Menko Polhukam Minta Masyarakat Pahami Pentingnya Keterlibatan TNI Atasi Terorisme
Oleh karena itu, untuk melawan mereka kita juga harus total, kalau total berarti seluruh komponen bangsa juga ikut terlibat, baik itu polisi, masyarakat, dan TNI, kata Wiranto kepada wartawan usai Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Senin (29/5) sore.
Sebelumnya dalam Sidang Kabinet Paripurna itu, Presiden Joko Widodo menekankan perlunya memberikan kewenangan TNI untuk masuk di dalam RUU Antiterorisme itu. Ia meyakini, Menko Polhukam sudah mempersiapkan alasan-alasan mengenai perlunya TNI masuk dalam RUU Antiterorisme.
Menko Polhukam mempertanyakan kalau TNI tidak dilibatkan, bagaimana mungkin misalnya ada teror dekat markas TNI, lalu karena ada hambatan Undang-Undang TNI diam saja. Karena itu, ia meminta kepada masyarakat, terutama tokoh-tokoh politik untuk sama-sama memahami masalah ini.
Jangan biarkan aparat keamanan dengan tangan terborgol melawan terorisme itu. Yang dirugikan kan rakyat, yang diserang juga rakyat, yang rugi juga rakyat, tegas Wiranto.
Wiranto menegaskan perlunya melindungi rakyat dengan cara-cara yang cukup keras, tegas, dan cukup untuk membuat teror di Indonesia ini habis. Apalagi, lanjutnya, sekarang sudah jelas bahwa ada suatu rencana pemindahan basis ISIS ke Filipina Selatan, yang sedang ditempur oleh militer Filipina. Ini dekat sekali dengan Indonesia, ujarnya.
Komprehensif
Senada dengan Menko Polhukam Wiranto, Kapolri Jenderal TNI Tito Karnavian mengaku sudah berdiskusi dengan Panglima TNI dan Menko Polhukam tersebut. Intinya penanganan terorisme itu harus komprehensif, tidak bisa hanya dilakukan satu instansi, apalagi hanya dengan penegakan hukum.
Perlu ada kegiatan preventif (pencegahan), perlu ada kegiatan penindakan, dan ada kegiatan pasca penindakan yang disebut dengan deradikalisasi atau rehabilitasi. Ini perlu melibatkan banyak unsur, terang Kapolri.
Menurut Tito, TNI adalah salah satu aset utama negara yang memiliki banyak sekali potensi, mulai dari potensi intelijen, teritorial, dan memiliki tim penindakan.
Potensi tersebut bisa dimanfaatkan untuk bersama-sama dan bersinergi dalam menangani terorisme. Misalnya, lanjut Tito, dalam rangka pencegahan, teritorial dan intelijen TNI bisa bermain di situ. Kemudian untuk deradikalisasi, rehabilitasi, mengawasi mereka yang sudah keluar dari lapas yang jumlahnya ribuan orang, TNI juga bisa berperan.
Kapolri mengingatkan, jaringan terorisme sekarang bukan hanya jaringan lokal tetapi jaringan internasional, seperti di Filipina Selatan, Suriah, Afghanistan, Turki, dan Irak. TNI yang memiliki kemampuan intelijen dan lain-lainnya bisa berperan dalam menangani hal tersebut.
Kenapa tidak bersama-sama dengan Polri. Polri memiliki kerja sama police to police, militer (kerja sama) dengan militer yang lain, intelijen (kerja sama) dengan intelijen yang lain. Ini semua bisa kita sinergikan, jelas Tito.
Namun Kapolri menambahkan, karena Indonesia negara demokrasi yang mengutamakan supremasi hukum dan hak asasi manusia, maka prinsip penanganan terorisme sebaiknya adalah due process of law atau tetap pada penegakan hukum.(DND/UN/ES)