Sambutan Presiden Joko Widodo pada Penyerahan Sertifikat Hak Atas Tanah Wakaf, 24 Mei 2018, di Masjid Agung Al Imam, Majalengka, Jawa Barat

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 24 Mei 2018
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 3.614 Kali

Logo-Pidato2-8Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu was salamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Yang saya hormati para Bapak Menteri ATR/Kepala BPN, Pak Gubernur, dan Bapak Bupati,
Yang saya hormati yang mulia para ulama, para kyai ajengan, dan para ustaz.

Sangat berbahagia sekali pada siang hari ini saya bisa bersilaturahmi dengan para ulama dalam rangka menyerahkan sertifikat, baik itu untuk masjid, untuk musala, untuk pondok pesantren, untuk madrasah, dan hal-hal yang berkaitan dengan tempat-tempat keagamaan.

Memang pada saat ini yang kita bagikan baru 240 (dua ratus empat puluh) sertifikat tetapi saya sudah memberikan target kepada Menteri ATR/Kepala BPN, tahun ini insyaallah di Provinsi Jawa Barat akan kita selesaikan minimal 2.000 sertifikat untuk tempat-tempat ibadah (masjid, musala, dan pondok-pondok pesantren).

Kenapa ini saya ingin selesaikan secepat-cepatnya sertifikat ini? Sering saya pergi ke desa, ke kampung, ke daerah, ke provinsi banyak sekali sengketa-sengketa yang berkaitan dengan tanah wakaf. Di Jakarta saya dengar, di pusat kota, di tengah kota Jakarta ada masjid yang sudah diwakafkan, begitu harga di situ tanahnya naik sampai Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta) per meter, ahli warisnya menggugat. Masjidnya belum memiliki sertifikat. Inilah peranannya di situ. Karena sertifikat adalah tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki.

Di Sumatra Barat saya juga melihat, masjid raya yang besar juga digugat oleh ahli waris, meskipun sudah diwakafkan, karena juga di tengah kota. Saya kira di semua daerah/provinsi juga sama saja. Bukan hanya 1 (satu), 2 (dua), 3 (tiga), 4 (empat), tapi puluhan problem-problem seperti itu yang mau tidak mau harus kita selesaikan.

Oleh sebab itu, saya sudah memberikan target setiap provinsi tahun ini berapa. Di Provinsi Jawa Tengah berapa, di Jawa Timur berapa, di Provinsi Papua, di Sumatra dan semuanya, Aceh, semuanya sudah kita beri target agar tanah-tanah wakaf itu statusnya menjadi jelas karena memiliki tanda bukti hak hukum atas tanah yang dimiliki. Juga musala, pondok pesantren, masjid, madrasah, semuanya ingin kita selesaikan.

Saya kira yang sudah dibagikan ini gratis semuanya. Ada yang dipungut? Benar? Ya, alhamdulillah. Karena kadang-kadang kan saya mengecek seperti ini kadang-kadang ada yang tunjuk jari, “Pak saya dipungut.” Itu yang saya kejar, siapa yang mungut. Tapi kalau di sini enggak ada alhamdulillah, saya sangat senang sekali.

Kemudian yang kedua, yang ingin saya sampaikan. Ini juga saya sampaikan di mana-mana. Ini menyangkut isu-isu. Yang pertama, yang langsung menunjuk ke saya, ini perlu saya jawab, yang berkaitan dengan PKI. Ya saya harus blak-blakan kalau ndak nanti di bawah ini isunya muncul lagi kalau enggak saya jawab blak-blakan nanti. Karena pernah, saya datang ke sebuah pondok, pak kyai-nya pimpinan pondok menyampaikan ke saya bisik-bisik, “Pak Pesiden, saya minta berbicara 4 (empat) mata.” Waduh apa ini, tapi saya sudah mikir mesti itu. Betul, begitu masuk ke ruangan beliau memohon klarifikasi, tabayun untuk yang berkaitan dengan tuduhan PKI itu. Karena memang yang namanya politik itu kadang-kadang jahatnya seperti itu, langsung nunjuk Presiden Jokowi itu PKI.

Logikanya seperti apa? Saya lahir tahun ’61, PKI dibubarkan tahun ’65. Umur saya berarti baru 3 (tiga) tahun – 4 (empat) tahun. Masa ada PKI balita? Logikanya enggak masuk tapi ada yang mempercayai. Inikan yang lucu kadang-kadang seperti itu.

Begitu luput, saya sudah, ganti lagi, orang tuanya itu. Itu orang tuanya. Saya ini kan dari kampung, dari daerah, dari kampung, gampang sekali mengeceknya, NU ada PCNU, cabang NU di Solo, Muhammadiyah ada cabang Muhammadiyah di Solo, Persis ada cabang di Solo, Al-Irsyad ada cabang di sana, Parmusi ada di sana. Organisasi ormas apa yang enggak ada di Solo? Tanya saja ke masjid di dekat rumah orang tua saya, di dekat rumah saya, gampang sekali. Siapa kakek-nenek saya, siapa ibu-bapak saya, gampang sekali mengecek. Enggak ada yang bisa ditutupi sekarang ini.

Tapi kalau isu-isu itu terus diproduksi ya saya sebetulnya saya sudah 3 (tiga) kali diam saja tapi kalau ini terus-terusan, ini memang harus saya jawab ini. Ya saya jawab supaya isu-isu tidak berkembang terus. Saya ndak mau.

Jangan sampai di antara kita itu justru gampang curiga, su’ul tafahum. Gampang curiga, gampang berprasangka tidak baik, gampang berprasangka jelek. Kenapa tidak kita kembangkan yang khusnul tafahum yang penuh dengan rasa kecintaan terhadap saudara-saudara kita, berprasangka selalu positif, berprasangka selalu baik.

Kita harus sadar bahwa negara kita ini sangat berbeda-beda. Sukunya saja ada 714 (tujuh ratus empat belas) suku. Singapura hanya punya 4 (empat). Saya ke Afghanistan, saya tanya di Afghanistan ada berapa suku, hanya 7 (tujuh), kita 714 (tujuh ratus empat belas) suku yang berbeda-beda adat, berbeda-beda tradisi, berbeda-beda agama, berbeda-beda bahasa daerah. Ini adalah anugerah Allah yang diberikan kepada bangsa kita Indonesia, sudah sunatullah.

Tapi kadang-kadang kita itu tidak menyadari bahwa kita itu memang berbeda-beda. Di Sumut saja saya hampir keliru berapa kali. Saya pikir setelah ‘assalamualaikum’, ‘horas‘. Kalau di utara ya ‘horas‘, kan begitu. Begitu ke tengah saya, “horas“, “Pak keliru Pak, kalau di sini bukan horas Pak, meskipun batak di sini mejuah-juah, Pak.” Berbeda padahal kan dekat saja. Begitu agak ke timur beda lagi, “Pak di sini bukan horas juga Pak, di sini juah-juah Pak.” Bukan mejuah-juah tapi juah-juah. Begitu ke selatan, beda lagi, “Pak, Bapak salah lagi, di Nias bukan horas, bukan mejuah-juah, bukan juah-juah, di sini ya’ahowu Pak, ya’ahowu.” Beda lagi. Nanti pindah ke Jawa Barat, sampurasun.

Inilah, ini anugerah Allah yang diberikan kepada bangsa kita Indonesia. Yang sering tidak kita sadari bahwa kita ini memang dianugerahi oleh sebuah perbedaan, perbedaan adat, agama, tradisi, bahasa daerah, beda-beda. Bayangkan dari Aceh sampai ke Papua ada 1.100 (seribu seratus) lebih bahasa daerah. Saya mencoba menghapal saja enggak bisa-bisa. Hapal saya yang di sini sampurasun, karena sering ke Jawa Barat, ketemu Pak Gubernur. Atau yang kayak Sumut, horas, menghapalkan juga paling gampang. Karena terlalu banyak sekali bahasa daerah kita ini.

Oleh sebab itu, sekali lagi saya mengajak kita semuanya untuk memperkuat, memelihara, menjaga ukhuwah islamiyah kita, menjaga, memelihara, memperkuat ukhuwah wathaniyah kita bersama-sama. Jangan sampai perbedaan-perbedaan itu menjadikan kita pecah. Harusnya perbedaan-perbedaan yang diberikan oleh Allah kepada bangsa kita Indonesia menjadi sebuah kekuatan, menjadi sebuah potensi. Wong kita ini dilihat dari negara-negara muslim yang lain, kita mau dijadikan contoh, dijadikan role model. Mau dijadikan contoh. Kalau kita di dalam sendiri enggak rukun bagaimana?

Baru 3 (tiga) minggu yang lalu kita kumpulkan 100 (seratus) ulama besar dari seluruh dunia di Bogor. Yang ingin kita tawarkan adalah Islam wasatiyyah, wasatiyyah Islam, Islam jalan tengah. Dan beliau-beliau seluruh ulama-ulama besar menyambut semuanya. Yang datang ulama-ulama…, ulama-ulama besar semuanya. Grand Syekh Al Azhar, Imam Besar Masjidil Haram, datang semuanya.

Mereka mengagumi kita dengan perbedaan-perbedaan yang begitu banyak kita bisa rukun. Tapi kita kadang itu sedih, di dalam hal-hal yang kecil saja dijadikan…. Terutama ini yang pasti berkaitan dengan politik, pemilihan bupati, pemilihan wali kota, pemilihan gubernur, pemilihan presiden. Lupa bahwa kita ini Saudara. Silakan mau pilih bupati, pemilihan bupati silakan pilih yang paling baik. Pemilihan gubernur silakan pilih siapapun tapi pilih yang paling baik. Pemilihan presiden juga sama silakan mau pilih siapapun. Negara kita ini negara demokrasi.

Tapi jangan sampai gara-gara urusan pemilihan saja kita enggak saling ngomong dengan tetangga, tidak saling sama antarkampung, keliru besar kita. Itu hanya pilihan politik yang setiap 5 (lima) tahun harus kita jalani. Jangan sampai kita ini gampang dikompor-kompori oleh politisi-politisi sehingga kita bisa saling membenci. Jangan sampai. Rugi besar bangsa ini yang sudah rukun bertahun-tahun gara-gara urusan seperti itu menjadi saling mencela, saling mencemooh, saling membenci.

Saya kira itu titipan yang ingin saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, jangan gampang kemakan isu-isu terutama di media sosial. Kalau koran ya, kalau koran itu ada redakturnya, TV ada redakturnya dan ada yang nyaring, ada yang membuat filternya, itu ada. Kalau media sosial itu setiap orang bisa berpendapat, setiap orang bisa mengunggah. Jangan sampai hal-hal yang tidak ada filter itu kita percayai.

Tolong klarifikasi, tolong ditanyakan kepada yang lain sehingga ada penyaringan. Hati-hati dengan yang namanya media sosial, banyak negatifnya daripada positifnya, banyak kabar bohongnya dari kabar benarnya tapi kita sering banyak yang percaya. Omongan banyak yang 1 (satu) sampai 100 (seratus) dipotong hanya 5 (lima). Konteksnya tidak pas, menjadi tidak benar. Seperti itu dan kita percaya, ya bisa keliru kita.

Saya rasa itu sedikit yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Terima kasih atas kehadirannya pada siang hari ini.

Saya tutup.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Transkrip Pidato Terbaru