Arahan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembukaan Rapat Kerja Nasional Kementerian Perdagangan, 31 Januari 2018, di Istana Negara, Jakarta
Bismillaahirrahmaanirrahim,
Assalaamualaikum warahmatullaahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om swastiastu namo buddhaya salam kebajikan.
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja, Menko Ekonomi, Menteri Perdagangan, dan seluruh Menteri yang hadir, Kepala Staf Kepresidenan, Kapolri,
Bapak-Ibu sekalian seluruh jajaran Eselon di Kementerian Perdagangan yang pada pagi hari ini hadir.
Saya sudah sering menyampaikan beberapa kali mengenai perubahan di era digital ini yang begitu sangat cepatnya. Oleh sebab itu, semuanya harus siap mengantisipasi adanya perubahan-perubahan yang sangat cepat ini. Sudah berulang kali juga saya sampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi negara kita ini kuncinya hanya ada dua, bagaimana kita bisa meningkatkan/menaikkan investasi, yang kedua bagaimana bisa menaikkan/meningkatkan ekspor. Hanya itu, tidak ada yang lain, enggak ada yang lain.
Oleh sebab itu, Kementerian Perdagangan dalam hal ini sangat berperan sekali terutama di satu hal tadi, ekspor. Tapi yang sangat jelas, kalau kita lihat angka-angka ekspor Indonesia sudah sangat kalah jauh tertinggal dengan negara-negara sekitar kita. Ini fakta dan angka-angka itu ada, dengan Thailand kalah kita, dengan Malaysia kalah kita, dengan Vietnam kalah kita. Kalau kita terus-teruskan seperti ini, bisa kita kalah dengan Kamboja atau Laos. Kalah, akan semakin kalah.
Coba lihat Thailand, angka ekspor ini di 2016, 2017 saya kira enggak akan jauh juga, US$231 miliar, ini Thailand. Malaysia US$184, Vietnam US$ 160, kita US$145. Ini fakta. Negara sebesar ini kalah dengan Thailand yang penduduknya 68 juta, Malaysia 31 juta penduduknya, Vietnam 92 juta. Dengan resources, dengan SDM yang sangat besar, kita kalah.
Ini ada yang keliru, ini yang harus diubah. Ini tanggung jawab Saudara-saudara semuanya. Kalah dengan Thailand, penduduknya hanya 68 juta, bisa ekspor US$231 miliar. Malaysia, penduduk 31 juta, ekspor bisa US$184 miliar. Vietnam juga sama, baru berapa tahun merdeka bisa ekspor US$160 miliar. Ini perlu saya ulang-ulang supaya kita sadar semuanya, ada yang keliru dan banyak yang keliru. Yang rutinitas, monoton kita lakukan bertahun-tahun tanpa ada perubahan apapun. Kita merasa bekerja, tapi sebetulnya kalau dibandingkan dengan yang hasilnya, harus kita lihat, kita harus ngomong apa adanya.
ITPC kita, Atase Perdagangan, untuk apa? Mestinya di situ ada market intelligence, di situ bisa melihat peluang-peluang di negara yang Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara bertugas itu apa. Dirjen juga harus bisa melihat seperti peluangnya apa, kendala-kendala di dalam negeri ini apa yang perlu dibenahi. Thailand penduduk hanya seperempat dari kita menghasilkan 1,5 kali ekspor Indonesia, coba. Vietnam, dua perlima penduduknya, menghasilkan 1,2 ekspor negara kita. Malaysia penduduknya hanya seperdelapan, menghasilkan 1,3 ekspor kita. Ini ada yang keliru, saya ulang lagi, ada yang keliru ini. Tugas Menteri Perdagangan, tugas Dirjen-dirjen yang ada, tugas ITPC, Atase Perdagangan untuk membenahi ini. Pasti ada yang keliru.
Kita terlalu monoton mengurus pasar-pasar tradisional kita. Sudah bertahun-tahun kita ditinggal negara lain yang sudah mulai menusuk, mulai mengintervensi pasar-pasar baru. Kita tidak pernah menengok Pakistan misalnya. Penduduknya 207 juta, dibiarkan, tidak kita urus. Bangladesh misalnya, penduduknya bukan kecil, 160 juta. Ini pasar besar. Meskipun kita sudah surplus tapi masih terlalu kecil angkanya. Afrika, tidak pernah kita tengok. Bahkan kemarin ada expo di Bangladesh, kita enggak ikut sama sekali. Semua negara ikut, kita enggak ikut. Kesalahan-kesalahan seperti ini yang rutin kita ulang-ulang dan enggak pernah kita perbaiki.
ITPC apa? Bertahun-tahun kita memiliki ITPC, apa yang dilakukan? Apa mau kita terus-teruskan? Kalau saya tidak. Saya lihat enggak ada manfaatnya, ya saya tutup, kalau saya. Negara keluar biaya untuk itu, jangan lupa Bapak, Ibu, Saudara-saudara semuanya. Negara keluar duit yang tidak kecil, banyak. Apa yang sudah dilakukan? Apa yang sudah dikerjakan? Kalah dengan negara-negara yang tadi saya sebut. Enggak mau saya, kerja-kerja seperti ini.
Oleh sebab itu, setelah pembukaan pagi hari ini, saya minta Pak Menteri betul-betul tolong secara detail dievaluasi, dikoreksi apa yang salah, apa yang keliru, dan apa yang harus dilakukan. Jangan kita Raker, Raker, Raker, Raker tapi tidak memunculkan sesuatu yang baru, tidak memunculkan tindakan-tindakan baru, tidak memunculkan ide-ide baru, tidak memunculkan gagasan-gagasan baru supaya kita bisa bersaing dengan negara-negara lain.
Kemudian yang kedua, kita juga masih sangat kurang mendalami kenyataan bahwa rantai produksi praktis di semua sektor sudah menjadi regional dan bahkan internasional. Kita masih berkutat pada yang itu-itu saja, kurang mendalami kenyataan ini mengenai rantai produksi. Sangat jelas bahwa perusahaan internasional seperti Unilever, Samsung, atau di kita Indofood atau Mayora mempunyai pabrik di mancanegara dan menjalankan rantai produksi secara regional dan bahkan internasional, yang mengandalkan lalu lintas antar pabrik-pabrik mereka di berbagai negara. Hal-hal seperti ini harus kita mengerti, kita dalami sehingga kita tahu regulasi apa yang kita perlukan untuk mendukung rantai produksi yang kita miliki.
Di samping perusahaan internasional, perusahaan domestik juga mengandalkan komponen dan bahan baku yang mereka impor. Ini juga hati-hati. Saya kira sedikit sekali industri kita yang hidup dari 100 persen komponen lokal, ini dapat dikatakan enggak ada. Dan bahan baku lokal 100 persen, enggak ada. Saya kira sudah sangat baik apabila sebuah industri itu sudah mencapai 80 atau 90 persen kadar lokalnya, local content-nya. Itu sudah sangat bagus. Tolong dilihat secara detail bahwa selalu akan ada 10-20 persen komponen atau bahan yang sangat spesifik yang mau tidak mau harus di impor. Ini hati-hati. Di mana kalau itu harus dikerjakan di Indonesia untuk sebuah komponen dengan volume yang kecil, yang sangat spesifik enggak mungkin, sehingga mau tidak mau kita harus impor.
Persoalannya adalah, ini yang saya lihat di lapangan, kalau 10-20 persen komponen impor atau bahan baku impor tersebut datangnya terlambat, keluarnya dari pelabuhan terlambat, sehingga barang yang gede itu tidak bisa dirakit menjadi sebuah barang. Ini sering kita. Hal-hal seperti ini tidak kita sadari bahwa impor itu ya impor. Padahal ada sebuah kepentingan yang sangat penting bahwa barang itu harus datang di sebuah pabrik, bahwa barang itu harus datang di sebuah industri untuk menyelesaikan barang besarnya. Hal-hal seperti ini Dirjen harus mengerti. Dirjen Perdagangan Luar Negeri, Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional harus mengerti dan harus berani menegur Kementerian lain, Dirjen lain kalau ada hambatan-hambatan sehingga mengganggu industri yang orientasinya ke ekspor. Di situlah pentingnya kelancaran prosedur impor dan ekspor. Ini menjadi sangat penting.
Kalau kita lihat di ease of doing bussiness, satu dari 10 komponen ease of doing bussiness itu ada di sini, di prosedur impor dan ekspor. Betapa mereka melihat bahwa itu sangat penting dan itu tidak pernah kita lihat secara detail. Karena industri membutuhkan proses Bea Cukai, membutuhkan prosedur impor dan ekspor yang cepat, yang efisien. Agar apa? Ya agar harga kompetitif, industri kita bisa kompetitif. Kalau komponen itu macet di pelabuhan berminggu-minggu, berbulan-bulan, ya produksinya menjadi tidak lancar dan tidak konsisten. Ini banyak kejadian-kejadian seperti ini yang tidak dilihat oleh Kementerian.
Saya berikan contoh industri perawatan pesawat terbang, maintenance repair dan overhaul. Dengan pertumbuhan sektor pariwisata dan perkembangan ekonomi, pertumbuhan sektor penerbangan itu juga sangat tinggi. Salah satu biaya operasional airline kita tentunya adalah perawatan dan perbaikan pesawat. Karena itu industri maintenance repair, overhaul sangat penting. Ini juga yang paling saya senang, ini sangat padat karya. Seharusnya Indonesia punya daya saing yang tinggi di sektor ini, bahkan bisa menjadi sebuah industri ekspor jasa. Harusnya ini bisa, kalau ada airline dari luar mendatangkan pesawat ke sini dan dirawat, diperbaiki oleh pekerja-pekerja kita. Ini peluangnya sangat besar sekali.
Paket kebijakan ekonomi yang ke-8 di Desember 2015, menurunkan tarif atas impor komponen pesawat menjadi 0 persen. Ini industri penerbangan kita menyambut baik, airline kita menyambut sangat baik paket kebijakan ini. Tapi persaingan regional yang kita hadapi, ini jangan melihat di dalam kita, persaingan globalnya seperti apa. Persaingan regional yang kita hadapi, Pemerintah Singapura memberikan jaminan industri maintenance repair dan overhaul bahwa semua komponen pesawat bisa selesai proses bea cukai, ini Singapura, proses bea cukai dan proses impor-ekspor tidak lebih dari 5 jam, tidak lebih dari 5 jam. Kita bisa? Bisa kalau mau, bisa kalau niat. Ngapain mereka bisa, kita enggak bisa. Mereka lebih pintar dari kita? Ndak, kita juga pintar-pintar. Tapi kita memang enggak pernah me-reform di tempat-tempat seperti ini.
Karena kita harus sadar bahwa komponen pesawat itu adalah barang yang sangat mahal. Satu komponen saja bisa puluhan miliar harganya. Jadi kalau barang itu macet di pelabuhan, berminggu-minggu atau berbulan-bulan, biaya inventory-nya menjadi sangat tinggi. Duit yang dikeluarkan menjadi lebih gede. Jadi enggak ada gunanya impor 0, menjadi enggak ada gunanya. Kalah dengan tadi yang cepat tadi. Hati-hati, jangan bangga dulu, sudah menolkan saja sudah kayak… Orang lain, negara lain berbuat seperti itu kita tidak ya ditinggal. Contoh-contoh seperti inilah yang harus kita evaluasi total, harus kita koreksi total. Ini contoh-contoh kecil.
Yang kedua, yang berkaitan dengan pameran. Saya titip Pak Menteri, semua pameran, semua yang berkaitan dengan anggaran untuk marketing, untuk pemasaran, untuk pameran itu tolong dijadikan satu lah di semua kementerian nanti, Pak Menko ini.
Kalau di Malaysia ada MaTrade, di Indonesia harusnya ada InaTrade, yang semua mestinya, perdagangan, pariwisata, investasi ini jadi satu saja. Jangan semua kementerian pameran, anggarannya sini ada, sampai 18 kementerian itu ada semua anggaran untuk pameran, kecil-kecil. Munculnya apa? Kita pameran itu apa sih gunanya? Untuk membangun sebuah image, untuk membangun sebuah persepsi bahwa barang kita ini kualitasnya baik, kompetitif. Sehingga kalau pameran itu buatlah yang segede-gedenya sehingga image yang baik itu muncul, persepsi yang baik itu muncul. Kalau anggarannya di-pritil-pritil kecil-kecil di setiap kementerian jadinya apa? Pameran di luar negeri hanya nongol 1 stan, hanya 2 stan, hanya 3 stan. Kita mau pameran maunya menampilkan, tetapi malah image kita jatuh.
Perlu saya ingatkan lagi, jangan sampai pameran pesan sudah terlambat stannya, sehingga kita dapat stan di dekat kamar kecil, di belakang. Tidak ada gunanya. Enggak usah ikut, kalau saya. Tanya saya, enggak usah ikut. Kalau mau ikut pameran, di depan gerbang, dekat gerbang. Itu image kita akan langsung gede, naik. Kalau enggak, enggak usahlah, malu.
Coba lihat terakhir pameran di Dubai, saya dapat suara-suara, malu kita. Enggak usah lah ikut pameran-pameran kalau hanya untuk kayak gitu-gitu, yang penting prosedurnya dilewati, yang penting ikut. Tidak membangun image, tidak dapat persepsi yang baik untuk produk kita, barang kita. Pembeli pun mau nengok saja tidak mau. Kalau stannya hanya 1-2 stan untuk apa? Buat yang gede, di dekat pintu gerbang, pesan 2 tahun atau 3 tahun sebelumnya, atau 5 tahun sebelumnya, saya minta ini.
Inilah kekeliruan-kekeliruan yang terus-menerus sudah berpuluh tahun kita ulang-ulang. Saya tidak mau diterus-teruskan seperti itu.
Saya minta ini Pak Dirjen Pengembangan Ekspor Nasional juga ini betul-betul diperhatikan. Berbicaralah dengan kementerian-kementerian yang lain. Sehingga enggak ada Kementerian UMKM pameran sendiri di luar negeri satu stan, nanti Kementerian Perindustrian pameran sendiri dua stan, apa? Gunanya apa? Kalau saya, enggak usah ikut. Kalau saya tahu pasti saya, enggak usah. Pilih tempat yang bagus negaranya, yang memberikan manfaat, yang akan meningkatkan ekspor, pilih stan yang dengan lokasi yang sangat strategis. Itu baru yang namanya pameran.
Yang ketiga yang berkaitan dengan FTA, PTA. Saya minta agar bekerja keras dengan Kementerian Luar Negeri. Ini semuanya diselesaikan terutama negara-negara kunci yang bisa menaikkan ekspor kita. Negara lain sudah memiliki FTA, sudah memiliki trade agreement, kita belum. PTA belum, ya ditinggal kita. Jangan kalah lincah dengan negara-negara lain. Kita ditinggal semua di tempat ini. Semuanya harus dikebut.
Yang terakhir yang berkaitan dengan perdagangan dalam negeri. Saya minta betul-betul Dirjen Perdagangan Dalam Negeri ini dan semua jajaran ini mengerti betul mata rantai perdagangan yang ada, supplier-nya siapa, distributornya siapa, agen-agen siapa. Itu harus detail memiliki, baik urusan beras, baik urusan daging. Saya kira sudah memiliki semuanya tapi selalu di-update sehingga kelihatan di setiap titik mana yang macet, di setiap titik mana yang suplainya kurang, selalu ter-update terus. Menjamin ketersediaan, menjamin pasokan itu penting sehingga suplai kepada pasar, suplai pada masyarakat itu betul-betul terjaga. Juga untuk menjamin ketersediaan kebutuhan industri, dilihat. Jangan sampai membuat regulasi yang justru industri teriak karena pasokannya terhambat. Baik yang berurusan dengan gula, baik yang berurusan dengan bahan-bahan yang lainnya.
Saya sudah sampaikan kepada Menko Ekonomi, Pak Darmin, saya minta yang namanya larangan terbatas, lartas-lartas, itu dihilangkan, dikurangi. Saya tadi ketemu, langsung saya tanya, sudah berapa yang dipotong. Dari 5.000 sekarang sudah dipotong menjadi 2.200. Masih terlalu banyak 2.200 itu. Lartas-lartas itu apa sih? Dipikir saya tidak tahu gunanya lartas itu apa? Untuk permainan apa? Ngerti semua saya. Saya kadang masih diam kalau belum kebangetan tapi begitu sudah kebangetan, tahu sendiri.
Jadi jangan sampai kita tidak memiliki data-data secara detail dan dadakan-dadakan. Perangkat Kementerian Perdagangan itu gede sekali, jadi kalau data-data mengenai yang saya sampaikan tadi tidak ada di kantong itu kebangetan, sangat kebangetan sekali. Sehingga jaminan pedagangan lintas daerah kita harus mengerti mana yang produknya lebih, mana yang produknya kekurangan sehingga dipasok dari daerah lain. Ini harus dilihat terus. Jangan sampai yang satu stoknya banyak, didiemin, yang satu kekurangan stok sehingga harga naik, inflasi naik. Ingat bahwa negara kita ini negara besar, jadi kalau arus barang tidak diatur, tidak diketahui dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam, stabilisasi harga tidak bisa kita (kendalikan). Enak spekulan kalau seperti itu. Kalau kita enggak ngerti sebetulnya spekulan yang senang. Kenapa spekulan itu ada, karena kita enggak bisa mengendalikan manajemen itu.
Yang terakhir yang berkaitan dengan perdagangan online dan mengantisipasi e-commerce. Saya titip betul-betul dilihat datanya. Perdagangan naik atau turun itu datanya kok menjadi menurun apakah karena dari offline menjadi online atau karena ada hal-hal yang lain. Ini adalah transisi yang harus kita amati betul. Jangan sampai kita enggak mengamati secara detail, tahu-tahu ada marketplace yang membuka lapaknya tapi produknya 100 persen itu dari barang-barang luar. Ini kita malah kemasukan. Cek betul apa yang dijual, barangnya dari mana.
Saya juga sudah tugaskan Menko juga mengenai masalah ini sehingga regulasi mengenai perdagangan online, e-commerce ini betul-betul harus segera disiapkan. Kalau ada marketplace besar yang barang-barangnya di situ isinya barang-barang dari dalam negeri, silakan, berarti kita mengintervensi pasar luar. Tapi kalau kebalik, tahu-tahu enggak kelihatan, tahu-tahu banyak produsen kita yang tutup, hati-hati. Ini ada intervensi yang enggak kelihatan dah bisa dimungkinkan berasal dari perdagangan online yang tidak bisa kita lihat secara detail satu per satu. Ini hati-hati.
Tolong buka-buka lapak-lapak yang ada di online itu buka semuanya, apakah itu barang kita atau barang dari negara lain. Karena perlindungan terhadap konsumen, tertib niaga itu penting sekali bagi perlindungan produsen-produsen kita. Ini Dirjen-nya juga ada.
Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Sekali lagi, marilah kita mengubah, berubah, karena dunia memang berubah begitu sangat cepatnya.
Terima kasih.
Wassalaamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.