Bukan Utang, Menkeu: Melemahnya Rupiah Lebih Berpengaruh Pada Defisit Transaksi Berjalan

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 12 September 2018
Kategori: Berita
Dibaca: 13.161 Kali
Menkeu Sri Mulyani bersama menteri dari sejumlah negara menyampaikan paparan kepada media pada World Economic Forum on ASEAN, di Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9). (Foto: Facebook Sri Mulyani)

Menkeu Sri Mulyani bersama menteri dari sejumlah negara menyampaikan paparan kepada media pada World Economic Forum on ASEAN, di Hanoi, Vietnam, Rabu (12/9). (Foto: Facebook Sri Mulyani)

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, imbas dari penguatan nilai tukar dollar AS kepada rupiah bukan pada utangnya tetapi pada Defisit Transaksi Berjalan/Current Account Defisit.

“Apa yang membedakan setiap negara adalah kerentanan terhadap faktor eksternal. Indonesia bukan pada hutangnya, namun pada defisit transaksi berjalan,” kata Sri Mulyani dalam wawancara dengan Bloomberg di sela kegiatan World Economic Forum (WEF) untuk ASEAN di Hanoi, Vietnam,  Rabu (12/9).

Menkeu mengingatkan, undang-undang di Indonesia mengatur bahwa Defisit Transaksi Berjalan tidak boleh melewati angka 3 persen dari Product Domestic Bruto (PDB). “Angka tersebut masih dalam kendali,” tegasnya.

Menurut Menkeu, ketika Amerika Serikat memiliki sentimen terhadap negara berkembang di belahan dunia lain, hal itu menciptakan dinamika. Melihat tantangan tersebut, Pemerintah menurunkan defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan diatasi dengan membatasi impor secara selektif untuk menjaga momentum.

Selain itu, Pemerintah juga tengah berupaya meredam gejolak dinamika ekonomi global dengan membuat kebijakan yang memperhatikan faktor psikologis atau sentimen pasar disertai dengan aktif mengomunikasikan kebijakan kepada para pemangku kepentingan.

Potensi Krisis Terendah

Sementara itu menurut analisis terbaru Nomura Holdings Inc, ada tujuh negara berkembang di dunia yang memiliki risiko besar dalam mengatasi krisis mata uang. Ketujuh negara itu adalah: Pakistan, Turki, Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Mesir, dan Ukraina.

Dari tujuh negara itu, menurut analisis Nomur, Argentina dan Turki mengalami krisis mata uang. Sementara Argentina, Mesir, Sri Lanka dan Ukraina telah memutuskan untuk mengambil bantuan IMF sebagai cara untuk keluar dari krisis.

Analisis Nomura itu juga mengungkapkan adanya delapan negara dengan risiko krisis paling rendah, dimana Indonesia adalah salah satunya.

Kedelapan negara berkembang  dengan risiko krisis terendah menurut Nomura adalah Brasil, Bulgaria, Indonesia, Kazakhstan, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand.

“Ini adalah sebuah hasil yang penting. Karena investor lebih fokus pada risiko. Penting untuk tidak menyamaratakan risiko krisis pada negara-negara berkembang,” bunyi kesimpulan analisis Nomura itu. (Humas Kemenkeu/*/ES)

Berita Terbaru