Ihwal Pembatalan Perda

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Juni 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 31.441 Kali

Pak PurOleh: Purnomo Sucipto*)

Indonesia memasuki era otonomi daerah secara luas sejak berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 sampai dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014 sekarang ini. Pada era ini, DPR dan Pemerintah Daerah diberikan kebebasan mengatur daerahnya dengan membuat peraturan daerah (Perda). Namun sebagaimana jamaknya kebebasan, secara naluri, kebebasan cenderung digunakan seluas-luasnya. Atas dasar latar belakang inilah pembatasan berupa pembatalan Perda menjadi perlu. Tanpa pembatasan, daerah berpotensi membuat Perda yang tidak sejalan dengan kerangka NKRI serta dasar dan arah kebijakan nasional. Adanya data bahwa ribuan peraturan daerah telah dan akan dibatalkan oleh Kementerian Dalam Negeri menunjukkan hal itu.

Berikut ini diuraikan mengenai jenis-jenis Perda yang menjadi obyek pembatalan, sebab-sebab Perda dibatalkan, pejabat yang berwenang membatalkan, instrumen pembatalan, dan akibat serta sanksi. Uraian dimaksudkan agar pihak-pihak yang terkait dan masyarakat umum dapat memahami duduk persoalan yang sebenarnya. Perda yang dimaksud menjadi obyek pembatalan adalah Perda provinsi, peraturan gubernur, peraturan kabupaten/kota, dan peraturan bupati/walikota. Pada uraian ini Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota disebut dengan istilah Perkada.

Sebab-Sebab Pembatalan Perda

Suatu Perda dapat dibatalkan karena 3 (tiga) sebab, yaitu bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (PUU) yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan kesusilaan. Evaluator Perda, yakni Menteri dan Gubernur, akan menggunakan ketiga poin tersebut sebagai instrumen untuk menilai batal tidaknya suatu Perda.

Bertentangan dengan Ketentuan PUU yang Lebih Tinggi

Dalam menyusun Perda, legislator dan perancang tidak dapat sebebas-bebasnya merumuskan suatu ketentuan Perda. Mereka harus mempertimbangkan PUU yang lebih tinggi, seperti UUD Tahun 1945, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden. Hal ini sesuai dengan asas hukum lex superiori derogat legi inferiori, yang artinya apabila terdapat perbedaan pengaturan maka ketentuan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi melumpuhkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah. Dengan demikian, Perda menjadi tidak berlaku ketika bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tersebut di atas.

Bertentangan dengan Kepentingan umum

Perda yang akan diberlakukan tidak boleh mengakibatkan terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat,terganggunya akses terhadap pelayanan publik,terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum, terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan/atau diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antar-golongan, dan gender.

Bertentangan dengan Kesusilaan

Perda yang akan diberlakukan tidak boleh bertentangan dengan norma yang berkaitan dengan adab dan sopan santun, kelakuan, dan tata-krama masyarakat tempat Perda itu berlaku.

Pejabat yang Berwenang Membatalkan Perdadan Instrumen Hukumnya

Pada dasarnya Menteri dengan Keputusan Menteri berwenang membatalkan Perda provinsi dan peraturan gubernur. Sementara, Gubernur, dengan Keputusan Gubernur, berwenang membatalkan Perdakabupaten/kota dan peraturan bupati/walikota. Namun, dalam hal gubernur tidakmembatalkan Perda kabupaten/kota dan/atau peraturan bupati/walikota, Menteri yang membatalkan.

Akibat Pembatalan Perda

Terhadap Perda yang telah dibatalkan, kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut Perda dimaksud paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan. Sementara terhadap Perkada yang telah dibatalkan, kepala daerah harus menghentikan pelaksanaan Perkada dan selanjutnya kepala daerah mencabut Perkada dimaksud Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan.

Keberatan Pembatalan Perda

Dalam hal DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda provinsi dan gubernur tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan gubernur, gubernur dapat mengajukan keberatan kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan pembatalan Perdaatau peraturan gubernur diterima. Sementara, dalam hal DPRD dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda kabupaten/kota dan bupati/walikota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan bupati/walikota, bupati/walikota dapat mengajukan keberatan kepada Menteri paling lambat 14 (empat belas) hari sejak keputusan pembatalan Perdaka bupaten/kota atau peraturan bupati/walikota diterima.

Sanksi                                                                                                               

DPRD dan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang dibatalkan oleh Menteri atau oleh gubernur dikenai sanksi. Sanksi berupa sanksi administratif; dan/atausanksi penundaan evaluasi rancangan Perda. Sanksi administratif  dikenai kepada kepala daerah dan anggota DPRDberupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan selama 3 (tiga) bulan.Sanksi tidak diterapkan pada saat DPRD dan pemerintah daerah masih mengajukan keberatan kepada Presiden untuk Perda provinsi dan kepada Menteri untuk Perdakabupaten/kota.

*) Pemerhati Penyusunan Peraturan Perundang-undangan

 

 

Opini Terbaru