Sambutan Presiden Joko Widodo Pada Penutupan Kongres Umat Islam Indonesia ke-VI di Yogyakarta, 11 Februari 2015
Assalamu alaikum Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim.
Yang saya hormati para ulama, ketua MUI beserta seluruh dewan pengurus,
Yang saya hormati seluruh menteri yang hadir, Gubernur D.I.Y, Gubernur Jawa Barat, para Sultan, hadirin hadirat, seluruh tokoh umat Islam yang pada pagi hari ini hadir.
Beberapa kali saya bertemu dengan Kepala Negara dari negara yang lain. Selalu disampaikan penghargaan kepada negara kita, Indonesia, dengan penduduknya yang terbesar. Negara muslim terbesar di dunia. Tetapi dengan sebuah toleransi, dengan saling menghormati, menghargai. Para kepala negara selalu menyampaikan, Indonesia bisa dijadikan sebagai sebuah role model. Negara muslim yang baik di dunia. Saya senang sekali dapat pujian seperti itu. Karena kalau kita lihat memang toleransi kita sangat baik. Saling menghormati antar kita sangat baik. Dan selalu kita mengambil jalan tengah, terus kita ambil, sehingga tidak ada sebuah ekstrimisme yang sangat. Dan itulah yang dilihat oleh negara-negara lain.
Karena sekarang ini memang kita lihat ada guncangan ke guncangan. Baik yang di Barat karena ekonominya, baik yang di Tengah guncangan-guncangan karena toleransinya, dan kita alhamdulillah sampai saat ini bisa menjaga kerukunan itu. Ini patut kita syukuri.
Tetapi, hadirin yang berbahagia, masih banyak sekali tantangan yang kita hadapi. Tadi sudah disampaikan oleh Prof Din (Syamsuddin), masalah yang berkaitan dengan individualisme, konsumerisme, hedonisme, ini sebetulnya tantangan-tantangan yang kita hadapi.
Kemudian juga masalah kebodohan. Kalau kita lihat di gambar, yang buta huruf, sampai 2013 bisa kita lihat betapa masih banyak sekali. Kemudian juga masalah kemiskinan. Pengangguran juga. Ini tantangan-tantangan yang harus saya sampaikan karena memang inilah fakta yang tidak perlu kita tutup-tutupi. Tetapi bagaimana umat Islam, pemerintah, bersama-sama menutupi ini.
Inilah persoalan lapangan yang selalu saya lihat setiap saya turun ke bawah, setiap saya turun ke masyarakat, setiap saya turun ke daerah. Selalu keluhannya masalah pengangguran, masalah kemiskinan. Dan harus kita akui masih tinggi.
Ini yang juga harus diselesaikan. Dan ini bisa diselesaikan kalau kita mempunyai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi juga jangan terjebak pada hanya masalah pertumbuhan ekonomi. Yang paling penting sebetulnya bukan pertumbuhan ekonominya. Tetapi pertumbuhan ekonomi dan pemerataannya. Ini yang selalu ditinggal belakangnya ini. Yang selalu kita lupa. Hanya pertumbuhan ekonomi tapi pemerataannya tidak terus yang dapat siapa? Ini sering kita lupa. Mungkin sudah bertahun-tahun, lupa kita pada itu.
Tingkat kemiskinan juga. Ini gambar saya ambil kemarin di Jakarta, tapi tidak pas di tempat yang banjir. Di Jakarta, gambar seperti ini masih banyak kita lihat. Sehingga gap yang ada di jalan Sudirman-Thamrin, dengan yang ada di Tanah Tinggi, Marunda, Pluit, gap-nya terlalu lebar sekali.
Bapak/Ibu bisa mencoba, silakan dari Sudirman-Thamrin naik ke lantai 40 atau 60, naik saja. Sudah tidak usah ngapa-ngapain, masuk ke gedung paling tinggi, naik lift, kemudian naik ke lantai yang paling tinggi, setelah itu turun lagi. Kemudian langsung ke Tanah Tinggi, atau langsung ke Marunda, langsung rasanya kelihatan sekali. Di sini rasanya kelihatan sekali, dan sakitnya juga di sini kelihatan sekali.
Inilah yang menjadi PR besar kita. Kemiskinan kita masih ada, kalau statistik menyampaikan 11 persen. Dalam jutanya, 28 juta. Tapi kalau saya lihat di lapangan kok tidak 11 persen. Lebih.
Saya dulu waktu di Jakarta saya masuk jadi gubernur, saya disodori angka kemiskinan di Jakarta 3,8 persen. Saya masuk ke gang-gang ke kawasan kumuh, saya tidak percaya 3,8 persen, kecil sekali.
Saya coba minta datanya lagi. Diberi data dari Bappeda. Saya baca yang miskin 3,8 persen, yang rentan miskin 37 persen. Saya tanya apa bedanya miskin dan rentan miskin. Yang jawab juga bingung. Sudahlah, jangan membuat kata-kata yang absurd seperti itu. Ada miskin, nanti ada rentan miskin, ada diduga miskin, hampir miskin. Kesulitan nanti kita menangani.
Sudahlah. Miskin ya sudah. Yang ini cukup, yang ini kaya. Masa ada istilah-istilah diduga miskin, hampir miskin, rentan miskin. Itukan hanya menghaluskan, tetapi fakta di lapangan: miskin. Angkanya 28 juta.
Kemudian yang kedua. Ini yang juga kita ini sekarang memang sudah pada posisi yang sangat darurat: narkoba. Perlu sebuah revolusi moral, revolusi mental untuk merubah posisi kita.
Ada 40-50 orang meninggal, mati karena narkoba, setiap hari. Jangan dipikir setiap tahun. Kalau dikalikan satu tahun 18 ribu meninggal karena narkoba, sia-sia. Kemudian ada 4,5 juta yang harus direhabilitasi. Ini problem yang sangat besar. Dan 1,2 juta yang sudah tidak bisa direhab karena memang sudah sulit untuk di rehabilitasi. Apakah ini akan kita biarkan begitu saja? Saya sampaikan: tidak!
Oleh karena itu, grasi yang masuk ke presiden di meja saya ada 64. Saya tandatangani semuanya, tapi ditolak. Tapi yang memutuskan hukuman mati bukan presiden, hakim di pengadilan. Ini supaya dibedakan, presiden hanya tidak mengampuni, tidak memberi grasi, tapi mungkin juga sama saja. Kalau diartikan mungkin juga sama saja. Tapi memang beda karena yang memutuskan hukuman mati itu di pengadilan.
Jadi kalau hukuman mati itu kita lakukan, karena memang hukuman positif di Indonesia masih ada, yang pertama. Yang kedua, tadi saya sampaikan 18 ribu setahun meninggal karena narkoba dan ini tidak bisa diterus-teruskan. Meskipun tekanan, desakan, dari luar banyak sekali. Karena saya terbiasa ditekan-tekan ya saya anggap biasa. Bisa dibayangkan, sudah dihukum mati, sudah dipenjara, masih mengendalikan bisnis narkobanya dari dalam (penjara). Kalau seperti ini kita teruskan, kapan kita akan rampung menyelesaikan masalah ini. Sehingga tiga bulan yang lalu saya sampaikan, kita perang terhadap narkoba. Dan kami berharap seluruh umat Islam memberikan dukungan untuk ini, termasuk tentu saja miras, yang kemarin baru kita larang untuk dijual di minimarket.
Meskipun tekanan dari sana sini, “Pak, omset kita jatuh, Pak, sekian triliun.” Tapi akibatnya, menurut saya, bisa puluhan kali lipat dari yang dia sampaikan tadi. Kebijakan itu masih ada yang menekan-nekan dan buat saya sudah biasa.
Dan yang terakhir, masalah besar kita adalah korupsi. Meskipun sekarang baru ramai masalah KPK dan Polri. Dan juga belum bisa kita selesaikan. Karena juga mungkin banyak yang belum tahu, karena ini bertumpukan masalahnya. Tidak hanya satu masalah itu, ada tumpukan masalah politik, ada tumpukan masalah prosedur hukum, ada tumpukan lagi, APBN yang juga baru berjalan di Dewan.
Tumpukan-tumpukan seperti ini yang harus saya urai satu-persatu. Dan itu butuh waktu. Kalau hanya satu masalah saja sudah. Saya itu kalau rapat paling tidak senang sampai berkali-kali. Seperti kemarin waktu kenaikan BBM juga sama, rapat dua kali, kemudian saya putuskan: sudah, pengalihan subsidi BBM dimulai, bulan November saat itu.
Meskipun ada yang menyampaikan, “Pak Presiden, nanti popularitas akan jatuh karena menaikkan BBM, karena pengalihan subsidi BBM.” Tidak, saya meyakini dengan mengalihkan dari subsidi, yang 82 persen dinikmati yang punya mobil, kepada subsidi yang memerlukan. Dibelikan traktor untuk petani, benih untuk petani, pupuk untuk petani, pendingin untuk nelayan, motor untuk nelayan. Kita giring ke sana.
Jadi memang berpuluh tahun subsidi BBM kita ini salah sasaran. Survey menujukkan bahwa 82 persen yang menikmati adalah yang kaya justru, sebab itu dialihkan. Kalau diberikan penjelasan kepada masyarakat, sekarang terbuka, tidak ada yang demo. Biasanya kalau ada kenaikan BBM kan demonya sampai sebulan lebih. Kemarin sehari dua hari sudah. Artinya pengertian yang kita sampaikan bisa ditangkap oleh masyarakat.
Saya kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap alhamdulillahirrabilalamin, Kongres Umat Islam Indonesia ke-VI pada pagi hari ini saya nyatakan ditutup.
Terima kasih.
Wassalamualaikum wr.wb.
(Humas Setkab)