Quo Vadis Strategi Pembangunan Daerah Tertinggal di Indonesia

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 30 Desember 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 61.365 Kali

IMG_20150529_145950_edit JPEGMuhammad Agvian Megantara, S.H.

Analis Hukum pada Asisten Deputi Bidang Pembangunan Desa, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Sekretariat Kabinet

Presiden Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019 pada tanggal 4 November 2015 (Perpres 131/2015). Dalam Perpres,ditetapkan 122 Kabupaten sebagai Daerah Tertinggal. Perpres tersebut merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2014 (PP 78/2014) tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

Sesuai pengertian dalam PP 78/2014, yang dimaksud dengan daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang wilayahnya serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Hal tersebut dapat diukur dari 6 (enam) kriteria utama yaitu ekonomi, sumber daya manusia, infrastruktur, kapasitas keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah.  Daftar 122 kabupaten yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal tahun 2015-2019 merupakan lanjutan dari 183 kabupaten tertinggal dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, dikurangi 70 kabupaten yang telah terentaskan, dan ditambah 9 (sembilan) Daerah Otonomi Baru.

Perpres 131/2015 merupakan pintu gerbang dalam melakukan percepatan pembangunan daerah tertinggal. Terlebih percepatan pembangunan daerah tertinggal merupakan implementasi dari agenda Nawa Cita ketiga yaitu membangun Indonesia daripinggirandenganmemperkuatdaerah-daerahdandesadalamkerangkanegarakesatuan. Dalam RPJMN 2015-2019, sasaran yang hendak dicapai dalam pembangunan daerah tertinggal pada tahun 2019 ialah peningkatan rata-rata pertumbuhan ekonomi di daerah tertinggal sebesar 7,24 persen, penurunan rata-rata presentase penduduk miskin di daerah tertinggal menjadi 14,00 persen, peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah tertinggal sebesar 69,59 persen, dan minimal terdapat 80 kabupaten yang dapat dientaskan menjadi kabupaten maju.

Untuk mencapai target sasaran pembangunan daerah tertinggal tersebut, dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan 11 strategi pembangunan, yaitu: 1) mengembangkan perekonomian masyarakat di daerah tertinggal; 2) meningkatan aksesibilitas yang menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat pertumbuhan melalui sarana dan prasarana transportasi; 3) meningkatkan kualitas sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan kapasitas tata kelola kelembagaan pemerintahan daerah tertinggal; 4) mempercepat pemenuhan Standar Pelayanan Minimal untuk pelayanan dasar publik di daerah tertinggal; 5) memberikan tunjangan khusus kepada tenaga kesehatan, pendidikan, dan penyuluh pertanian serta pendamping desa di daerah tertinggal; 6) melakukan penguatan regulasi terhadap daerah tertinggal dan pemberian insentif kepada pihak swasta dalam mengemban iklim usaha di daerah tertinggal; 7) meningkatkan pembangunan infrastruktur di daerah pinggiran, seperti kawasan perbatasan; 8) melakukan pembinaan terhadap daerah tertinggal yang sudah terentaskan melalui penguatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; 9) mendukung pengembangan kawasan perdesaan dan transmigrasi sebagai upaya pengurangan kesenjangan antar wilayah; 10) meningkatkan koordinasi dan peran serta lintas sektor dalam upaya mendukung pembangunan daerah tertinggal; dan 11) mempercepat pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat.

Pembangunan Masyarakat (dalam hal ini kaitannya dengan masyarakat di daerah tertinggal) adalah suatu proses melalui usaha dan prakarsa masyarakat sendiri maupun kegiatan pemerintahan dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya. Meskipun, pemerintah memiliki peranan kunci yang strategis dalam memberikan dorongan (big push) untuk menggerakan roda pembangunan (Paul Narcyz, 1943).Jika kita cermati, daerah tertinggal merupakan suatu permasalahan yang menyangkut tanggung jawab lintas sektor baik kementerian/lembaga, daerah, swasta dan masyarakat. Mengacu pada kriteria utama penetapan daerah tertinggal, problematika yang ditemukan di suatu daerah tertinggal dapat berupa kemiskinan, pendidikan, ketersediaan kebutuhan pokok, kesehatan, lingkungan, aksesibilitas dan sarana komunikasi. Penanganan problem tersebut tentunya melibatkan seluruh kementerian/lembaga terkait yang memang memiliki basis program sesuai yang dibutuhan juga peran aktif dari sektor swasta dan masyarakat.

Selain dukungan program dari kementerian/lembaga, daerah tertinggal juga mencakup wilayah perbatasan, perdesaan, dan transmigrasi. Ketiga hal ini juga memiliki penanganan tersendiri dalam pembangunannya. Terlebih wilayah kabupaten yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal, mencakup beberapa desa tertinggal. Kebijakan dana desa yang bergulir pada saat ini dapat menjadi stimulus untuk meningkatkan status desa tertinggal tersebut yang nantinya diharapkan dapat menyelesaikan problem ketertinggalan di suatu kabupaten. Beragamnya aspek pembangunan wilayah di daerah tertinggal tentunya merupakan suatu peluang untuk mempercepat pengentasan ketertinggalan. Kabupaten yang ditetapkan sebagai daerah tertinggal tidak hanya mendapat treatment sebagai daerah tertinggal saja, tetapi juga sebagai wilayah perbatasan, transmigrasi, dan/atau perdesaan. Upaya pembangunan daerah tertinggal haruslah terkoneksi sebagai suatu sistem pembangunan yang sinergis.

Sinergitas yang dibangun dapat dimulai dari tiga hal, yang pertama ialah penyatuan basis data kriteriaketertinggalan suatu daerah. Penyatuan data dipandang sebagai hal yang sangat penting dan fundamental. Dari data tersebut, dapat digunakan untuk memetakan permasalahan yang ada, mengetahui sebaran wilayah permasalahan, dan program apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kedua, peningkatan koordinasi antar kementerian/lembaga dalam menangani ketertinggalan daerah. Dengan program dan anggaran yang dimiliki kementerian/lembaga, didukung basis data bersama, maka treatment  yang diberikan kepada daerah tertinggal dapat tepat sasaran, efisien, dan berkesinambungan. Ketiga, mendorong peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan juga iklim usaha di daerah tertinggal.

Peningkatan kapasitas sumber daya manusia akan mendukung iklim usaha dengan basis masyarakat lokal sebagai penggerak perekonomian setempat. Bergulirnya roda perekonomian di daerah tertinggal dapat meminimalisir faktor ketertinggalan di daerah tersebut. Sedangkan untuk mendorong iklim usaha, pemerintah dapat menggulirkan kebijakan atau regulasi khusus yang bersifat afirmatif untuk memudahkan dunia usaha maupun iklim investasi di daerah tertinggal, seperti pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus. Selain itu, pengembangan potensi ekonomi lokal daerah tertinggal dapat dilakukan dengan memperhatikan pendekatan keterkaitan antarwilayah terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah. Dalam hal ini, pusat pertumbuhan berfungsi sebagai lokomotif dalam pengembangan potensi ekonomi daerah tertinggal yang merupakan penyangga aglomerasi pertumbuhan pusat kegiatan yang sudah ada. Sehingga, tercipta integrasi pembangunan antar wilayah yang menekan disparitas kesejahteraan di setiap daerah.

Oleh karena itu, pembangunan yang terkoneksi dan sinergi dapat mewujudkan target pengentasan dan menjawab kebutuhan masyarakat di daerah tertinggal. Program dan sumber daya anggaran di kementerian/lembaga dapat dioptimalkan menuju pembangunan yang efektif dalam menjawab permasalahan, bukan program yang hanya berujung pada serapan anggaran.

 

Opini Terbaru