KPK: 15 K/L Tidak Gunakan Dana Optimalisasi Rp 4,4 Triliun Sesuai Kriteria

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 1 Desember 2014
Kategori: Berita
Dibaca: 30.834 Kali

Rupiah-1Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 6 (enam) titik potensi korupsi terkait pengalokasian dan penggunaan Dana Optimalisasi Kementerian/Lembaga (K/L).

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam paparan kajian KPK tentang Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dihadiri oleh Menteri PPN/Bappenas Andrinof Chaniago, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani dan Deputi Perekonomian BPKP Ardan Adipermana, di Gedung KPK, Jakarta, Senin (1/12) menyebutkan secara rinci keenam potensi korupsi tersebut.

Pertama, pengalokasian dana optimalisasi tidak sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. “Hasil reviu BPKP menyebutkan 15 K/L yang menerima tambahan belanja tidak mengalokasikan dananya pada program/kegiatan/rincian kegiatan sesuai kriteria yang ditetapkan sebelumnya dengan nilai sebesar Rp 4,4 triliun,” ungkap Busyro.

Kedua, besaran usulan DPR terkait tambahan belanja tidak sesuai ketentuan undang-undang. Menurut Busyro, berdasarkan pada penjelasan Pasal 15 ayat 3 UU No. 17/2013 disebutkan, perubahan RUU APBN dapat diusulkan DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit. Namun, pada pelaksanaannya, terjadi peningkatan defisit dari Rp 154,2 triliun di RAPBN 2014 menjadi Rp 175,35 triliun pada UU APBN 2014.

Ketiga, Rencana Kerja Pemerintah (RKP) hasil pembahasan dengan DPR tidak ditetapkan kembali. “Hal ini membuka ruang RKP tersebut untuk terus berubah sampai penetapan APBN dan menyebabkan ambiguitas RKP yang dijadikan acuan dalam evaluasi serta memberikan hasil yang bias untuk perencanaan tahun-tahun berikutnya,” papar Busyro.

Keempat, proses penelaahan dana optimalisasi belum optimal. Temuan hasil reviu BPKP menunjukkan bahwa proses penelaahan belum efektif menyaring program yang tidak sesuai dengan renja K/L atau RKP.

Kelima, mekanisme dan kriteria pembagian alokasi besaran dana optimalisasi pada masing-masing K/L tidak transparan. Busyro mensinyalir, pembagian alokasi ini diserahkan ke Badan Anggaran dan Komisi yang ditetapkan dalam rapat internal dan tidak melibatkan Pemerintah sehingga K/L tidak mengetahui alasan mendapatkan besaran tertentu dalam alokasi tambahan belanja dan tidak siap dalam menjalankan program/kegiatan.

Keenam, tidak ada peraturan tentang kriteria pemanfaatan dana optimalisasi. “Hal ini dapat membuka peluang bagi oknum untuk menambah/mengubah/menghilangkan poin-poin kriteria agar mengakomodasi kepentingan pihak tertentu serta membuat K/L dan komisi-komisi tidak mematuhi kriteria yang telah disepakati,” terang Busyro.

Karena itu, menurut Busyro, KPK memberikan saran perbaikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian PPN/Bappenas untuk meminimalisasi penyimpangan penetapan dana optimalisasi. Antara lain; menyempurnakan mekanisme terkait pembahasan anggaran antara K/L dengan DPR; menguatkan regulasi terkait kriteria pengalokasian dan penggunaan dana optimalisasi dan memformalkan perubahan RKP agar tidak terus berubah; mengontrol besaran defisit atas usulan perubahan APBN oleh DPR pada saat proses pembahasan; meningkatkan transparansi kepada publik terkait RKP hasil pembahasan serta usulan prioritas penggunaan dan pembagian besaran tambahan belanja versi pemerintah dan hasil pembahasan DPR.

Tiga saran lainnya, lanjut Busyro Muqoddas adalah: perlunya kajian lanjutan terkait proses penganggaran yang transparan dan akuntabel; pembenahan sistem informasi perencanaan dan penganggaran dengan harmonisasi nomenklatur, kode program serta kegiatan sebagai dasar penyusunan RKA-K/L dan RKA-SKPD, dan menjaga konsistensi dan kesinambungan RAPBN dan RAPBD; serta penyempurnaan mekanisme dan penyelenggaraan Musrenbang sebagai forum pengambilan keputusan akhir dalam prioritas program, kegiatan dan jenis belanja yang akan dilaksanakan yang selaras antara Pemerintah Pusat dan Daerah. (Humas KPK/ES)

Berita Terbaru