Upaya Mengantisipasi Praktek-Praktek Perampasan Tanah di Indonesia

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 27 Juni 2014
Kategori: Opini
Dibaca: 112.935 Kali

Oleh : Radian Nurcahyo dan Dani K.*)

reformasi_agrariaUndang-undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara.

Dengan demikian apakah pengertian “tanah memiliki fungsi sosial” merupakan rujukan dari pengambilalihan lahan dalam bentuk pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum? Selanjutnya bagaimana halnya dengan pengambilalihan tanah yang dilakukan untuk kegiatan usaha dengan permodalan besar yang dilakukan pada lokasi tanah yang dikelola oleh masyarakat/penduduk asli untuk kegiatan pertanian/non pertanian dapat dikategorikan sebagai “tanah memiliki fungsi sosial”?

Land Grabing

Sebagian pihak melihat bahwa pengambilalihan tanah masyarakat petani/penduduk asli untuk kegiatan usaha dengan permodalan besar disebut sebagai “Land Grabing”. Berkaitan dengan permasalahan tersebut belum lama ini telah diselenggarakan konferensi “Securing Land and Property Rights in South East Asia” di Siem Reap, Kamboja. Kegiatan tersebut diikuti oleh perwakilan beberapa Negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, Thailand, Philipina, Malaysia, Singapura, dan Kamboja.

Permasalahan tanah yang menjadi perhatian khusus pada konferensi tersebut adalah perampasan tanah (land grabing) yang terjadi di negara-negara ASEAN yang hingga kini masih terjadi dan seringkali mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat petani/penduduk asli.

Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah tujuan pembangunan sangat penting memperhatikan hak-hak petani/penduduk asli dengan tanpa mengancam dan menyingkirkan petani/penduduk asli dari sumber kehidupannya yaitu tanah, jika hal tersebut diabaikan, masa depan keluarga petani akan terancam. Oleh sebab itu praktek-praktek land grabing yang dilakukan untuk pertumbuhan ekonomi, pembangunan ketahanan pangan, atau alasan lainnya perlu dilakukan secara terukur dan tetap memperhatikan kehidupan masyarakat petani/penduduk asli.

Dalam menciptakan suatu sistem administrasi pertanahan yang bertujuan untuk dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan menghindari praktek-praktek land grabing, perlu segera dipikirkan suatu kebijakan-kebijakan strategis pertanahan nasional, antara lain:

Dilakukannya percepatan pelaksanaan  Reformasi Agraria di Indonesia

Melihat kondisi saat ini perlu adanya keseimbangan antara tetap mendorong perkembangan industri pertanian dengan memberikan perhatian khusus pada petani tradisional/masyarakat pribumi agar dapat mengolah lahan di atas lahan milik sendiri menuju terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sesuai Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Tujuan Reformasi Agraria adalah untuk mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, menata ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber-sumber agraria, mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, dan meningkatkan ketahanan pangan dan energi masyarakat.

Dalam mengimplementasikan reformasi agraria di Indonesia, satu hal yang sangat penting dilakukan adalah dengan melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip Reformasi Agraria.

Sebagai langkah percepatan penyelesaian permasalahan lahan di Indonesia, khususnya sengketa atau konflik lahan (yang disebabkan oleh land grabing) dapat digagas hal-hal sebagai berikut:

Upaya pencegahan sengketa/konflik lahan

Sebelumnya perlu dilihat akar permasalahan yang menyebabkan terjadinya sengketa/konflik lahan antara lain:

–     Adanya tumpang tindih regulasi di bidang pengelolan sumber daya agraria, khususnya sumber daya agraria yang terkait dengan lahan;

–     Pelaksanaan Land Reform yang belum selaras dengan semangat yang ada di dalam Undang-undang Pokok Agraria.

Upaya jangka pendek yang dapat dilakukan adalah optimalisasi koordinasi antar lembaga yang membidangi sumber daya agraria untuk melakukan konsistensi aturan hukum di bidang sumber daya agraria, khususnya aturan-aturan hukum di bidang sumber daya agraria terkait tanah yang saat ini inkonsisten.

Upaya jangka panjang yang dapat dilakukan sebagai alternatif penyelesaian permasalahan tersebut adalah dengan gagasan satu lembaga/otoritas yang khusus menangani sumber daya agraria agar terdapat satu kebijakan di bidang sumber daya agraria terkait tanah, sehingga akan terwujud satu arah kebijakan dan regulasi yang dapat mencegah terjadinya inkosistensi kebijakan dan regulasi di bidang sumber daya agraria.

Selanjutnya perlu segera dibentuk peraturan nasional yang mengatur pelaksanaan Land Reform sebagai implementasi dari Undang-undang Pokok Agraria.

*) Penulis adalah analis pada Asisten Deputi Bidang Pertahanan, Keamanan, dan Pertanahan

Opini Terbaru