Pengalihan Subsidi BBM Pacu Ekonomi Produktif

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 4 November 2014
Kategori: Opini
Dibaca: 151.414 Kali

Oleh: Eddy Cahyono S, Staf Sekretariat Kabinet

Eddy Cahyono SugiartoVisi prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang mandiri dibidang ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan, yang dielaborasi  dalam  9 Agenda Prioritas (Nawa Cita) Presiden RI Joko Widodo, sejatinya merupakan strategi mendasar dalam meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing serta membangkitkan kejayaan ekonomi Indonesia.

Kemandirian di bidang ekonomi  dengan memacu pertumbuhan  ekonomi produktif rakyat,  menunjukkan keberpihakan pemerintah dalam pengembangan ekonomi berkeadilan, dengan memprioritaskan bergeraknya sektor-sektor strategis ekonomi domestik, antara lain pertanian, perkebunan, perikanan, UMKM dan  pengembangan ekonomi kreatif, yang didukung oleh infrastruktur dasar dan konektivitas nasional yang memadai.

Upaya memacu bergeraknya sektor-sektor strategis ekonomi domestik tersebut, menuntut adanya realokasi pembiayaan dalam struktur pembelanjaan negara (APBN), utamanya guna memastikan semakin besarnya ruang fiskal dalam menggerakkan sektor-sektor ekonomi domestik.

Sebagaimana yang kita ketahui,  struktur dalam APBN 2015 tidak memiliki ruang fiskal yang kondusif  dalam mendukung  bergeraknya sektor-sektor ekonomi domestik, sebagai akibat dari beban subsidi BBM yang sudah sedemikian berat.

Diperlukan adanya langkah “berani dan cepat”  dalam menyelamatkan APBN dan memperlebar ruang fiskal APBN mendatang, mengingat terus meningkatnya konsumsi BBM,  yang ternyata 70% dinikmati oleh kelompok berpunya.

Sebagai ilustrasi,  anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam APBN-P 2014 diperkirakan akan melampaui dari target yang sudah ditetapkan. Subsidi diperkirakan mencapai Rp246,5 triliun, dengan volume BBM subsidi 46 juta kilo liter.

Tercatat dalam APBN-Perubahan 2014, program pengendalian subsidi sebesar Rp403 triliun, terdiri dari atas subsidi energi Rp350,3 triliun yaitu subsidi BBM Rp246,5 triliun dan subsidi listrik Rp103,8 triliun, serta subsidi non-energi Rp52,7 triliun.

Subsidi dan urgensi pengalihan subsidi  BBM

Dalam konteks studi Ekonomi Pembangunan subsidi,  sejatinya adalah   salah satu instrumen kebijakan fiskal, yang dilakukan pemerintah  dalam menjaga pemerataan terhadap akses ekonomi dan pembangunan, sehingga peran subsidi tetap penting bagi pembangunan ekonomi suatu bangsa.

Dengan  subsidi  dapat dilakukan  koreksi terhadap  ketidaksempurnaan pasar (market imperfections),  bagi  pembangunan ekonomi Indonesia,  kebijakan subsidi seyogyanya dapat  menjaga kelompok masyarakat miskin agar tetap memiliki akses terhadap pelayanan publik,  kesehatan, pendidikan dan pembangunan ekonomi serta  sosial.

Belajar dari pengalaman negera-negara lain, setidaknya dapat dijadikan acuan dalam mereformulasi kebijakan subsidi,  tidak ada negara yang tidak menggunakan subsidi. Bahkan negara yang bergabung dalam Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) seperti Inggris dan Amerika Serikat juga menjadikan instrumen subsidi dalam pembangunan ekonomi.

Namun yang perlu dicermati adalah bagaimana negara-negara  tersebut menggunakan subsidinya secara “tepat sasaran”, misalnya bagaimana peningkatan subsidi yang diberikan kepada petani meningkatkan produksi dan memperluas akses pasar internasional seperti  instrumen  penting diambil oleh negara OECD.

Selain itu, program jaminan sosial yang dilakukan di negara-negara OECD juga menunjukan bagaimana negara maju sangat konsen terhadap kebijakan subsidi dalam rangka memberikan pelayan dasar terhadap masyarakatnya.

Subsidi yang “tepat sasaran” akan membawa efek eksternalitas, subsidi yang targeted terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, diyakini   akan berdampak pada meningkatnya kualitas SDM,  mendorong meningkatnya daya saing dan produktivitas  serta menjamin  pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Bercermin dari strategi dan kebijakan subsidi di negara-negara lain, pilihan pengalihan subsidi BBM ke sektor-sektor produktif  dapat menjadi exit strategi dalam  menjawab tantangan pembangunan ekonomi Indonesia,  ditengah kondisi perkembangan ekonomi global yang kurang menggembirakan serta semakin kompetitifnya persaingan ekonomi kawasan.

Pengalihan subsidi BBM ke subsidi non BBM diharapkan  dapat menjadi trigger bergeraknya sektor ekonomi produktif sebagai prime mover pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sejak tahun 2007 sampai 2013 subsidi memang mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pada tahun 2007, pemerintah menganggarkan pengeluaran subsidi sebesar Rp. 150 triliun rupiah. Dalam APBN 2013, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi sebesar Rp. 317 triliun atau naik dua kali lipat dibandingkan tahun 2007.

Bila dilihat dari alokasi dalam APBN, alokasi subsidi telah mencapai 19-20% dari total APBN, yang  sekitar 80% dialokasikan untuk subsidi energi seperti subsidi BBM dan subsidi listrik.

Besarnya alokasi subsidi BBM  telah menyebabkan sempitnya ruang fiskal bagi pembangunan ekonomi produktif, untuk  itu rencana pengalihan subsidi BBM ke sektor ekonomi produktif diharapkan dapat menciptakan kesehatan fiskal yang sangat diperlukan dalam  menopang pengeluaran yang produktif.

Pengeluaran produktif  sebagai prasyarat pertumbuhan ekonomi akan dapat menjamin kontinuitas pembangunan ekonomi, pengalihan subsidi BBM ke pembiayaan pembangunan infrastruktur dalam negeri misalnya,  akan  dapat menyerap banyak tenaga kerja dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan perekonomian.

Pengalihan subsidi BBM bagi peningkatan kapasitas subsidi untuk pangan, pupuk dan benih kepada masyarakat pertanian diproyeksikan  akan mampu mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia,  mengingat  57,8% penduduk miskin berada di sektor pertanian.

Langkah pengalihan  subsidi BBM ke sektor-sektor ekonomi produktif  sejatinya merupakan cerminan dari politik subsidi yang tepat, yakni dari subsidi barang menuju subsidi orang,  sejauh orang-orang yang disubsidi ialah orang-orang yang tepat pula.

Oleh karena itu kenaikan harga BBM bersubsidi merupakan suatu keniscayaan, mengingat kondisi fiskal tak lagi memungkinkan pemerintah mempertahankan harga subsidi BBM seperti sekarang ini. Pelebaran defisit fiskal sebagai imbas dari lonjakan konsumsi BBM bersubsidi dipandang dapat mengancam tidak hanya kesehatan fiskal namun juga berpotensi mengganggu ketahanan nasional, disisi lain  konsumsi BBM bersubsidi selama ini dipandang tidak tepat sasaran dan banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu.

Kita tentunya berharap melalui pengalihan subsidi BBM akan semakin meningkat alokasi pembiayaan berbagai program  peningkatan kesejahteraan rakyat,  melalui perluasan pembangunan infrastruktur,  meningkatkan pengembangan melalu“Indonesia Sehat”,   dan meningkatkan kualitas  SDM  dengan “Indonesia Pintar,”  sekaligus dijadikan  momentum kebangkitan   ekonomi produktif dan berkeadilan di Indonesia. Semoga

Opini Terbaru