Peningkatan Daya Saing Ekonomi dan Peran Birokrasi

By Humas     Date 30 September 2014
Category: Articles
Read: 11.419 Views

Oleh: Eddy Cahyono, Asisten SKP bidang Ekomomi dan Pembangunan

Simbol MEA 2015

Simbol MEA 2015

Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan  sinyal akan pentingnya peningkatan daya saing, di tingkat regional, Indonesia akan dihadapkan dengan implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang pelaksanaannya akan dimulai pada tanggal 31 Desember 2015.

MEA akan menjadi tantangan tersendiri bagi Bangsa Indonesia dengan transformasi kawasan ASEAN menjadi pasar tunggal dan basis produksi, sekaligus menjadikan kawasan ASEAN yang lebih dinamis dan kompetitif.

Pemberlakuan MEA  dapat pula dimaknai sebagai harapan akan prospek dan peluang bagi kerjasama ekonomi antar kawasan dalam skala yang lebih luas, melalui integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara, yang ditandai dengan  terjadinya arus bebas (free flow) : barang, jasa, investasi, tenaga kerja, dan modal.

Dengan hadirnya ajang MEA ini, Indonesia sejatinya memiliki peluang untuk memanfaatkan keunggulan dengan meningkatkan skala ekonomi dalam negeri,  sebagai basis memperoleh keuntungan, dengan menjadikannya sebagai momentum memacu pertumbuhan ekonomi.

MEA mendatang seyogyanya perlu terus dikawal  dengan upaya-upaya terencana dan targeted dengan terus meningkatkan  sinergitas, utamanya dalam meningkatkan dukungan menata ulang kelembagaan birokrasi, membangun infrastruktur, mengembangkan sumberdaya manusia, perubahan sikap mental serta meningkatkan akses financial terhadap sektor riil yang kesemuanya bermuara pada upaya meningkatkan daya saing ekonomi.

Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi peluang  karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan ekspor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Pada sisi investasi, dengan dukungan birokrasi pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusianya,  diharapkan  dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif dalam mendukung masuknya Foreign Direct Investment (FDI).

Meningkatnya investasi diharapkan dapat menstimulus pertumbuhan ekonomi, perkembangan teknologi, penciptaan lapangan kerja, pengembangan sumber daya manusia (human capital) dan mengatasi masalah tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan  yang menjadi tantangan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sebagai gambaran,  daya tarik investasi ke ASEAN lebih besar dari pasar global ketimbang nilai investasi antar negara ASEAN sendiri. Nilai investasi dari pasar global ke ASEAN mencapai 67 miliar dollar AS, jauh lebih tinggi dibanding nilai investasi antar negara ASEAN yang hanya 26 miliar dollar AS.

Disamping itu pemberlakuan MEA 2015 mendatang dapat dijadikan peluang bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, mengingat  semakin meningkatkan size ekonomi kawasan, dimana dalam studi CSIS dan ADBI, diprediksikan negara-negara Asean akan berpendapatan total 5,4 triliun dollar AS pada 2030 mendatang.

Namun sebaliknya, pemberlakuan MEA 2015 akan dapat menjadikan kita sebagai pecundang belaka,  yang ditandai dengan hanya menjadi pasar impor, dan terjebak  menjadi negara berpendapatan menengah  (middle income trap), apabila tanpa persiapan yang matang dalam meningkatkan produktivitas,  efesiensi dan daya saing.

Di masa lampau kekuatan dan daya saing sebuah bangsa dalam percaturan ekonomi dan perdagangan internasional ditentukan oleh keunggulan komparatif (comparative advantage) yang terkait erat dengan “keunggulan” sumber kekayaan alam yang dimiliki.

Namun dalam perkembangannya konsep dan keyakinan tersebut terbantahkan, dimana pada pertengahan 1985, Prof. Michael Porter dari Harvard University, menyajikan gagasan baru, teori keunggulan kompetitif  (competitive advantage theory) sebagai sumber daya saing yang kemudian praktis meruntuhkan keyakinan lama bahwa kekayaan alamlah yang menentukan tinggi rendahnya daya saing suatu bangsa.

Secara sederhana teori keunggulan kompetitif, menjadi dasar baru bagi peningkatan daya saing ekonomi, hal inilah yang menjadikan kemajuan ekonomi  negara-negara  seperti Jepang, Singapura, dan juga Korea Selatan, sehingga  dapat mencapai taraf perkembangan ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Teori keunggulan kompetitif tampaknya sangat relevan  dengan menjadikan daya saing sebagai pilar utama  meningkatkan  pertumbuhan ekonomi.

Pemahaman mengenai pentingnya daya saing berkembang seiring dengan semakin berkembangnya globalisasi dan perdagangan bebas. Daya saing secara garis besar diukur berdasarkan kondisi institusi, kebijakan, dan faktor-faktor  yang menentukan tingkat produktivitas ekonomi suatu negara.

Produktivitas yang tinggi mencerminkan daya saing tinggi dan daya saing tinggi berpotensi menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Daya saing tinggi menuntut pemenuhan “prasyarat dasar” yang diantaranya meliputi infrastruktur, kualitas kelembagaan birokrasi, stabilitas ekonomi makro, serta pendidikan.

Inpres No. 6 Tahun 2014  dan Strategi Peningkatan Daya Saing

Pemerintah RI terus meningkatkan komitmennya dalam mendukung optimalisasi daya saing guna memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, dengan  terbitnya Inpres No. 6 Tahun 2014 pada 1 September 2014.

Melalui Inpres tersebut, Presiden RI menginstruksikan kepada jajaran pemerintah di seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk meningkatkan daya saing nasional dan melakukan persiapan pelaksanaan MEA yang akan dimulai pada Tahun 2015.

Diharapkan melalui Inpres tersebut peningkatan daya saing dapat terus ditingkatkan, utamanya dengan mengedepankan beberapa strategi dasar di antaranya:

  1. Pengembangan industri nasional yang berfokus pada pengembangan industri prioritas dalam rangka memenuhi pasar ASEAN; pengembangan industri dalam rangka mengamankan pasar dalam negeri. Selanjutnya, pengambangan industri kecil menengah; pengembangan SDM dan penelitian; dan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).
  2. Pengembangan pertanian, dengan fokus pada peningkatan investasi langsung di sektor pertanian, dan peningkatan akses pasar.
  3. Pengembangan kelautan dan perikanan, dengan fokus pada penguatan kelembagaan dan posisi kelautan dan perikanan; penguatan daya saing kelautan dan perikanan; penguatan pasar dalam negeri; dan penguatan dan peningkatan pasar ekspor.
  4. Pengembangan energi, yang fokus pada pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); sub sektor energi baru, terbarukan dan konservasi energi; dan peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.
  5. Selain itu masih ada sepuluh sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan; investasi; usaha mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan; perdagangan; kepariwisataan; dan kewirausahaan.

Kita patut bersyukur upaya untuk terus meningkatkan daya saing secara bertahap di Indonesia telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan, meskipun harus diakui masih terdapat berbagai kekurangan  yang menjadi tugas bersama untuk terus memperbaikinya.

Meningkatnya daya saing Indonesia tercermin dari laporan Forum Ekonomi Dunia atau World Economic Forum (WEF) pada Selasa (2/9), yang  merilis Indeks Daya Saing Global 2014-2015. Dalam rilis itu dikemukakan, daya saing Indonesia naik 4 tingkat menjadi peringkat 34 dari 144 negara di dunia.

Peringkat Indonesia mengungguli Spanyol (35), Portugal (36), Filipina (52), Rusia (53), Brasil (57), India (71), Yunani (81), Mesir (119) dan Pakistan (129). Pada tahun 2012 daya saing Indonesia ada pada peringkat 50, tahun 2013 urutan ke-38 dan tahun ini menempati urutan ke-34.

Membaiknya daya saing Indonesia antara lain ditopang oleh ‘prestasi’ pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 5,8% per tahun sejak 2005. Di tengah melambatnya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi nasional di atas 5%.

Peningkatan daya saing Indonesia juga banyak didorong oleh kemajuan pembangunan infrastruktur. Meskipun infrastruktur kita masih banyak masalah, namun dalam kurun waktu 5 tahun terakhir progresnya cepat, terutama infrastruktur konektivitas.

Kenaikan peringkat daya saing Indonesia seyogyanya dapat terus diupayakan percepatannya dalam  menghadapi persaingan MEA 2015 mendatang, strategi utama yang dapat dipertimbangkan adalah memacu percepatan reformasi birokrasi.

Hal ini didasari atas kenyataan masih belum kondusifnya  dukungan birokrasi dalam mengoptimalkan peningkatan daya saing, terutama terkait dengan mengembangkan kemudahan berbisnis (doing business) sebagai salah satu tolok ukur utama daya saing negara.

Dari berbagai riset dan literatur sudah diidentifikasi bahwa rendahnya kapasitas kelembagaan birokrasi merupakan penyebab rendahnya tingkat kemudahan menjalankan bisnis di Indonesia.

Hal ini kontraproduktif dengan  proyeksi semakin meningkatnya kompleksitas pengelolaan makroekonomi jelang pemberlakuan MEA 2015,  yang  memerlukan penguatan dan peningkatan kapasitas institusional secara memadai dan berkesinambungan.

Kapasitas kelembagaan birokrasi bukan hanya mencakup institusi yang efisien, namun juga jajaran staf birokrasi yang berkualitas dan regulasi yang kondusif bagi pengembangan iklim investasi.

Survei yang dilakukan Bank Dunia juga menunjukkan korelasi kuat antara tingkat kemudahan menjalankan bisnis dan tingkat daya saing ekonomi. Masalah pemberdayaan kelembagaan birokrasi tampaknya memang menjadi soal sangat serius bagi Indonesia ke depannya.

Upaya-upaya berkelanjutan dalam menciptakan efektif dan efisiensi birokrasi seyogyanya menjadi upaya bersama untuk diwujudkan percepatannya. Kementerian/lembaga yang terkait dengan pelayanan publik harus menjadi aktor-aktor utama perubahan kelembagaan yang lebih baik yang diikuti dengan kesamaan dalam menerjemahkan visi sampai dengan level birokrasi di pemerintah daerah.

Di tingkat daerah, pemerintah daerah seyogyanya mengubah paradigma penggalian pendapatan daerah yang bersumber dari pungutan daerah, serta menjadikan  pemodal atau investor yang akan menanamkan modalnya di daerah sebagai pihak yang membutuhkan pelayanan yang baik.

Harus dipahami bahwa persaingan di tingkat regional Asean, Asia, bahkan global, akan menghadapkan birokrasi pemerintahan Indonesia dengan negara-negara lain. Maka, unsur birokrasi pemerintahan pada level pusat dan daerah, harus bersiap diri untuk berkompetisi dengan birokrat dari negara-negara lain.

Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) untuk basis inovasi di kelembagaan pemerintahan juga perlu dilakukan karena arah birokrasi ke depan adalah otomasi atau bahkan digitalisasi yang akan makin mengefisienkan roda birokrasi.

Implementasi prinsip-prinsip effective and efficient government dengan menata ulang struktur birokrasi, memacu daya adaptasi birokrasi terhadap perubahan  dalam penyelenggaraan pemerintahan, merupakan kata kunci dalam mengoptimalkan peran kelembagaan birokrasi bagi peningkatan daya saing nasional.

Dari sisi SDM,  perlu terus diupayakan   membangun meritokrasi sistem staffing birokrasi, melalui implementasi open recruitment, dengan open recruitment, diharapkan akan didapatkan  calon-calon yang kapabel untuk memegang jabatan tertentu.

Menata ulang kelembagaan dan SDM birokrasi seyogyanya  menjadi prioritas pada semua tataran birokrasi, mengingat semakin ketatnya persaingan ekonomi kawasan pada masa mendatang.

Ketatnya persaingan akan  menjadikan semakin sentralnya peran birokrasi sebagai “center of activity”  yang menjamin akselerasi berbagai implementasi  kebijakan dan program yang dirancang untuk memenangkan persaingan jelang MEA 2015.

Birokrasi harus mampu memberi sumbangsih   dalam pemberdayaan masyarakat, menjadi katalisator dan inovator serta membangun kompetisi dalam arti positip, menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan publik.

Transformasi jiwa-jiwa entrepreneurship  ke dalam birokrasi dapat  menjadi alternatif solusi dalam menjawab tantangan tersebut,  mewirausahakan birokrasi  sejatinya adalah sebuah usaha reformasi birokrasi dari aspek sumber daya manusia, yang dapat dilakukan paralel dengan  usaha untuk mereformasi birokrasi dari aspek sistem dan kelembagaan birokrasi yang ada.

Mentransformasikan jiwa-jiwa entrepreneurship ke dalam birokrasi, membangun pemerintahan yang kompetitif dan berwawasan ke depan, sebagaimana konsepsi  David Osborne dan Ted Gaebler dalam buku “Reinventing Goverment” tampaknya layak dipertimbangkan dalam menyongsong pemberlakuan MEA 2015.

Mengembangkan spirit wirausahawan pada birokrasi dapat menjadi alternatif pilihan dalam memenangkan persaingan MEA 2015, dengan mewirausahakan birokasi akan menghasilkan individu-individu birokrasi yang beroreintasi kepada tindakan yang bermotivasi tinggi dalam menjalankan tugas-tugasnya, efesien, kreatif dan inovatif dalam memasarkan potensi unggulan daerah,  agar memiliki  nilai tambah ekonomi tinggi.

Sikap-sikap mental yang positif dari jiwa-jiwa entrepreneurship  seyogyanya dapat menjadi sebuah daya yang besar dalam mengoptimalkan   kinerja birokrasi dalam mengembangkan investasi, mengatasi masalah ketenagakerjaan, pembangunan infrastruktur dan mengembangkan ekonomi kreatif.

Optimalisasi kinerja birokrasi sangat dibutuhkan dalam memenangkan kompetisi yang terjadi di segala lini dari mulai persaingan mendapatkan investasi, kualitas dan harga jual produk ekspor, pasar tenaga kerja, kualitas infrastruktur, hingga regulasi yang pro-investasi.

Kita tentunya berharap dengan mentransformasi spirit kewirausahaan dalam birokrasi akan dapat semakin meningkatkan  kinerja birokrasi dalam  memperkuat daya saing ekonomi nasional  dalam memenangkan persaingan MEA 2015, sehingga dapat mempercepat terwujudnya peningkatan kesejahteraan rakyat.  Semoga.

 

 

Latest Articles