Sambutan Presiden Joko Widodo pada Pembukaan Rapat Kerja Kepala Perwakilan RI  dengan Kementerian Luar Negeri, di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, 12 Februari 2018

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 12 Februari 2018
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 7.997 Kali

Logo-Pidato2-8

 

Bismillaahirrahmaanirrahim.
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya.
Om swastiastu, namo buddhaya, salam kebajikan.

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja,
Ibu Menteri Luar Negeri, beserta seluruh Kepala Perwakilan Republik Indonesia,
Para Duta Besar, Konjen, Konsul, seluruh Eselon Kementerian Luar Negeri,
Yang saya hormati pimpinan Komisi I DPR RI yang hadir pada pagi hari ini,
Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati.

Alhamdulillah pada pagi hari ini kita bisa bertatap muka kembali dengan seluruh kepala perwakilan kita di luar negeri. Terakhir, kita bertemu 2015, pada awal masa Kabinet Kerja.

Menjadi diplomat di zaman sekarang tidak mudah. Tugas diplomat menjadi semakin tidak mudah karena terlalu banyak ketidakpastian yang terjadi saat ini di dunia. Konflik/perang terjadi di berbagai belahan dunia. Krisis kemanusiaan, pengungsi yang jumlahnya mencapai jutaan juga terjadi. Kejahatan lintas batas, ancaman terorisme, perdagangan orang, narkoba, mengancam semua negara, bukan hanya Indonesia. Persaingan ekonomi yang semakin tajam dan semua negara ingin menjadi pemenang, semuanya ingin menjadi pemenang. Dan kecenderungan proteksionisme/proteksionis semakin meningkat, baik diterapkan melalui hambatan tarif maupun hambatan non-tarif di mana-mana.

Inilah kehidupan dunia kita sekarang ini. Inilah tantangan kita. Inilah tantangan Saudara-saudara yang harus kita hadapi, tantangan diplomat, terutama diplomat-diplomat kita. Dan masyarakat kita, masyarakat Indonesia yang berjumlah 260 juta, mengharapkan agar para diplomatnya dapat menjadi diplomat yang mampu memperjuangkan kepentingan Indonesia, kepentingan rakyat Indonesia.

Oleh karena itu, pendekatan baru diplomasi kita harus terus kita sesuaikan, sesuai dengan tantangan zaman yang ada. Diplomasi yang cepat, diplomasi yang responsif, diplomasi yang tanggap. Bukan diplomasi yang membuang uang tapi diplomasi yang menghasilkan uang. Diplomasi yang berpihak pada perlindungan warganya di luar negeri. Diplomasi yang tidak akan mundur seinci pun untuk membela kedaulatan negaranya. Diplomasi yang dapat memberikan kontribusi bagi perdamaian dan kesejahteraan dunia.

Tadi sebelum masuk ke sini, saya dipaparkan oleh Bu Menlu dan Pak Dubes Singapura. Saya kira itu sebuah aplikasi sistem yang bagus mengenai diplomasi ekonomi, mengenai pelayanan terhadap warga negara kita. Saya kira ini bisa di-copy menjadi model bagi kedutaan-kedutaan besar lainnya, sehingga semua informasi yang dicari itu ada di situ semuanya. Sangat bagus sekali. Memang zamannya sudah seperti ini, zaman yang membutuhkan kita cepat respon, cepat tanggap, cepat menyelesaikan segala persoalan-persoalan yang ada.

Selama 3 (tiga) tahun terakhir saya telah melakukan kunjungan kerja ke berbagai negara, menghadiri berbagai konferensi serta pertemuan bilateral, menerima kunjungan banyak kepala negara. Dan dalam 3 (tiga) tahun terakhir, diplomasi kita di bidang perdamaian, di bidang kemanusiaan, mendapatkan apresiasi dari berbagai pemimpin dunia. Presiden Palestina Mahmoud Abbas, menyebut Indonesia adalah teman sejati Palestina. Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyampaikan penghargaan terhadap kontribusi Indonesia untuk pembinaan perdamaian di Afghanistan. Indonesia juga diterima baik oleh Iran dan oleh Saudi ketika terjadi perbedaan pandangan di antara mereka.

Kemarin saya berkunjung ke Bangladesh. Saya saksikan sendiri bagaimana kondisi sulit yang dihadapi para pengungsi Rohingya di kamp pengungsi di Cox’s Bazar. Kita telah masuk, kita telah membantu. Diplomasi Indonesia membantu komunikasi antara Myanmar dan Bangladesh untuk mengatasi berbagai isu di perbatasan. Saya juga ke Afghanistan, melihat sendiri sebuah bangsa yang sedang membangun kembali perdamaiannya dari reruntuhan persatuannya. Kembali Indonesia juga diundang untuk membantu. Namun dari Afghanistan kita juga bisa menggali makna persatuan, makna kesatuan, makna kemajemukan, makna toleransi, makna perdamaian. Kita juga terus membantu perjuangan saudara-saudara kita di Palestina melawan penindasan dan ketidakadilan.

Dan seluruh upaya diplomasi perdamaian dan kemanusiaan adalah tugas konstitusional yang harus kita tunaikan. Karena itu, saya minta Menlu dan seluruh Kepala Perwakilan Republik Indonesia, untuk terus melanjutkan kontribusi Indonesia untuk perdamaian kemanusiaan. Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia yang moderat, yang majemuk, sekaligus negara terbesar ketiga di dunia, memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi bagian dari solusi bagi berbagai permasalahan global.

Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,
Ini yang perlu saya ingatkan, kita ini sudah masuk negara di G20. Artinya kita ini sudah masuk golongan negara besar. Jangan lagi ada yang merasa inferior, apalagi merasa kita ini negara kecil. Sekali lagi, saya ulang, kita ini negara besar, sudah masuk negara G20. Saya sudah sampaikan kepada Bu Menlu, kepada seluruh Menteri, agar kita ini tidak lagi mencari-cari bantuan-bantuan. Kita itu sudah harus seharusnya membantu, membantu, membantu. Harus dibalik. Jangan lagi begini lagi. Sudah. Kita ini negara besar, ekonomi kita juga pertumbuhannya juga baik, mungkin sekarang di G20 nomor 3 atau nomor 4. PDB/GDP kita juga besar. Kalau kita masih merasa inferior seperti itu, bagaimana kita mau gagah datang ke sebuah summit, sebuah konferensi?

Saya selalu minta pada Bu Menlu, pada Dubes yang kita mau konferensi, nanti makan malam saya minta duduknya di sebelah tuan rumah. Kita ini negara besar jangan dipojokkan, enggak mau saya. Foto, saya minta kalau enggak pas sebelahan ya sela satu orang, sela satu kepala negara enggak apa-apa, tapi jangan sampai kita yang paling pojok, enggak mau. Saya sudah pesan, pesan. Bukan untuk saya, untuk menunjukkan negara kita sebagai negara yang besar. Kita ini sudah masuk ke G20 tapi kita ini enggak merasa, masih kayak negara kecil saja. Di Asean itu yang masuk G20 kita saja ‘kan? Kita saja. Negara gede kita ini.

Jadi sekali lagi untuk menunjukkan itu ya kita harus merasa besar, kalau masih merasa kecil senang dengan bantuan-bantuan, ndak! Saya sudah sampaikan, sekarang kita bantu negara-negara yang memang butuh bantuan, kita bantu, dianggarkan. Kemarin negara-negara di Pasifik juga sama, kita bantu. Kalau ndak, kita ini merasa, sudah gede masih merasa enggak punya terus. Ya bagaimana? Pesimis.

Jadi nanti kalau saya datang ke negara-negara yang Bapak/Ibu semuanya menjadi Dubes atau Konjen di sana, ya itu, pesan saya, kalau ada summit, ada konferensi, saya minta jejer dengan tuan rumah. Bukan untuk saya, sekali lagi, untuk negara.

Meski diplomasi perdamaian dan kemanusiaan kita diacungi jempol, namun kita masih perlu menggenjot upaya diplomasi ekonomi. Kita masih perlu menggarap pasar-pasar non-tradisional. Jangan lagi tergantung pada pasar-pasar lama, pasar-pasar tradisional. Harus lebih ulet, lebih serius, untuk menggarap pasar-pasar non-tradisional.

Saya berikan contoh, kemarin setelah kunjungan ke beberapa negara, terutama di negara Asia Selatan, saya kaget juga. ‘Kan yang kita pikirkan tidak hanya masalah urusan diplomasi ekonomi, urusan dalam negeri kan juga banyak sekali. Saya kaget bahwa masih banyak negara-negara yang kita pandang sebelah mata tapi potensi ekonominya besar sekali. Contoh Pakistan, gede sekali itu, penduduknya hampir 210 juta. Ini sebuah pasar yang besar. Dengan kita juga sekarang sangat baik sekali. Jangan dipandang sebelah mata potensi pasar seperti ini. Bangladesh 160 juta penduduk, gede sekali ini pasarnya. Belum negara-negara yang ada di Afrika yang pertumbuhan ekonominya baik, penduduknya banyak. Kemarin pertumbuhan ekonomi Bangladesh 7,2. Pertumbuhan ekonomi Pakistan juga kurang lebih 7. Kalau sudah pasarnya besar, pertumbuhan ekonominya tinggi… Enggak pernah kita garap secara serius.

Saya tanya ke Bu Dubes, ada pameran di sana, pameran besar. Enggak ada yang ikut dari kita. Enggak ikut kita. Menteri Perdagangan kemarin sudah saya perintah, tahun depan ikut, gede-gedean. Tapi saya minta kalau pameran itu jangan di pojok dekat toilet. Kita negara besar kalau mau pameran yang gede sekalian, di depan gerbang. Itu image, persepsi. Kalau enggak, enggak usah pameran.

Saya masih dapat laporan dari Dubes Uni Emirat Arab, pameran kita hanya 2 (dua) stan. Malu kita. Enggak usah tahun depan, saya sampaikan, jangan boleh pameran lagi kalau hanya 2 (dua) stan. Pameran itu yang gede sekalian, 50 stan, 60 stan, kalau ndak, ndak usah. Minta di depan pintu gerbang. Itu menimbulkan image, menimbulkan persepsi, bahwa kita ini negara besar, ekonomi kita baik. Pameran hanya 2 (dua) stan, di dekat toilet lagi, aduh! Diterus-teruskan kayak gini kita. Stop! Saya sudah minta Menteri-menteri untuk stop kayak gitu. Itu hanya proyek. Mroyek itu namanya, mroyek.

Lihat kalau pameran itu ada peluangnya, segera booking jauh-jauh hari sebelumnya. “Bu, saya minta 50 stan”. Info ke sini, koordinasi antara Menteri dengan Menteri.

Karena kunci pertumbuhan ekonomi negara kita itu hanya ada dua, hanya ada dua enggak lebih dari ini. Satu peningkatan investasi, yang kedua, peningkatan ekspor. Dan Bapak, Ibu, Saudara-saudara semua berada pada dua hal ini. Hal yang menentukan. Hanya ada dua, enggak ada yang lain. APBN meningkat enggak mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Dua ini saja, enggak ada yang lain. Inilah yang harus dimediasi, diplomasi ekonomi kita di sini, harus jalan.

Pertama tadi urusan pameran, ini tolong. Pakistan kalau ada pameran, mungkin di Afrika yang ekonominya baik, market-nya besar, ada pameran. Info, segera daftar, segera cari stan yang di depan pintu gerbang, “Bu, bayar”. Produk-produknya juga disesuaikan, ada market intelligence, produk-produk apa yang cocok. Misalnya di Bangladesh, jangan yang tinggi-tinggi, mungkin di tengah sama di bawah, produk tengah dan bawah. Cari barang-barang yang cocok. Kita ini semuanya bisa produksi.

Masa negara sebesar Indonesia ekspornya kalah dengan Malaysia, kalah dengan Thailand, kalah dengan Filipina. Apa yang keliru? Karena kita rutinitas, monoton, enggak pernah melakukan terobosan-terobosan. Kalah kita, kalah jauh. Dengan Vietnam separuhnya kita. Masa mau kita terus-teruskan?

Sekali lagi, di Asean kita ini, hanya Indonesia yang masuk G20, tapi ekspor kita kalah dengan negara-negara tadi yang saya disebut. Malaysia kalah kita, dengan Filipina kalah, dengan Thailand kalah, bahkan dengan Vietnam saja kita separuhnya. Kalau diterus-teruskan, kita enggak berubah, kita enggak membuat terobosan, ya nanti kalah sama Kamboja, sama Laos, kalah kita. Percaya saya, kalah, di dua hal tadi, baik di bidang ekspor, baik di bidang investasi. Ini juga dengan negara tadi sudah kalah semua di dua ini kita.

Dan saya  enggak mau, saya sudah sampaikan dua minggu yang lalu kepada Menteri-menteri, enggak mau lagi saya kayak gini. Pertumbuhan kita naik, pertumbuhan ekspornya naik, pertumbuhan investasi naik, tapi ndak mau saya kalah dengan negara-negara yang tadi saya sebut. Kita ini negara besar, potensi kita ini banyak.

Yang kedua, yang berkaitan dengan market intelligence. Ini betul-betul agar ini dicek, dilakukan secara detil dan dilaporkan. Nanti dalam Rapat Paripurna bisa kita putuskan, kita pergi ke mana, kita ekspor ke mana, produknya apa, warnanya apa, kemasannya seperti apa, disesuaikan.

Kemudian yang ketiga, ini yang berkaitan dengan diplomasi ekonomi, peluang investasi. Peluang investasi itu, peluang investasi di negara itu dan peluang investor mereka untuk masuk ke negara kita. Dua-duanya. Sekali lagi, kita ini negara besar, kita juga siap kok investasi ke negara mereka.

Contoh, semen, bisa kita bikin pabrik semen di negara lain. Contoh, minyak bisa, atau gas bisa kok kita investasi ke negara lain. Contoh terakhir kita di Iran. Di Iran kita sudah dapat satu tambang gas di Mansuri. Saya sudah dapat kabar bahwa itu sudah diberikan kepada Indonesia. Itu ladang terbesar yang akan kita miliki, yang depositnya guede sekali. Sudah diambil oleh Pertamina. Nanti di negara-negara lain juga gitu, kalau ada kesempatan, apa pabrik semen, saya bisa perintah Semen Indonesia masuk. Kita siap seperti itu. Jangan merasa kita ini negara kecil lagi. Kita memang harus berani investasi seperti itu, mendatangkan investor, tapi juga invest di negara lain. Nanti akan kita buka dulu dengan SOEs kita, dengan BUMN kita buka, atau swasta baru mengikut. Ini memang harus seperti itu. Kalau kita tidak melakukan ini, merasa negara kita ini negara kecil terus, padahal kita, sekali lagi, negara gede.

Yang keempat, yang berkaitan dengan Pameran Indonesia Expo di bulan Oktober. Kerahkan segala upaya untuk mendatangkan sebanyak-banyaknya pembeli (buyers) dari negara-negara yang Bapak/Ibu pimpin. Datangkan sebanyak-banyaknya dan promosi mulai sekarang, sehingga ekspor kita naik. Kalau ekspor naik, neraca perdagangan kita akan semakin baik, pertumbuhan ekonomi kita juga akan semakin baik. Karena kuncinya memang hanya dua tadi, investasi dan ekspor, enggak ada yang lain.

Kita harus menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki potensi besar. Lembaga-lembaga rating internasional sudah memberikan rating investment grade kepada kita, Indonesia. Ini berikan kepada investor-investor pemberitahuan itu, bahwa kita sudah investment grade, baik dari Fitch Rating, dari Moody’s, dari S&P, dan terakhir dari Japan Credit Rating juga sudah memberikan dari BBB- menjadi BBB. Ini sudah berikan semuanya.

Artinya apa? Ada kepercayaan besar dari investor kepada negara kita, Indonesia. Tinggal bagaimana menarik mereka untuk investasi di sini. Tapi kalau enggak ada yang ngajak, enggak ada yang geret-geret untuk masuk… Saya, bagian di dalam negeri ini bagian membenahi. Sudah bawa masuk, kadang-kadang di sini juga masih banyak problem. Itu diinfo juga problemnya di sini apa, izin yang ruwet, izin yang sulit, izin yang lama, izin yang masih bayar. Ini baru kita benahi habis-habisan.

Tapi yang jelas dari sisi Ease of Doing Business, Indonesia sudah meloncat. 2014 kita di ranking 120, sekarang sudah ranking 72. Loncatannya tinggi sekali, tapi juga masih ruwet dalam praktik. Sudah meloncat kayak ini masih ruwet.

Saya pernah lihat Bapak, Ibu, Saudara-saudara sekalian, perlu saya ceritakan sedikit. Saya ngurus pembangkit listrik itu 259 izin. 259 izin, coba bayangkan. Saya pernah ada investor bawa tiga koper perizinan, tiga koper itu belum rampung, sudah 4 tahun urus izin. Seperti ini yang baru kita benahi habis-habisan. Meskipun Ease of Doing Business meloncat dari 120 ke 72.

Itu urusan di sini lah, urusan potong-memotong urusan kita. Siapa mau, sudah dipotong menjadi 58 izin, dari 259 sekarang jadi 58, itupun masih ruwet. Karena kelihatannya izinnya 58 tapi syarat-syaratnya itu, syarat juga jadi izin. Bisa jadi duit kita itu. Saya blak-blakan saja kalau di sini. Ada rekomendasi, itu juga jadi urusan juga. Ada syarat-syaratnya, izinnya satu, tapi syaratnya 10, ya ngurus 10 ini. Izin 1, rekomendasinya 5, ya ngurus 5, tambah 5 lagi. Jangan kayak gini diterus-teruskan. Ndak, ndak mau saya.

Saya orang lapangan kok, saya cari betul itu. Urusan dwelling time, urusan perizinan, saya urus betul. Hati-hati. Jangan dipikir kita enggak ngerti. Meskipun sudah kita potong 259 jadi 58 saja masih kayak gitu. Ada-ada saja. Izinnya 58 tapi rekomendasinya 10, ya sama saja.

Kemudian pertumbuhan ekonomi Indonesia 2017 juga pada angka 5,07 persen. Ini ‘kan juga sangat baik dibandingkan negara-negara lain. Dan tahun ini kita targetkan 5,4 persen di 2018. Kalau kita secara konsisten bisa menaikkan PDB, menaikkan pertumbuhan ekonomi kita, ini hitung-hitungannya, Bappenas ngitung, Mackenzie ngitung, Bank Dunia ngitung, di 2045 kita bisa masuk nomor 4 negara dengan ekonomi terbesar, di 2045. Ini sebuah lompatan, tapi memang harus ada konsistensi, ada keberlanjutan, ada kerja terus-menerus yang harus kita kerjakan.

Hal terakhir yang ingin saya sampaikan, mengenai perlindungan Warga Negara Indonesia. Saya mengikuti terus laporan-laporan yang diberikan oleh Menteri Luar Negeri, WNI yang telah dibebaskan dari penyanderaan. Di Filipina misalnya, terakhir kita bebaskan dua orang, meskipun masih ada di dalam. WNI yang dibebaskan dari hukuman mati saya juga catat terus. WNI yang dipulangkan, khususnya dari daerah konflik, ini juga jumlahnya, angkanya yang ada di saya lebih dari 50.000 orang.

Namun juga saya masih mendapatkan keluhan-keluhan dari warga negara kita di luar negeri. Jangan sampai ngurus-ngurus, saya enggak tahu urusan izin atau urusan visa atau urusan yang berkaitan dengan paspor, jangan sampai ngurus-ngurus seperti itu pakai yang namanya minggu apalagi bulan. Sudah enggak zamannya lagi. Mengurus sesuatu di Kedutaan Besar kita masih nunggu sebulan atau dua bulan, masih menunggu seminggu atau dua minggu. Sudah enggak zamannya lagi. Dan saya ingin Kedutaan Besar kita menjadi contoh nanti bagi instansi lain. Urusan kayak gitu itu urusan menit atau jam. Pakai aplikasi sistem yang cepat. Dunia sudah berubah kayak gini, ngurus-ngurus kayak gitu masih bulan. Apa-apaan? Masih minggu.

Saya kemarin ke mana ya terakhir, saya tanya, “sudah, Pak, kita sudah cepat sekarang seminggu” seminggu saja dibanggakan. Saya tertawa kadang-kadang. Aduh. ini Pak Dubes-nya jadul banget, enggak usah saya sebut dubes mana. Saya membatin saja, langsung mau saya skak, tapi nanti saya enggak dimasakin yang enak nanti. Enggak lah, malu kita, malu, urusan-urusan kayak gitu masih minggu, masih bulan. Jam, kalau perlu menit, tunggu, nih.

Saya kadang-kadang jengkel itu urusan-urusan kayak gitu. Termasuk di sini. Saya ceritakan urusan SIUP, saya obrak-abrik dulu waktu di Wali Kota, di Gubernur. Urusan SIUP, SIUP itu hanya satu lembar gini: nama titik-titik, alamat titik-titik, modal berapa, nama perusahaan, nama pemilik. Hanya itu saja. Saya cek langsung ke kantor perizinan. Coba saya minta SIUP. “Iya, Pak”. Tulis, saya meniti, enggak ada dua menit. “Lho kok bisa dua minggu?” “Ndak, Pak, yang di sini cepat, Pak, yang di atas yang lama, Pak”. Yang di atas itu yang kepalanya kantor itu yang lama, padahal juga hanya tanda tangan. Coba? ‘Kan setengah detik saja bisa tanda tangan. Coba? ‘Kan paling-paling, harusnya kan tiga menit rampung, itu lho. Kok bisa dua minggu? Saya naik ke atas, saya cari kepalanya, kepala kantornya. Saya sudah gregetan betul itu. Saya buktikan dua menit, kok sampai dua minggu itu apa-apaan disulit-sulitin kayak gini. Saya naik ke lantai 3, sudah terengah-engah gitu, kalau ada saya gaplok, untung enggak ada itu. Saya sudah jengkel sekali. Untung enggak ada. Betul, kalau ada saya gaplok betul itu, saya sudah jengkel sekali berita di bawah kayak gitu, diberitahu di bawah.

Kita ini di lapangan, pasti saya cek kayak gini-gini, hanya mungkin belum sampai saja. Sudah sampai kantor ini, tapi belum sampai di kantor itu. Akan saya cek satu persatu urusan-urusan kayak gini, kalau ndak, ndak rampung-rampung. Nyatanya juga bisa.

Dulu di BKPM mengurus izin, di situ ada 9 izin bisa bertahun-tahun, berbulan-bulan. Kita blak-blakan saja kalau tahun sama bulan itu mesti duitnya beda. Nyatanya sekarang bisa, sudah 2 tahun ini 3 jam jadi 9 izin. 3 jam jadi 9 izin. Nyatanya kita bisa, tapi harus diinjak dulu, dan dikontrol terus biar menjadi kebiasaan, biar menjadi sebuah corporate culture. Ya seperti itu, kita ini mau menuju ke situ. Nyatanya bisa 9 izin hanya 3 jam, bisa. Tapi nanti ke daerah…, sudah enggak usah komentar, belum kita benahi.

Saya menghargai, mengapresiasi berbagai langkah yang telah dilakukan dalam menciptakan standardisasi dalam sistem perlindungan WNI kita di luar negeri, melalui penguatan instrumen hukumnya, penguatan kapasitas SDM-nya, penyadaran publik. Dan sekali lagi tadi, aplikasi sistem juga yang memberikan perlindungan kepada warga kita yang tadi diterangkan oleh Pak Ngurah (Dubes Indonesia untuk Singapura). Nama siapa, alamat di mana, bisa dicek nomor telepon berapa, dia pergi ke mana saja kelihatan. Kita ini sekarang ‘kan sudah, kalau seperti itu, aplikasi sistem seperti itu enggak bisa kita buat ya kebangetan. Murah-murah sekarang kayak gitu itu. Di sini apa sih, aplikasi sistem akuntansi 25 juta saja dapat sekarang, yang antri banyak. “Pak, saya punya, saya punya”. Kayak gitu itu ya murah-murah. Kalau kita masih belum pakai ya kebangetan sekali, apalagi kedutaan besar. Malu. Betul. Kalau nanti saya pergi ini belum segera terealisasi, kalau saya nanti langsung saya skak begitu saja lah. Sudah belum? Dilihat belum ya sudah, skak saja. Sekarang masih ada transisi, tapi setelah hari ini, saya kira ndak lah, sudah. Kita sekarang blak-blakan saja. “Kerja enggak benar Pak Dubes?” Itu saja lah kalau saya. Hati-hati saja Pak dan Bu, bukan Pak Dubes saja, Bu Dubes juga.

Kerja sama Kementerian Luar Negeri, kerja sama Kementerian Dalam Negeri mendata seluruh WNI yang ada di luar negeri, sehingga nantinya hanya ada satu database WNI kita di luar negeri menjadi jelas. Memang yang sulit adalah yang masih ilegal, itu yang sulit betul. Jadi yang di sananya diperbaiki, nanti yang di sini juga akan kita perbaiki, bagaimana agar yang ilegal-ilegal ini betul-betul bisa kita pangkas. Saya yakin jika kita memiliki single database yang baik, maka perlindungan terhadap WNI kita akan semakin baik. Saya juga sudah perintahkan kepada seluruh kementerian/lembaga untuk membantu proses ini, sehingga baik Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, BNP2TKI, Kedutaan, Konjen, agar terus meningkatkan pelayanannya kepada WNI kita di manapun mereka berada.

Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Harapan saya tentunya kita semuanya yang sedang diberi amanat bekerja sebaik-baiknya untuk rakyat, fokus bekerja.

Terima kasih. Dan dengan mengucap bismillaahirrahmaanirrahim, saya nyatakan Rapat Kerja Kepala Perwakilan Republik Indonesia Tahun 2018 saya nyatakan dibuka.

Terima kasih.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakatuh.

Transkrip Pidato Terbaru