berupa kegiatan ekonomi ilegal
4. Permasalahan yang berdimensi regional seperti kesenjangan sosal antar penduduk;
5.Permasalahan berdimensi ekonomi berupa belum berkembangnya komoditas unggulan
Dalam berbagai kesempatan mengunjungi perbatasan, Presiden Jokowi mengambil keputusan dengan cara yang paling konkret yaitu dengan melihat langsung ke lokasi, tidak hanya mendengarkan laporan atau membaca berita. Sejak pertama kali dilantik sampai saat ini tercatat daerah-daerah yang pernah dikunjungi antara lain Pulau Sebatik, Atambua, Entikong, Miangas, Nias, Nunukan dan daerah-daerah perbatasan lainnya. Permasalahan perbatasan seperti yang dikemukakan di atas, sedikit daemi sedikit mulai terurai dengan langkah-langkah konkret yang terintegrasi dan melalui pengawasan yang intensif sehingga penduduk di wilayah perbatasan mulai merasakan manfaatnya antara lain :
1.Penyerahan secara langsung Kartu Indonesia Pintar, Pemberian Makanan Tambahan, Program Keluarga Harapan dan Kartu Indonesia Sehat di wilayah-wilayah perbatasan.
2. Pembangunan dan peresmian Pos Lintas Batas Negara Terpadu seperti di Entikong, Nanga Badau, Aruk Sajingan Besar dan lain-lain.
3. Membangun dan meresmikan bandar udara, terminal, jalan dan pelabuhan di wilayah perbatasan. Contoh : Bandar Udara Miangas, Peningkatan kualitas dan pembanguna jalan baru di Papua, Kalimantan dan NTT,
4. Membangun pasar di wilayah perbatasan sebagai stimulan untuk meningkatkan taraf perekonomian masyarakat
5. Membangun pemukiman yang layak bagi masyarakat di wilayah perbatasan, antara lain di Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malaka dan Kota Jayapura.
6. Pemberantasan illegal fishing, penyelundupan dan penempatan gelar pasukan TNI yang memperhatikan perubahan paradigma pembangunan nasional.
Dari penjelasan dan contoh di atas, dalam perspektif pemerintahan Presiden Jokowi wilayah perbatasan mempunyai peran yang signifikan sehingga perlu dirubah orientasi pengembangannya dari inward looking menjadi outward looking. Dengan demikian, menerapkan paradigma baru yang berorientasi outward looking adalah kebijakan yang relevan guna memaksimalkan potensi wilayah perbatasan dan dimanfaatkan sebagai entry point aktivitas ekonomi dan sosial dengan mengedepankan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).
Membangun perbatasan mempunyai pengaruh penting bagi kedaulatan negara karena wilayah perbatasan adalah beranda dan etalase terdepan suatu negara. Dari asepek ekonomi, pembanguna perbatasan merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Dengan demikian diharapkan dengan meningkatkan kesejahteraan sosial, kesenjangan sosial ekonomi antara wilayah perbatasan Indonesia dengan wilayah perbatasan negara lain dapat diminimalisir.
Masih banyak catatan dan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di wilayah perbatasan. Namun setidaknya masyarakat di wilayah perbatasan sekarang bisa berbangga dan bertepuk dada bahwa wilayahnya saat ini mendapatkan perhatian lebih dari tahun-tahun sebelumnya dan tidak akan kalah cantiknya dengan wilayah negara tetangganya. Pembangunan di wilayah perbatasan menunjukkan bahwa negara hadir dalam bentuk yang paling konkret yaitu penyediaan pelayanan publik yang sagat mendasar seperti sandang, pangan, papan dan transportasi. Presiden Jokowi menyampaikan dalam kunjungannya ke Miangas tanggal 19 Oktober 2016 “Kita ingin rakyat di perbatasan, di pulau-pulau terdepan menjadi semakin bangga menjadi warga negara Indonesia, dan menjadi semakin semangat untuk menjaga Tanah Airnya”. Dengan membangun dan merawat perbatasan dengan baik dan cermat, semoga dapat menciptakan rasa nyaman dan aman serta kedaulatan NKRI tetap terjaga.

*) Penulis adalah Staf Ahli Seskab Bidang Hukum dan Hubungan Internasional

Opini Terbaru