Jumlahnya Sangat Kurang, IKAHI Tolak Usulan DPR Soal Pemajuan Usia Pensiun Hakim

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 27 Maret 2017
Kategori: Berita
Dibaca: 34.468 Kali
Jajaran Pengurus Pusat IKAHI yang diterima oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/3) siang. (Foto: Humas/Rahmat)

Jajaran Pengurus Pusat IKAHI yang diterima oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/3) siang. (Foto: Humas/Rahmat)

Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menolak pemajuan batas usia pensiun hakim yang diajukan DPR-RI melalui inisiatif pengajuan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. IKAHI mengingatkan, bahwa jumlah hakim di Indonesia saat ini sangat kurang, karena tidak ada rekrutmen selama 7 (tujuh) tahun terakhir, sementara di sisi lain adanya Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemekaran wilayah di sejumlah daerah yang berkonsekuensi dengan pembukaan lembaga peradilan, sehingga membutuhkan hakim yang tidak sedikit jumlahnya.

Ketua Umum IKAHI Dr.H.Suhadi, S.H., M.H. mengemukakan, dalam RUU umur hakim akan dikurangi. Hakim Agung dari 70 tahun menjadi 65 tahun. Hakim tingkat banding dari 67 tahun menjadi 63 tahun. Sedangkan Hakim tingkat pertama, dari yang pensiun seharusnya 65 tahun menjadi 60 tahun.
Dan untuk Hakim Agung, lanjut Suhadi,  juga di dalam RUU tersebut ada istilah kocok ulang. Dalam waktu 5 tahun bertugas, hakim yang bersangkutan diadakan evaluasi. Evaluasi yang dinilai oleh Komisi Yudisial dan oleh DPR untuk tugas 5 tahun kemudian.

“Kondisi seperti ini, terutama mengenai pemotongan umur sudah dibawa ke Munas IKAHI bulan November 2016 di Mataram, NTB. Dan semua hakim di seluruh Indonesia di dalam Munas tersebut menolak RUU yang mengatur tentang hal itu,” kata Suhadi seusai bersama jajaran Pengurus Pusat IKAHI, diterima oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (27/3) siang.

7 Tahun Tidak Ada Rekrutmen

Menurut Ketua IKAHI Suhadi, dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi itu, pihaknya menyampaikan hal-hal yang menjadi permasalahan dalam proses pelaksanaan kerja badan peradilan di Indonesia.

Pertama, bahwa di Indonesia terjadi kekurangan hakim, karena sudah 7 tahun tidak ada penerimaan hakim di Indonesia. Sedangkan yang pensiun terus terjadi sesuai dengan batas umur yang ditentukan.

Oleh sebab itu karena tidak ada penerimaan hakim sudah 7 tahun, menurut Suhadi, maka terjadi kekurangan hakim di Indonesia, terutama di tingkat pertama dan tingkat banding.

Sementara di sisi lain, lanjut Suhadi, ada Keputusan Presiden RI tentang pemekaran wilayah yang harus ada didirikan pengadilannya. Ia menyebutkan, ada 86 daerah baru yang harus ada pengadilannya dan pengadilan belum bisa melaksanakan Kepres tersebut, antara lain karena kekurangan hakim.

“Jika dalam satu pengadilan itu dibutuhkan 5 orang hakim, Ketua dengan Wakil, dan 3 anggotanya, maka dibutuhkan sekitar 512 orang hakim, di pengadilan yang ada di dalam Keppres tersebut,” papar Suhadi.

Oleh karena itu, menurut Ketua IKAHI, semua hakim di seluruh Indonesia di dalam Munas IKAHI di Mataram, NTB, November 2016 lalu, menolak RUU yang mengatur tentang pengajuan masa pensiun hakim itu.

Dalam pertemuan dengan Presiden Jokowi itu, IKAHI juga menyampaikan adanya keinginan dari Komisi Yudisial yang ingin mengambil masalah organisasi administrasi serta finansial dari badan peradilan untuk dikelola oleh Komisi Yudisial, yang istilah mereka share responsibility.

“Jadi minta untuk berbagi tanggung jawab menurut bahasa mereka. Ini juga ditolak oleh hakim seluruh Indonesia,” tegas Suhadi seraya menambahkan, bahwa perjuangan hakim berpuluh-puluh tahun, satu atap itu adalah harga mati, tidak bisa dipisah-pisahkan lagi.

“Ini baru 12 tahun kita sudah bisa membangun pengadilan itu sebagaimana yang diharapkan dalam 4 badan peradilan. Jadi kalau sekarang dicerai-berai lagi dengan berbagai atap, maka akan terjadi hal yang serupa seperti sebelum satu atap,” ujar Suhadi.

Saat menerima Pengurus Pusat IKAHI itu, Presiden Jokowi didampingi oleh Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laloly. (DNA/RAH/ES)

Berita Terbaru