Era Disruption dan Manajemen Strategik Birokrasi

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Oktober 2017
Kategori: Opini
Dibaca: 166.212 Kali

Eddy-Cahyono-SugiartoOleh: Eddy Cahyono

(“The greatest danger in times of turbulence; it is to act with yesterday’s logic”—Peter F. Drucker)

Dunia kini tengah mengalami guncangan besar,  sebagaimana  yang diilustrasikan dengan baik oleh Paul Gilding dan Francis Fukuyama dalam bukunya “The Great Disruption”,  fenomena ini terbentuk sebagai akumulasi  perubahan ekologi dramatis dan meningkatnya persaingan global yang salah satu faktor penyebabnya diakselerasi oleh konvergensi teknologi informasi (TIK).

Disruption era diyakini telah mempengaruhi berbagai relasi bangsa  dalam memenangkan persaingan global,   sistem negara dan sumber daya sedang menuju ke suatu sistem yang saling terkait,  sharing economy guna mendapatkan kecepatan dan efesiensi penggunaan sumber daya.

Fenomena disruption telah mendorong dunia global berpikir tentang bagaimana menerapkan ilmu “masa depan” dalam kondisi “sekarang”. Disisi lain, banyak pemimpin, politisi, birokrat, bahkan pengusaha masih berkutat dengan logika “masa lalu” untuk diterapkan “sekarang”.

Kesenjangan kondisi inilah yang menjadikan reformulasi manajemen strategik  pada berbagai organisasi,  baik organisasi bisnis maupun pemerintahanmenjadi relevan dengan melakukan disruption mindset,  sehingga faktor-faktor manajerial lebih terkelola dengan efesien dan cepat sebagai  faktor penentu keberhasilan (critical success factor).

Manajemen strategik organisasi yang mengarah kepada upaya disruption mindset merupakan jawaban terhadap fenomena disruption, kondisi yang ditandai dengan indikator simpler (lebih mudah), cheaper (lebih murah), accesible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat).

Renald Khasali dalam bukunya Disruption, secara apik menggambarkan fenomena disruption sebagai sebuah inovasi, yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru, disruptionakan menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologl digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat.

Disruption pada akhirnya menciptakan suatu dunia baru: digital marketplace. Pada era ini, perdagangan melalui dunia maya akan semakin intens, membuat para pendatang baru menantang korporasi-korporasi besar dan para incumbentDisruption menjadi sesuatu yang tak terhindarkan atau sudah menjadi keniscayaan.

Dalam era disruption kemunculan fenomena ekonomi berbagi  (sharing economy), internet of thingsmenjadi keniscayaan,   Idle capacity karena konsekuensi budaya lama penumpukan kapital (owning economy), akan menjadi beban pemilik, sehingga perlu utilisasi optimal untuk menghasilkan perolehan.

Persaingan abad ini dan kedepan akan ditandai bukan lagi antara produk dalam industri yang sejenis, melainkan antara model bisnis dalam industri yang batas-batasnya semakin kabur.

Fenomena ini sekaligus menjadi ancaman bagi para incumbent yang terbelenggu aturan-aturan lama, manajemen birokrasi, fixed cost yang tinggi, biaya transaksi yang mahal, serta metode-metode yang hanya cocok dipakai sebelum dunia mengenal smartphone, aplikasi teknologi, statistic analyticdan bigdata.

 

Relevansi reformulasi manajemen strategik birokrasi

Disruption era yang tengah melanda dunia global dewasa ini mendapatkan perhatian khusus dari Presiden RI, sebagai sebagai sebuah fenomena yang harus disikapi dengan cepat melalui akselerasi reformasi birokrasi substansial yang tidak hanya prosedural semata.

Mereformulasi manajemen strategik birokrasi menjadi keniscayaan di era disruption mengingat peran sentralnya dalam berkonstribusi pada peningkatan daya saing bangsa
Di dalam pendekatan institusional (kelembagaan), ‘lalu-lintas’ administrasi negara dari eksekutif ‘turun’ ke Kebijakan Administrasi, lalu ke Administrasi dan yang terakhir ke pemilih.

Artinya, setiap kebijakan negara yang yang diselenggarakan pihak eksekutif diterjemahkan ke dalam bentuk kebijakan administrasi negara, di mana pelaksanaan dari administrasi tersebut dilakukan oleh lembaga birokrasi.

Birokrasi adalah “setiap organisasi yang berskala besar yang terdiri atas para pejabat yang diangkat, di mana fungsi utamanya adalah untuk melaksanakan (to implement) kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh para pengambil keputusan (decision makers).

Idealnya, birokrasi merupakan suatu sistem rasional atau struktur yang terorganisir yang dirancang sedemikian rupa guna memungkinkan adanya pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien dan cepat, yang kesemuanya bermuara pada kualitas  dan kecepatan pelayanan dan peningkatan daya saing.

Dalam arahannya, pada saat membuka Seminar Internasional Ikatan Notaris Indonesia, di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Sabtu (9/9/2-17) Presiden RI kembali mengingatkan  peran sentral birokrasi dimaksud, Menurut Presiden  bukan negara besar mengalahkan negara kecil, tetapi negara yang cepat yang akan mengalahkan negara yang lambat.

Salah satu kunci yang mendapatkan penekanan lebih dari Presiden adalah  kecepatan birokrasi, kecepatan perizinan dalam melayani investasi-investasi yang datang, perlu akselerasi reformasi birokrasi untuk menyelesaikan regulasi-regulasi, peraturan-peraturan yang menghambat, maupun sistem-sistem yang masih menggunakan sistem-sistem lama.

Disisi lain masalah inefisiensi dalam penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah, keterpaduan program dan kegiatan yang berorientasi money follow program serta  tujuan dan sasaran yang  berorientasi pada hasil perlu terus diupayakan percepatannya melalui akselerasi  reformulasi manajemen strategik birokrasi.

Urgensi reformulasi manajemen strategik birokrasi pada berbagai tingkatannya, perlu terus diupayakan agar bisnis proses mulai dari perencanaan, pengorganisasi, eksekusi dan pengendalian  serta umpak balik yang diberikannya  dapat mempercepat birokrasi  adaktif terhadap perubahan.

Disinilah urgensi reformulasi manajemen strategik  birokrasi dalam mendukung percepatan perizinan, utamanya dengan membangun transparasi, akuntabilitas, efektif dan efesien guna peningkatan kualitas pelayanan yang memiliki korelasi positip terhadap peningkatan daya saing.

Penerapan good governance dan pemerintahan yang berbasis elektronik (e-governance)  sejalan dengan  visi Nawacita, dalam mewujudkan kehadiran negara dan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.

Penerapan e-governance  yang pada intinya merupakan digitalisasi data dan informasi seperti e-budgeting,  e-project planning, system delivery, penatausahaan, e-controllinge-reporting hingga e-monev serta apllikasi custom lainnya perlu terus diimplementasikan sebagai perwujutan reformasi birokrasi substansial sebagai antitesa  birokrasi prosedural (dokumen-dokumen administratif, pelaporan SPJ,  absensi dan tunjangan kinerja).

Pada setiap level manajemen perlu terus dikembangkan dashboard kepemimpinan  untuk  mengukur performance pekerjaan yang dilaksanakan, siapa pelaksananya,  kapan waktu pelaksanaan dan bagaimana perkembangan capaiannya.

Penggunaan teknologi informasi akan lebih memudahkan birokrasi dalam memberikan pelayanannya, pelayanan yang cepat, murah dan tepat seperti yang diimpikan oleh sebagian masyarakat  dan dunia usaha, hal ini  secara agregat akan berimbas pada peningkatan daya saing.

Selain itu, kinerja organisasi pada berbagai levelnya dapat lebih difokuskan pada upaya untuk mewujudkan outcomes  (hasil), setiap individu pegawai memiliki kontribusi yang jelas terhadap kinerja unit kerja terkecil, satuan unit kerja di atasnya hingga pada organisasi secara keseluruhan.

Perwujudan sharing economy  harus dimulai dari level yang paling sederhana, mulai dari kenderaan operasional dari memiliki menjadi menyewa, ruang rapat, penataan ruang kerja dan lainnya dengan mengedepankan konsep berbagi dan sinergi bukan lagi memiliki, ini perlu untuk menekan operasional cost.

Perubahan paradigma  beli, miliki, kuasai, lengkapi sendiri,  acapkali pemanfaatannya tidak optimal yang mengakibatkan aset menganggur. Mindset-nya birokratik, beli dan kuasai, mengerem dengan dalih mitigasi resiko atau compliance perlu diubah menjadi sharing economy.

Sistem yang terintegrasi (Sispan Pengendalian, One big data, dll) sebagai single system perlu diakselerasi dan dipaksakan penerapannya dengan tenggat waktu tertentu, meskipun tiap-tiap K/L dapat berkonstribusi dalam updatingnya,  sehingga  pengendalian terintegrasi dengan membangun sinergitas antar K/L  dalam satu platform dapat mengedepankan efesiensi dan kecepatan.

Fenomena dilakukannya pemantauan dan pelaporan satu objek program pembangunan dengan objek dan spasial yang sama oleh berbagai K/L yang berbeda-beda sangat tidak efesien dan menghabiskan sumber daya, integrasi data melalui sharing economy ini akan sangat bermanfaat untuk menekan efesiensi dan integrasi output pelaporan.

Perbandingan praktek konvensional dan inovasi disruptif memberikan gambaran birokrasi berbasis teknologi informasi dan sharing economy  mendisrupsi ketentraman sistem bisnis tradisional dan zona nyaman birokrat, yang rentan terhadap praktik morald hazard.

Kita tentunya berharap pemimpin birokrasi pada berbagai level tingkatannya,  baik di pusat maupupn di daerah,  memiliki pemahaman dan kesadaran yang sama  untuk mewujudkan shared vision  disruption birokrasi memimpin dan mengakselerasi perubahan di era disruption sehingga dapat berkonstribusi positip terhadap kecepatan pelayanan dan peningkatan daya saing bangsa. Semoga.

 

Opini Terbaru