Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional di Jakarta

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 7 April 2014
Kategori: Pro Rakyat
Dibaca: 361.463 Kali

1._rsud_tarakanPemerintahan Presiden SBY membuat terobosan besar dalam dunia kesehatan, yakni menggratiskan biaya pengobatan untuk seluruh warga melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)  yang secara serentak dilaksanakan di Indonesia mulai tanggal 1 Januari 2014. JKN yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dibagi dalam dua kategori, yakni kategori  Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan ka-tegori  non PBI. Kategori PBI khusus untuk warga miskin yang menjadi peserta Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang biaya pengobatan dibayar pemerintah, serta mendapat  pelayanan rawat inap di rumah sakit kelas 3.  Sedangkan kategori  non PBI khusus untuk PNS, TNI, Polri, pensiunan pegawai negeri (PNS, TNI, dan Polri), pegawai swasta, dan pekerja mandiri.  Untuk PNS, TNI, Polri, dan pegawai swasta biaya pengobatan ditanggung oleh masing-masing instansi dan perusahaan, serta mendapat pelayanan rawat inap di rumah sakit kelas 1 dan kelas 2. Sementara itu pengertian pekerja mandiri adalah pekerja yang bekerja sendiri atau tidak bekerja di sebuah perusahaan. Pekerja mandiri membayar iuran Rp 25.500/bulan untuk  rawat inap di kelas 3, Rp 42.500/bulan untuk rawat inap di kelas 2, dan Rp 59.500/bulan untuk rawat inap di kelas 1. Jumlah peserta dan anggota keluarga yang ditanggung oleh JKN paling banyak lima orang.

Program JKN mendapat sambutan positif dari masyarakat di seluruh pelosok Tanah Air, termasuk di DKI Jakarta. Peserta JKN di DKI Jakarta hingga Februari 2014 mencapai 5 juta orang. Salah seorang warga yang merasakan manfaat JKN adalah Abdul Aziz yang menderita sakit ginjal dan melakukan cuci darah di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan, Jakarta Pusat, Rabu (12/3/2014). Aziz telah lima tahun sakit ginjal, dan karena kondisi kesehatan fisiknya lemah ia berhenti bekerja dari sebuah hotel. Isterinya, Sunarti, yang kemudian mengambil alih kemudi mencari nafkah dengan bekerja sebagai penggosok pakaian para tetangga. Abdul Aziz, isteri dan kedua anaknya tidak memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, dan juga tidak mempunyai kartu Gakin (Keluarga Miskin) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Karena kondisi keuangan yang lemah ia berobat dengan menggunakan surat keterangan tidak mampu (SKTM) dan membayar separuh dari biaya pengobatan. Hal ini berbeda jika menggunakan kartu Jamkesmas dan kartu Gakin yang semuanya serba gratis. Tarif untuk cuci darah Rp 800 ribu, dan awalnya Aziz membayar Rp 400 ribu. Karena rutin cuci darah seminggu dua kali dan mempertimbangkan kondisi ekonomi, Aziz diberi keringanan membayar semampunya.

Februari 2014 Aziz menyuruh isterinya mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan untuk empat orang, yakni Aziz, isteri, dan kedua anaknya. Mereka menjadi peserta BPJS Kesehatan untuk pelayanan rawat inap kelas 3 dengan membayar uang iuran Rp 25.500/orang/bulan. Setelah menjadi peserta BPJS Kesehatan Aziz memperoleh kemudahan di rumah sakit. “Dulu waktu menggunakan SKTM prosesnya panjang untuk melakukan cuci darah dan harus membayar separuh dari biaya resmi, yang kemudian biayanya turun dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan kami.  Sedangkan sekarang dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan cepat dilayani dan tidak membayar,” kata Sunarti yang siang itu mendampingi suaminya.

Warga Jakarta lainnya yang menjadi peserta BPJS Kesehatan adalah Yayat. Ia peserta mandiri dan membayar iuran Rp 59.500/bulan dan mendapat pelayanan rawat inap kelas 1. Seorang anaknya, Indah, yang mendaftarkan Yayat sebagai peserta BPJS Kesehatan. Yayat menderita komplikasi sakit jantung dan paru-paru, serta sejak tanggal 25 Februari 2014 dirawat di ruang kelas 1 RSUD Tarakan. Isteri dan anak-anaknya secara bergantian menjaganya. Ketika dikunjungi Rabu, 12 Maret 2014, kondisinya mulai membaik. “Kami sekeluarga bersyukur dengan adanya JKN, karena besar manfaatnya. Ayah kami berobat dengan gratis dan mendapat pelayanan yang bagus dari dokter dan perawat. Mohon bantuan doa agar ayah kami cepat sembuh,” ujar Indah.

Manfaat JKN juga dinikmati dua pasien lainnya yang dirawat di ruang kelas 3 RSUD Tarakan, yakni Kusnendro dan Muhammad Tohir. Mereka adalah peserta BPJS Kesehatan kategori PBI. Sebelum ada JKN mereka memiliki Kartu Jakarta Sehat (KJS). KJS kemudian berintegrasi dengan JKN. Kusnendro sakit  stroke dan sejak pertengahan Februari 2014 dirawat rumah sakit milik Pemprov DKI Jakarta tersebut. Kusnendro sejak sembilan bulan lalu sakit stroke, dan gara-gara terserang stroke itu ia berhenti bekerja sebagai satpam di sebuah pusat perdagangan. “Saya dilayani dengan baik. Dokter dan perawat ramah. Saya mendapat makan tiga kali sehari. Semuanya gratis,” kata duda yang belum dikaruniai anak itu.

Sementara itu Muhammad Tohir yang sehari-harinya bekerja sebagai sopir truk menderita sakit gula. Berbekal KJS ia datang ke RSUD Tarakan, Selasa (11/3/2014) malam, dan malam itu juga Tohir mendapat kamar untuk perawatan inap. “Sebagai orang yang berekonomi lemah saya tertolong dengan adanya JKN,” katanya.

Selain di rumah sakit peserta BPJS Kesehatan juga dapat berobat di Puskesmas. Salah seorang peserta BPJS Kesehatan yang melahirkan di Puskesmas Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, adalah Kartika Dewi. Ika, panggilan wanita ayu ini, adalah peserta mandiri dengan membayar iuran Rp 59.500/bulan. Tanggal 10 Februari 2014 Ika melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Fathan. Fathan adalah anak kedua, sedangkan anak pertama berusia 3,5 tahun. “Saya melahirkan anak pertama di rumah sakit dengan membayar Rp 1,5 juta. Sedangkan untuk kelahiran anak kedua tidak membayar,” ujarnya.

Ketika kandungannya berusia 7 bulan Ika melakukan survei ke beberapa rumah sakit dan Puskesmas untuk dipilih sebagai tempat melahirkan. Ia akhirnya memilih Puskesmas Kecamatan Tanah Abang karena tempatnya bersih, dan dekat dengan rumahnya di kawasan Karet Tengsin, Jakarta Pusat. “Saya terkesan dengan kebersihan Puskesmas Kecamatan Tanah Abang. Selain itu makanannya enak,” kata Ika sambil tersenyum manis.

Pelayanan kesehatan di DKI Jakarta didukung oleh tenaga kesehatan yang meliputi 4.232 dokter spesialis, 2.484 dokter umum, 1.067 dokter gigi, 19.609 perawat, 345 perawat gigi, 2.121 bidan, 1.650 tenaga farmasi. 999 tenaga kesehatan masyarakat, 248 tenaga kesehatan lingkungan, 458 ahli gizi, 346 ahli terapi fisik, dan 1.215 teknisi medis. Sementara itu sarana kesehatan meliputi 142 rumah sakit, 52 Puskesmas perawatan, dan 289 Puskesmas non perawatan.

Kunjungan pasien di rumah sakit rata-rata 800 – 1.000 oran per hari, sedangkan kunjungan pasien di Puskesmas rata-rata 300 orang per hari. Penyakit terbanyak yang diderita pasien adalah infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), batuk, demam, dan lain sebagainya.

Sementara itu ketersediaan obat-obatan di rumah sakit dan Puskesmas tercukupi, sehingga pasien tidak perlu membeli obat-obatan di luar tempatnya berobat. Dengan tercukupinya obat-obatan pihak tenaga kesehatan dapat lebih mengoptimalkan pelayanan.

Secara nasional pelayanan kesehatan gratis  melalui Jamkesmas bagi masyarakat miskin telah dilaksanakan sejak tahun 2005. Pemerintah terus menaikkan anggaran pelayanan kesehatan gratis dari Rp 2,1 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 8,2 triliun pada tahun 2013, atau meningkat hingga 400%. Dengan dana yang terus meningkat, sasaran pelayanan kesehatan gratis juga meningkat dari 36,1 juta jiwa pada tahun 2005 menjadi 86,4 juta jiwa pada tahun 2013 serta menjangkau 2,9 juta ibu hamil yang bisa mendapat persalinan gratis.

Pada tahun 2014 pelayanan kesehatan gratis diterapkan untuk seluruh penduduk melalui JKN yang diselenggarakan  BPJS Kesehatan  dengan cakupan 121,6 juta jiwa. Indonesia menjadi negara terbesar yang memiliki jaminan kesehatan di bawah satu badan negara yaitu BPJS Kesehatan. Program ini tidak kalah dengan program jaminan kesehatan Amerika yang dikenal dengan Obamacare. Sudah sewajarnya program JKN disyukuri dan disukseskan bersama-sama demi Indonesia yang lebih sehat.

Sejalan dengan pelayanan kesehatan gratis yang semakin meluas, bahkan pada tahun 2014 ditargetkan menjangkau seluruh penduduk, pemerintah terus membangun dan mendorong tersedianya fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai. Dalam satu dasawarsa terdapat peningkatan jumlah sarana kesehatan meliputi rumah sakit rujukan yang meningkat dari 1.246 unit pada tahun 2004 menjadi 2.184 unit pada tahun 2013 dan puskesmas meningkat dari 7.550 unit pada tahun 2004 menjadi 9.599 unit pada tahun 2013. Dengan demikian terdapat pembangunan 938 unit rumah sakit dan 2.049 unit puskesmas.

Tidak hanya itu, sarana kesehatan di desa-desa yang disebut Poskesdes (Pos Kesehatan Desa) juga meningkat tajam dari 12.942 unit pada tahun 2006 menjadi 54.142 unit pada tahun 2013. Dengan demikian sepanjang 2006 – 2013 pemerintah telah membangun 41.200 unit Poskesdes atau meningkat 400% lebih. Khusus daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan terluar, sejak tahun 2004 telah dioperasikan 24 Rumah Sakit Bergerak yang berfungsi sebagai Rumah Sakit Pratama.

Dalam upaya memberikan layanan terbaik pada fasilitas pelayanan kesehatan, jumlah tenaga kesehatan juga semakin bertambah. Pada tahun 2004 tercatat jumlah dokter sebanyak 35.375 orang pada tahun 2004 dan meningkat menjadi 94.407 orang pada tahun 2013, atau terdapat penambahan jumlah dokter sebanyak 59.032 orang. Begitu juga jumlah perawat meningkat dari 101.897 orang pada tahun 2004 menjadi 296.126 orang pada tahun 2013, atau meningkat hampir 300%. Tenaga bidan juga mengalami perkembangan pesat dari 48.044 orang pada tahun 2004 menjadi 136.917 pada tahun 2013 atau meningkat 280%.

Di lain pihak, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan juga terus melakukan pengendalian penyakit menular dan menunjukkan kemajuan yang menggembirakan. Kemajuan ini antara lain ditandai oleh cakupan imunisasi yang meningkat, makin meningkatnya cakupan imunisasi ini antara lain berdampak pada penurunan lebih dari 90% angka kematian akibat campak dari tahun 2000 sampai 2012. Selain itu, sejak tahun 2006 tidak lagi ditemukan kasus Polio di Indonesia dan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) menyatakan tetanus maternal dan neonatal telah tereliminasi di 88,7% kabupaten/ kota di Indonesia yang meliputi 95% lebih penduduk Indonesia.(Arif Rahman Hakim & Sahat Yogiantoro))

Pro Rakyat Terbaru