Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan (Bag-10)

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 13 Januari 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 46.248 Kali

foto ni polok kukuhOleh: Kukuh Pamuji

Di antara tugas dan hobinya, Bali menjadi ruang yang khusus bagi Presiden Soekarno. Salah satu kekhususan tersebut adalah jalinan hubungan antara Bung Karno dan Le Mayeur, Le Mayeur merupakan salah satu pelukis asing yang karyanya mengisi gedung istana Kepresidenan. Pelukis dari Belgia yang datang ke Bali sejak 1929 ini, karya-karyanya kini menjadi aset bagi Istana Kepresidenan dengan nilai yang sangat tinggi. Tulisan ini mencoba untuk mengelaborasi kebiasaan presiden pertama yang kerap berhubungan dengan para perupa asing yang tinggal di Bali.

Bagi Bung karno, kunjungan yang dilakukannya sebagai presiden ke Bali telah dimulai sejak 1950. Berbagai keperluan dilakukannya, salah satunya ketika bertemu dengan para pelukis asing yang telah lama tinggal di Bali, seperti Rudolf Bonnet dan Le Mayeur. Pertemuan Bung Karno dengan Le Mayeur terjadi pada bulan November 1950. Sebelum pertemuan ini Soekarno sempat berkirim surat bertulis tangan yang meminta bantuan Mayeur agar Dullah bisa belajar di studionya di Sanur. Surat Sukarno kepada Le Mayeur saat ini telah menjadi dokumen dan menjadi bagian dari sajian koleksi di Museum Pasifika Bali.

Dalam surat tersebut, Bung Karno menulis sebagai berikut: “Jth Tuan Le Mayeur dan Njonjah di Sanur//Tuan dan Njonjah yang baik,//Pembawa surat ini adalah Dullah. Ia adalah seorang pelukis yang ternama dan jang berdiri dibawah patronage saja. Saja harap Tuan dan Njonjah suka memberi bantuan-bantuan petundjuk kepadanja, agar supaja ia dapat mempergunakan waktunja diBali ini dengan sebaik-baiknja.//Saja sendiri bermaksud datang di Bali nanti pada 10 November j.a.d., dan ingin sekali bertemu dengan Tuan dan Njonjah di sanur. Surat Tuan tempohari sudah saja terima, dan amat menggembirakan saja.//Terimalah salamku//Jakarta 30/09/1950”.

Dari surat tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa diantara keduanya, Bung karno dengan Le Mayeur terjalin hubungan yang erat. Dari hubungan ini Bung Karno mendapatkan 4 karya dari Le Mayeur. Semuanya didapatkan diantara beberapa kunjungan Sukarno ke studio Le Mayeur. Keempat lukisan dimaksud adalah: Di Tepi Sungai Gangga (1921) sebuah karya berbahan cat air pada kertas yang kini tersimpan di lorong Gedung Induk sayap Kanan Istana Kepresidenan Bogor dengan nilai asset mencapai Rp 2,750,000,000,000,- selain itu, terdapat tiga lukisan cat minyak berukuran sama, 150 x 200 cm. ketiga lukisan tersebut masing-masing  berjudul:  Bermain di Kolam (1950). Lukisan ini terpasang di Gedung Induk Sayap Kanan, Ruang Tidur 5. Aset lukisan ini bernilai Rp 13,000,000,000,-. Dua lukisan lainnya, yaitu Kenikmatan Hidup I dan II (1956), saat ini terpasang di Ruang Kaca Paviliun Sayap Kiri Istana Kepresidenan Bogor.Masing-masing lukisan ini bernilai Rp 13,000,000,000,-

Le Mayeur sangat mengagungkan tiga hal dalam hidupnya, yaitu: keindahan, sinar matahari, dan keheningan. Semangat sebagai musafir pelukis, menyebabkan ia berpetualang mencari obsesi hidup dengan menjelajah tempat-tempat eksotik di belahan dunia. Perancis, Italia, Maroko, Tunisia, Aljazair, India, Thailand, Kamboja, dan Tahiti telah dijejakinya.

Terlahir sebagai bangsawan anggota kerajaan Belgia dan berpendidikan insinyur sipil politeknik di Libre University, Brussel, tidak menyurutkan minatnya menjadi pelukis. Hal yang sebenarnya sangat ditentang keras oleh sang ayah. Tetapi ironis, bakat besar tersebut justru diturunkan langsung dari ayahnya yang juga pelukis.

Tahun 1932 Le Mayeur menginjakkan kaki di Singaraja. Sebuah kota pelabuhan laut di pesisir pantai utara yang  dulunya merupakan ibukota provinsi Bali. Denpasar adalah tempat yang kemudian dituju untuk memulai petualangan baru. Ia menetap di sebuah rumah kontrakan sederhana di Banjar Kelandis, pinggiran kota Denpasar.

Seorang penari Legong Keraton berusia 15 tahun yang sering tampil di Pura Dalem Prajurit Desa Kelandis sangat menarik perhatian Le Mayeur. Kecantikan khas Bali, tubuh tinggi semampai, berwajah lonjong, lesung pipit di pipi, dan terampil dalam olah seni tari menggguncang jiwa dan merenguh hati sang Le Mayeur.

Ni Nyoman Pollok atau Ni Pollok demikian ia akrab dipanggil, anak desa kasta sudra yang tidak dapat membaca dan juga tidak mengenal Bahasa Indonesia tetapi memiliki anugerah talenta tari luar biasa memancing hasrat  Le Mayeur untuk menjadikannya sebagai model lukisan. Upah Rp 1 (satu rupiah) per hari dibayar di muka oleh Le Mayeur kepada Ni Polok untuk masa sebulan penuh.Sebuah penghargaan bernilai tinggi untuk model lukisan pada masa itu.

Alam tropis Bali dan pribadi bersahaja Ni Pollok mampu menjadi stimulan dari semua karya Le Mayeur. Ia terus melukis bersama sang model. Mengabdikan segala hidup untuk menggambarkan alam Bali dengan budaya yang berkarakter berikut aneka flora kaya warna serta pantai dan laut yang berkilau ditimpa sinar mentari.

Rekaman imajinasi impresionis yang tak terhingga menjadikan lukisan-lukisan Le Mayeur memiliki kekuatan goresan kuas, warna-warna cerah, komposisi terbuka, penekanan pada kualitas pencahayaan, dan subyek lukisan yang tidak terlalu menonjol serta memiliki sudut pandang yang tidak biasa.

Pada tahun 1933 Karya-karya Le Mayeur yang dipamerkan di Singapore  mencetak sukses besar dan mendapat apresiasi luas di kalangan seni. Ia kemudian kembali ke Bali dan melupakan rencana awalnya untuk tinggal di pulau ini hanya selama 8 bulan saja. Sepetak tanah di tepian pantai Sanur dibelinya dan dibangun sebuah rumah merangkap studio sederhana dari bambu beratap alang-alang menghadap laut lepas.

Pantai Sanur ketika itu masih sepi dan alami menjadi halaman yang luas bagi rumah pelukis kelahiran 9 Februari 1880 di Ixelles, Brussel, Belgia ini. Pohon nyiur, tanaman tropis, hamparan sawah, dan alang-alang sepanjang pantai seakan menjadi taman pribadi miliknya.

Pada tahun 1935 ketika usia Le Mayeur menginjak 52 tahun dan Ni Pollok berusia 18 tahun, mereka mengukuhkan jalinan cinta kasih dalam sebuah perkawinan dengan adat Bali. Ni Pollok pun tetap menjadi model bagi lukisan Le MayeurKeunikan karya-karya Le Mayeur yang menampilkan Ni Pollok bersama beberapa wanita lainnya sebenarnya merupakan gambar dari Ni Pollok seorang yang tampilkan dalam berbagai pose berbeda. Sebagai seorang istri, Le Mayeur memberi kebebasan Ni Pollok untuk memilih lukisan mana yang ingin dikoleksi dan mana yang akan dijual. Lukisan-lukisan yang tidak dijual menjadi hiasan bagi rumah mereka.

Di antara kebahagiaan, kesenangan, dan kemudahan hidup yang dijalani Ni Pollok, ada satu keinginannya untuk memiliki keturunan yang sangat memberatkan hatinya. “Kalau Pollok mengandung, tubuhmu nanti akan berubah dan jelek. Pollok tidak bisa lagi menjadi model. Biarlah kita korbankan seluruh hidup kita untuk seni, Pollok ….” demikian kata Le Mayeur kepada istrinya, seperti yang tertulis dalam buku ‘Ni Pollok : Model dari Desa Kelandis’ ditulis oleh Yati Maryati Wiharja (1976).

Pengorbanan besar mereka untuk dunia seni lukis menjadikan lukisan Le Mayeur saat ini menjadi salah satu master piece.

Pada tahun 1958,  Le Mayeur didiagnosa menderita kanker telinga dan meninggalkan Bali ditemani oleh Ni Pollok untuk mendapatkan perawatan medis di Belgia. Setelah 2 bulan dirawat, Le Mayeur meninggal dunia pada usia 78 tahun dan dimakamkan di Ixelles, Brussel.

Sepeninggal Le Mayeur, Ni Pollok kembali lagi ke Sanur dengan berbekal uang Rp 150.000,- untuk memperjuangan hidupnya sendiri dan merawat museum Le Mayeur yang telah diserahkan ke Pemerintah RI pada tanggal 28 Agustus 1957. Menurut perjanjian, selama Ni Pollok masih hidup, dia berhak atas pendapatan museum itu walau dengan bantuan dana yang sangat minim dari pemerintah.

Ni Pollok melanjutkan hidupnya dengan membangun rumah tinggal kecil di Denpasar pengganti rumah lama yang sudah jadi museum. Setengah dari luas tanah tersebut tetap menjadi milik keluarga Ni Pollok dan didirikan sebuah penginapan bernama ‘Pollok Inn’. Sedangkan di area museum didirikan ‘Pollok’s Art Shop’ yang kini menjadi salah satu sumber penghidupan keluarganya. Ia membuatkan patung setengah badan Le Mayeur sebagai dedikasi cintanya kepada sang suami. Patung ini kemudian berdampingan dengan patung dirinya dikala Ni Pollok telah meninggal dunia.

Di masa tuanya, Ni Pollok sering mengunjungi lukisan dan barang-barang Le Mayeur yang telah dimiliki para kolektor di berbagai tempat. Dengan cintanya yang demikian mendalam, Ni Pollok setia merawat lukisan dan benda-benda tersebut hingga akhir hidupnya. Ia meninggal dunia di Denpasar pada tanggal 18 Juli 1985 dalam usia 68 tahun.

Opini Terbaru