FPI Kembali Beraksi

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 19 November 2014
Kategori: Opini
Dibaca: 138.839 Kali

FPIKegiatan demonstrasi kerap kali terjadi di wilayah Ibu Kota selama satu bulan terakhir ini yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI). Kegiatan demonstrasi tersebut menyita perhatian karena cenderung berakhir dengan peristiwa bentrok dengan pihak Kepolisian. Selama satu bulan terkahir ini tercatat FPI sudah beberapa kali melakukan aksi demonstrasi, dan terjadi satu kali bentrokan dengan pihak Kepolisian pada 3 Oktober 2014.

FPI bersama dengan organisasi masyarakat Islam lainnya mengerahkan sejumlah massa sebanyak 200-300 orang. Konsentrasi massa tersebut berkumpul di depan Kantor DPRD Provinsi DKI Jakarta. Pada awalnya mereka melakukan orasi dan menyampaikan pandangan mereka, namun suasana menjadi berubah manakala para demonstran tersebut mulai melempari aparat kepolisian yang berjaga dengan batu. Terdapat beberapa aparat yang mengalami luka-luka akibat lemparan batu tersebut.

Pasca bentrokan, pihak kepolisian mengamankan Koordinator Lapangan (Korlap) kegiatan demonstrasi tersebut. Kepolisian juga menahan sebanyak 14 orang yang terlibat dalam insiden bentrok dengan aparat. Kepolisian Daerah DKI Jakarta juga melakukan pencarian terhadap Habib Novel yang disebut-sebut sebagai dalang dalam terjadinya bentrok. Habib Novel sendiri pun pada akhirnya menyerahkan diri ke pihak kepolisian.

Setelah dilaksanakannya tahapan pemeriksaan, pada tanggal 14 Oktober pihak kepolisian telah mengirimkan berkas mengenai kejadian bentrokan tersebut kepada Kejaksaan Tinggi. Polisi menetapkan 22 tersangka yang juga dijerat dengan Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang Perusakan secara bersama-sama, Pasal 214 KUHP melawan petugas atau aparat.

Tuntutan-tuntutan FPI

Dalam setiap kali melakukan aksi demonstrasi, FPI selalu menyuarakan agar Basuki Tjahja Purnama (Ahok) yang juga merupakan Plt. Gubernur DKI Jakarta, tidak dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tuntutan FPI tersebut disebabkan karena FPI berpandangan, Provinsi DKI Jakarta tidak boleh dipimpin oleh seorang Ahok yang tidak beragama Islam. Dalam demonstrasi pada tanggal 23 September 2014, FPI menyampaikan sebanyak tujuh tuntutan terkait penolakan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta, antara lain:

  1. Meminta Ahok segera mengundurkan diri dari jabatan calon Gubernur maupun Wakil Gubernur DKI Jakarta.
  2. Meminta DPRD DKI Jakarta untuk menurunkan Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta.
  3. Mendesak DPRD DKI Jakarta segera mengeluarkan SK atau Perda tentang jabatan di pemerintahan yang beragama non-Islam.
  4. Mendesak DPRD DKI Jakarta untuk mengedepankan dan menjunjung  tinggi asas proporsionalisme dan rasa keadilan terhadap Pilkada.
  5. Meminta DPRD DKI Jakarta untuk menjunjung tinggi ayat suci di atas ayat konstitusi.
  6. Meminta DPRD DKI Jakarta mendukung KMP (Koalisi Merah Putih) di DPR RI untuk menerapkan Pilkada lewat DPRD yang menjunjung tinggi asas musyawarah dan mufakat.
  7. Mendorong Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta terpilih mengedepankan pembangunan moral dan spiritual dibanding fisik semata.

Ahok Menjadi Gubernur

Tuntutan utama pada demonstran adalah Ahok tidak boleh menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Joko Widodo. Mereka melihat sosok Ahok sebagai sosok yang arogan dan tidak mengayomi seluruh lapisan masyarakat. Keadaan tersebut diperparah dengan adanya Instruksi Gubernur Nomor 67 Tahun 2014 tentang Pengendalian Penampungan dan Pemotongan Hewan Dalam Rangka Menyambut Idul Fitri dan Idul Adha Tahun 2014/2015. Instruksi tersebut menyatakan adanya pelarangan atas kegiatan pemotongan hewan kurban di lokasi sekolah pendidikan dasar. Hal tersebut dilakukan mengingat kondisi psikologi anak didik sekolah dasar yang mungkin tidak siap melihat pemotongan hewan kurban. Namun hal tersebut disalahartikan bagi sebagian orang di mana menurut padangan mereka, Instruksi Gubernur tersebut melarang adanya kegiatan pemotongan hewan kurban. Berdasarkan Pasal 203 ayat 1 Perppu No.1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota disebutkan bahwa apabila terjadi kekosongan Gubernur yang diangkat berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah maka posisi Gubernur yang kosong tersebut diisi oleh Wakil Gubernurnya sampai habis masa jabatannya.

Jika mengingat kembali pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 yang dimenangkan oleh Joko Widodo-Ahok, pengangkatan mereka didasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Maka apabila Joko Widodo sudah tidak lagi menjadi Gubernur Jakarta yang menjadi penggantinya adalah Ahok secara langsung.

Banyak pula yang menyatakan bahwa Ahok tidak serta merta dapat langsung menjadi Gubernur Jakarta. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 173 dan Pasal 174 Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota  di mana disebutkan bahwa Gubernur yang berhalangan tetap tidak serta merta dapat digantikan oleh Wakil Gubernurnya dan mekanisme pemilihan Gubernur yang baru dengan sisa masa jabatan lebih dari 18 bulan harus melalui DPRD. Ketentuan tersebut dapat berlaku apabila terjadi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur setelah keluarnya Perppu tersebut. Namun jika pemilihan Gubernur dan Wakil  Gubernur tersebut terjadi sebelum terbitnya Perppu dan didasarkan pada UU Pemerintahan Daerah Tahun 2004, maka ketentuan tersebut tidak dapat dilakukan. Maka yang harus menggantikan posisi Joko Widodo sebagai Gubernur Jakarta adalah Ahok secara langsung berdasarkan Pasal 203 Perppu No.1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Maka dengan demikian tuntutan FPI yang menginginkan Ahok tidak dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta merupakan tuntutan yang tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang bersifat tekanan politis.

Pembubaran FPI?

Dalam sejumlah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh FPI, kerap kali terjadi bentrok  dengan pihak kepolisian. Demonstrasi yang dilakukan juga sering kali dibumbui oleh unsur SARA dengan menyebutkan agama Ahok yang bukanlah Islam dan seorang yang kafir. Hal tersebut membuat berbagai kalangan termasuk Ahok menginginkan adanya pembubaran bagi organisasi tersebut sebagai sanksi akibat melakukan tindakan kekerasan dalam  demonstrasi di wilayah DKI Jakarta.

Perlu diketahui bersama bahwa sanksi bagi organisasi kemasyarakatan berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan adalah berupa sanksi administratif yang terdiri atas: peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah, penghentian sementara kegiatan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT) atau pencabutan status badan hukum.

Dalam pasal 62 UU No. 17 Tentang Organisasi Kemasyarakatan juga disebutkan bahwa terdapat 3 (tiga) tahapan dalam pemberian peringatan tertulis, yaitu peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, dan peringatan tertulis ketiga. Peringatan tersebut diberikan secara berjenjang dan setiap peringatan tertulis tersebut berlaku dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Disebutkan juga apabila organisasi kemasyarakatan telah mematuhi segala sesuatu dalam peringatan tertulis tersebut sebelum berakhirnya jangka waktu, maka Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat mencabut peringatan tertulis dimaksud.

Terkait dengan sanksi penghentian bantuan dan/atau hibah serta penghentian sementara kegiatan, Pasal 64 UU Organisasi Kemasyarakatan  menyebutkan, bahwa hal tersebut dapat dilakukan apabila organisasi kemasyarakatan tidak mengindahkan dan mematuhi peringatan tertulis ketiga yang disampaikan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Apabila organisasi kemasyarakatan tersebut ternyata tidak mendapatkan bantuan dan/atau hibah, maka sanksi yang dapat diberikan adalah penghentian sementara kegiatan.

Yang harus menjadi perhatian terhadap sanksi penghentian sementara kegiatan bagi organisasi kemasyarakatan adalah apabila organisasi kemasyarakatan tersebut memiliki lingkup nasional, sebelum dijatuhkannya sanksi, Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Apabila organisasi kemasyarakatan tersebut hanya memiliki lingkup provinsi dan kabupaten/kota, kepala daerah wajib meminta pertimbangan pimpinan DPRD, kepala kejaksaan, dan kepala kepolisian sesuai dengan tingkatannya.

Masa berlaku penghentian sementara kegiatan tersebut berlaku dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan. Apabila jangka waktu tersebut sudah habis, organisasi kemasyarakatan dapat kembali menjalankan kegiatannya sesuai dengan tujuan organisasi. Sanksi penghentian sementara kegiatan dapat dicabut sebelum habis jangka waktunya, apabila organisasi kemasyarakatan telah mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan.

Untuk sanksi pencabutan SKT dan status badan hukum, harus dilihat bentuk dari organisasi kemasyarakatan tersebut apakah tidak berbadan hukum atau berbadan hukum. Jika ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menjatuhkan sanksi pencabutan SKT. Sebelum dilaksanakannya pencabutan SKT tersebut, Pemerintah atau Pemerintah Daerah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Untuk ormas yang berbadan hukum yang tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan, Pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum. Sanksi tersebut dilaksanakan oleh Kementerian Hukum dan HAM setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum.

Proses sanksi-sanksi tersebut merupakan sanksi administratif yang berjenjang dalam artian setiap tahapan dari peringatan tertulis hingga pencabutan SKT dan pencabutan status badan hukum harus benar-benar dilakukan. FPI sendiri adalah sebuah organisasi kemasyarakatan yang tidak berbadan hukum karena memiliki SKT dan SKT tersebut terdaftar di Kementerian Dalam Negeri dengan Nomor Surat Keterangan Terdaftar (SKT): 01-00-00/0010/D.III.4/VI/2014. Maka bentuk pemberian sanksi tertinggi bagi FPI adalah pencabutan surat keterangan terdaftar (SKT) bukan berupa pembubaran organisasi kemasyarakatan. Pencabutan SKT tersebut pun harus mendapatkan pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung sebelum dilakukannya pencabutan SKT tersebut.

Pencabutan SKT diberikan untuk FPI, hal tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan masalah karena anggota-anggota FPI tersebut akan membuat organisasi baru dengan nama lain, namun sifat ideologi dan cara pergerakannya tetap sama serta kemungkinan tidak lagi akan mendaftarkan diri ke Kementerian Dalam Negeri karena memang tidak ada kewajiban bagi organisasi kemasyarakatan untuk mendaftarkan diri dan mendapatkan SKT. Hal ini justru akan semakin membuat pihak Kementerian Dalam Negeri kesulitan dalam mengawasinya.

Sedikit solusi yang dapat dilakukan adalah dengan terus mengupayakan penegakan hukum bagi setiap anggota FPI dan organisasi kemasyarakatan lainnya bagi yang melakukan tindakan kekerasan dan mengganggu ketertiban umum. Bagi anggota-anggota yang terjerat hukum tersebut dapat dijadikan contoh bagi anggota lainnya dalam organisasi agar tidak melakukan lagi aksi-aksi bentrokan yang berujung pada tindak kekerasan. (ABWP/Asdep-1/DPOK)

Opini Terbaru