RZWP-3-K KEPASTIAN HUKUM BAGI PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 24 Februari 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 100.122 Kali

20151002_074854Kusnul Nur Kasanah, Keasdepan Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman Sekretariat Kabinet.

Ruang dalam UU No. 26 Tahun 2007 didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidup.

Penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian) dibutuhkan guna mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional yang tercipta melalui keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan, keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, serta perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Penataan ruang berdasarkan wilayah administratif terdiri atas:

a.  Penataan Ruang Wilayah Nasional yang telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008. Guna menyesuaikan perkembangan pembangunan nasional dan lingkungan strategis, saat ini PP RTRWN yang telah ditetapkan sejak 8 tahun yang lalu tersebut itu, saat ini tengah dalam proses revisi.

b. Penataan ruang wilayah provinsi dan penataan ruang wilayah kabupaten yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah. Status Rencana Tata Tuang Wilayah (RTRW) Daerah berdasarkan data dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang per 12 Februari 2016: Perda RTRW Provinsi (28 provinsi yang sudah ditetapkan dari total 34 provinsi); Perda RTRW Kabupaten (358 kabupaten yang sudah ditetapkan dari total 415 kabupaten); dan Perda RTRW Kota (88 kota yang sudah ditetapkan dari total 93 kota).

Rencana tata ruang wilayah provinsi/kabupaten/kota menjadi acuan dalam:  penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); pemanfaatan ruang/ pengembangan wilayah; mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah; menentukan lokasi investasi dalam wilayah yang dilakukan pemerintah, masyarakat, dan swasta; pedoman untuk penyusunan rencana tata ruang kawasan strategis;  dan acuan dalam administrasi pertanahan. Disamping itu, juga menjadi dasar pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan/pengembangan wilayah melalui  arahan peraturan zonasi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi. Dengan adanya RTRW Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) maka diharapkan ada keterpaduan dan keserasian pembangunan, baik di wilayah yang bersangkutan maupun wilayah sekitarnya.

Jika UU Penataan Ruang mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk menyusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka untuk arahan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil UU No. 27 Tahun 2007 mengamanatkan Pemerintah Daerah untuk menyusun Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi dan Kabupaten. Seiring dengan terbitnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan pengelolaan wilayah laut yang semula 0 – 4 Mil menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten dan selebihnya sampai dengan 12 Mil kewenangan Pemerintah Provinsi, dengan terbitnya UU tersebut pengelolaan ruang laut 0-12 mil di luar minyak dan gas bumi menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi, sedangkan daerah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam sub urusan kelautan.

Dalam penyusunan RZWP-3-K harus mempertimbangkan: keserasian, keselarasan dan keseimbangan dengan daya dukung, ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan keamanan; keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; serta wajib mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi. Sama halnya dengan RTRW Daerah, RZWP-3-K ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan berlaku selama 20 tahun dan dapat ditinjau kembali dalam 5 tahun.

Dokumen RZWP-3-K memuat: pengalokasian ruang dalam kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, kawasan strategis nasional tertentu dan alur laut; keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem laut dalam suatu bioekoregion; penetapan pemanfaatan ruang laut; dan penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan konservasi sosial budaya, ekonomi, transportasi laut, industri stategis, serta pertahanan dan keamanan. Pasal 17 UU Nomor 27 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 mengatur bahwa RZWP-3-K menjadi dasar pemberian izin lokasi bagi pemanfaatan ruang di wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil. Peraturan Pemerintah yang mengatur izin lokasi dan izin pengelolaan sebagaimana diamanatkan dalam UU tersebut saat ini sedang dalam proses pembahasan.

Beberapa program prioritas yang lokasi kegiatan berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seperti swasembada garam, peningkatan produksi perikanan tangkap dan budidaya rumput laut, pengembangan pariwisata bahari, serta pembangunan-pembangunan prasarana bawah laut seperti pembangunan pipa dan kabel bawah laut membutuhkan kepastian alokasi ruang. Dengan adanya penetapan RZWP-3-K akan memberikan kepastian baik secara ruang maupun hukum untuk dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam program-program prioritas tersebut. RZWP-3-K memetakan potensi-potensi kelautan yang dapat digarap secara optimal karena penetapan lokasi juga akan diikuti oleh pengaturan tentang jaringan prasarana pendukungnya.

Misalnya ketika suatu lokasi ditetapkan sebagai kawasan pelabuhan dalam perencanaan dilokasi tersebut akan didukung oleh infrastruktur konektivitas antar moda, atau misalnya pelabuhan perikanan terpadu maka akan didukung pula alokasi ruang untuk industri pengolahan hasil perikanan, demikian pula untuk koridor kabel/pipa bawah laut tentu dilokasi tersebut tidak dapat diberikan izin lokasi untuk pembangunan pelabuhan karena kegiatannya dapat mengganggu fungsi kabel/pipa. Tidak hanya untuk kawasan pemanfaatan umum, daya dukung untuk suatu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi juga diperhatikan, seperti taman nasional laut atau situs budaya, tentu dalam lokasi tersebut tidak akan diperkenankan melakukan kegiatan- kegiatan yang mengganggu fungsi lindung seperti kegiatan pertambangan ataupun kepelabuhan.

Disamping memberikan arahan pemanfaatan ruang bagi optimalisasi pendayagunaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil secara ekonomi, RZWP-3-K diharapkan juga akan memberikan kepastian ruang terhadap luasan kawasan konservasi laut, dengan luas laut Indonesia yang mencapai 310 juta ha, Indonesia seharusnya menyisihkan sekitar 31 juta ha lautnya sebagai kawasan konservasi. Perlu diketahui, Indonesia sebagai negara anggota Konvensi Keanekaragaman Hayati diwajibkan menyisihkan 10% wilayah perairan lautnya sebagai konservasi. Sampai dengan Tahun 2015 Indonesia baru mempunyai kawasan konservasi laut seluas 17,2 juta hektare.

Meskipun penetapan RZWP-3-K menjadi penting bagi keberlangsungan kegiatan-kegiatan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil baik dari aspek ekonomi maupun ekologi, namun sejak diamanatkan Tahun 2007 sampai dengan 18 Desember 2015 baru 6 Provinsi (dari 34 provinsi) yang menetapkan RZWP-3-K. Beberapa hal ditengarai menjadi kendala lambatnya penetapan RZWP-3-K yaitu: masih rendahnya komitmen dari Pengambil keputusan (RZWP-3-K belum menjadi prioritas); belum tersedianya data sesuai kebutuhan teknis untuk penyusunan RZWP-3-K, baik kuantitas maupun kualitas; masih kurangnya pemahaman teknis dalam penyusunan RZWP-3-K; terbatasnya kemampuan anggaran daerah untuk penyusunan RZWP-3-K; dan terjadi perubahan peraturan perundang-undangan terkait dengan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil  bagi Pemerintah Daerah.

Dalam rangka mengejawantahkan cita-cita Pemerintahan Jokowi-JK  menjadikan “Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia”, RZWP-3-K  sebagai bagian dari Perencanaan Ruang Laut, membutuhkan percepatan penetapan karena akan memberikan matra spasial bagi program-program kelautan yang akan dituangkan di kebijakan kelautan nasional.

Opini Terbaru