Evaluasi Kebijakan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, 19 Januari 2019, di Gedung Sarana Olah Raga (SOR) Ciateul, Garut, Jawa Barat

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 19 Januari 2019
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.127 Kali

Sampurasun?
Kumaha Damang?
Sae?

Yang pertama, perlu saya informasikan, ini untuk seluruh tanah air, kita memiliki 74.000 desa di seluruh tanah air kita. Dan juga perlu saya sampaikan bahwa sejak 2015 telah kita kirimkan Rp20,7 triliun ke desa-desa di seluruh tanah air. 2016 kita kirimkan lagi Rp47 triliun ke seluruh desa-desa di seluruh tanah air. 2017 Rp60 triliun kita gelontorkan ke desa-desa di seluruh tanah air. 2018 Rp60 triliun kita kirimkan lagi ke 74.000 desa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Tahun ini naik lagi menjadi Rp70 triliun. Artinya, nantinya sampai akhir 2019 sudah Rp257 triliun yang kita berikan kepada desa-desa di seluruh tanah air.

Artinya apa? Sekarang ini ada pergeseran, yang dulu anggaran-anggaran itu banyak berada di Jakarta, banyak berada di kota-kota, mulai 2015 sudah kita balik masuk ke desa-desa di seluruh tanah air di Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.

Apa yang kita inginkan dari Dana Desa yang telah kita berikan itu? Tentu saja seperti yang tadi disampaikan Pak Bupati, kita ingin ketimpangan antara desa dan kota ini semakin sempit, pertama. Yang kedua, kita ingin kemiskinan yang ada di desa itu berkurang secara drastis. Tadi sudah disampaikan juga oleh Pak Bupati, ada angka-angka yang menyebutkan bahwa memang kemiskinan di desa itu turun karena adanya Dana Desa dan program-program yang lainnya. Dan bahkan secara nasional angka kemiskinan kita sekarang sudah berada pada posisi 9,66. Turun, turun, turun, turun.

Yang kedua, saya titip Dana Desa ini sampai akhir 2019 Rp257 triliun ini, jangan biarkan uang ini kembali ke kota. Jangan biarkan uang ini kembali ke Jakarta, karena perputaran uang, ini teori, semakin banyak perputaran uang di sebuah wilayah akan memberikan peningkatan kesejahteraan pada masyarakat. Jadi, kalau uang ini tidak keluar dari desa, mutar, mutar, mutar dari desa ke desa, di desa itu terus, kita lihat nanti kesejahteraan masyarakat seperti apa. Tapi teorinya dipastikan kesejahteraan masyarakat desa akan meningkat.

Oleh sebab itu, saya titip, agar uang itu tidak keluar dari desa dalam setiap program proyek-proyek itu, gunakan material-material yang ada di desa itu. Contoh membangun irigasi, contoh membangun jalan-jalan di desa, infrastruktur di desa, belilah yang namanya batu, itu dari desa setempat. Kalau tidak ada di desa itu, beli di desa tetangganya. Beli pasir, beli pasir di desa itu, kalau enggak ada, beli di tetangganya. Beli semen, kalau bisa beli di toko besi yang ada di desa itu, kalau enggak ada pindah ke desa yang lainnya. Tapi masih di lingkup desa, maksimal di kecamatan. Sehingga uang berputar-putar, berputar-putar, berputar-putar. Ada yang tanya ke saya, “Pak Presiden, kalau semen beli di desa itu lebih mahal, lebih mahal Rp4 ribu, lebih mahal Rp6 ribu.” Enggak apa-apa, tetap beli di desa semennya. Uangnya mutar terus di situ.  Terus yang kedua, tenaga kerja gunakan 100 persen tenaga dari desa itu. Jangan mengambil malah dari kota misalnya, meskipun saya pastikan itu tidak akan terjadi, tetapi ini penting sekali.

Oleh sebab itu, program-program Dana Desa ini kita harapkan nanti kalau Rp257 triliun itu mutarnya dari desa, di desa, untuk ke desa yang lain mutar-mutar terus, dipastikan teori ekonominya ada peningkatan kesejahteraan yang drastis di desa itu. Dan kalau jalan-jalan di desa, jalan-jalan produksi ke sawah, irigasi-irigasi sudah baik, juga kita harapkan produktivitas yang ada di desa itu juga akan semakin baik. Harapan kita itu. Sehingga kita lihat nanti karena meningkat terus Dana Desanya, setiap tahun, setiap tahun, tahun depan juga kita akan tingkatkan lebih banyak lagi, tahun depannya lebih banyak lagi, tahun depannya lebih banyak lagi, karena ini pergeseran itu harus kelihatan.

Yang kedua, ini yang berkaitan dengan programnya, ini sudah empat tahun, lima tahun ditambah tahun ini, ini kita akan lebih fokus/konsentrasi di infrastruktur desa. Sekarang silakan digeser sedikit ke pemberdayaan ekonomi yang ada di desa-desa. Saya berikan contoh, misalnya ada desa yang memiliki umbul yang bagus, mata air yang melimpah.Ya buat saja desa itu menjadi desa wisata, umbul itu dibuat umbul wisata. Di Jawa Barat, apalagi di Garut saya lihat banyak sekali. Saya tadi dari Situ Bagendit di dekat sini, situnya sangat indah sekali, bagus sekali, belakangnya ada gunung. Seperti itu, banyak sekali di desa-desa di Garut ini. Diperbaiki, dipercantik, sehingga menjadi desa wisata.

Seperti yang saya lihat, misalnya Umbul Ponggok ini di Jawa Tengah, ini satu tahun bisa dapat Rp14 miliar, Rp14 miliar karena ada umbulnya di situ. Diberi fasilitas untuk menyelam, tapi dicek dulu jangan ada ularnya, sehingga masyarakat bisa menyelam sambil melihat ikan. Kemudian juga di Desa Nglanggeran di Gunung Kidul juga sama, bisa mendatangkan income Rp4 miliar setahun. Hal-hal seperti ini, kreativitas seperti ini harus dimunculkan. Pemberdayaan ekonomi ini nanti efeknya kemana-mana. Ada orang nanti masyarakat desa buka warung, buka warung makanan, buka restoran kecil, buka warung souvenir, kemana-mana efeknya ekonomi itu. Inilah yang kita harapkan dari Dana Desa mulai digeser sedikit kepada pemberdayaan ekonomi. Dan juga jangan lupa inovasi-inovasi desa itu dimunculkan, dimunculkan, dimunculkan.

Saya ingin menyampaikan dari Rp187 triliun sampai 2018, kita telah membangun banyak sekali, banyak sekali. Jalan desa misalnya, telah selesai 191.000 kilometer jalan desa, 191.000 kilometer itu panjang sekali itu. Posyandu, 24.000 posyandu telah selesai dari Dana Desa ini. PAUD, 50.000 PAUD juga didirikan dari Dana Desa. Pasar desa, pasar kecil-kecil di desa 8.900 pasar telah dibangun dari Dana Desa. Jembatan 1,1 juta meter jembatan yang telah dibangun dari Dana Desa. Irigasi, 58 ribu unit irigasi yang dibangun dari Dana Desa. Embung, 4.100 embung telah dibangun dari Dana Desa. Dan program-program yang lainnya yang tidak bisa saya sebut satu persatu.

Artinya apa? Selain perputaran uang di desa semakin banyak, fisik desa nanti juga akan, infrastruktur desa nanti juga akan meningkat, sehingga mobilitas barang, mobilitas orang itu akan semakin baik di desa. Sehingga produktivitas desa akan semakin baik.

Yang terakhir, saya ingin mengingatkan kepada kita semuanya, bahwa Dana Desa ini ada pertanggungjawabannya. Tolong pendamping desa, kepala desa ini semuanya berkomunikasi dengan baik dan merencanakan dengan baik, mengontrol penggunaan Dana Desa, melaporkan sesuai dengan yang sudah ditentukan, sehingga semua yang berkaitan dengan Dana Desa itu betul-betul bisa kita pertanggungjawabkan.

Saya sangat senang sekali tadi disampaikan Pak Bupati laporan mengenai Dana Desa, laporan pertanggungjawabannya tidak ada masalah sama sekali. Sehingga kita harapkan tahun-tahun ini, tahun mendatang itu juga terus kita jaga seperti itu.

Yang terakhir, ini saya titip di luar Dana Desa, saya ingin mengingatkan kepada Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara sekalian, bahwa negara kita ini negara besar. Indonesia ini bukan negara kecil, negara besar. Penduduknya sudah 260 juta yang tersebar di 17.000 pulau, 514 kabupaten dan kota, 34 provinsi. 34 provinsi saya sudah datangi semua, 514 kabupaten dan kota saya mungkin sudah datangi hampir 85 persen, kurang sedikit beberapa kabupaten/kota belum saya datangi.

Yang paling ujung Sabang sudah saya datangi, yang paling timur di Merauke tapi bukan di Merauke-nya, di Sota itu berbatasan dengan Papua Nugini, sudah saya datangi. Di Pulau Miangas, saya sudah terbang ke sana. Di Pulau Rote, saya sudah terbang ke sana. Apa yang saya lihat? Perbedaan-perbedaan kita itu memang sangat warna-warni dan sangat beragam. Indonesia ini sangat majemuk, sangat majemuk. Perbedaan itu kelihatan kalau kita pergi dari kota/kabupaten ke kabupaten yang lain, atau dari provinsi satu ke provinsi yang lain, atau dari pulau satu ke pulau yang lain. Perbedaan-perbedaan itu baik berbeda suku, berbeda agama, berbeda adat, berbeda tradisi, berbeda bahasa daerah, itu sudah sunatullah, sudah jadi hukum Allah. Inilah anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada kita yang harus kita jaga sebagai sebuah potensi dan kekuatan negara kita Indonesia.

Oleh sebab itu, saya mengajak kepada semuanya untuk menjaga aset terbesar bangsa ini yaitu persatuan, persaudaraan, dan kerukunan. Ini adalah aset terbesar bangsa kita. Jangan sampai kita cederai sekecil apapun. Dan biasanya itu dimulai dari urusan politik. Benar ndak? Pilihan bupati, pilihan wali kota, pilihan gubernur, pilihan presiden, padahal itu setiap lima tahun ada terus, akan ada terus, akan ada terus. Pilihan gubernur lima tahun lagi ada, pilihan bupati juga lima tahun ada, pilihan presiden juga setiap lima tahun ada terus.

Jangan sampai karena pemilu, karena pilkada kita ini tidak saling sapa antarkampung, tidak tegur sapa antartetangga. Lho, lho, lho. Tidak saling omong, ini ada ini tidak saling omong di satu majelis taklim. Lho, lho, lho, lho, lho. Enggak benar ini, enggak benar. Ini harus kita perbaiki, enggak benar. Kepala desa, pendamping desa sampaikan, jangan sampai kita ini kita pecah, retak gara-gara pilihan politik. Silakan, mau pilihan bupati, pilihan gubernur ada calon A/B/C/D, silakan dipilih sesuai yang kita lihat.

Tapi lihat, kalau mau milih itu lihat prestasinya apa, rekam jejaknya apa, pengalamannya apa, dilihat, programnya apa, gagasannya apa, idenya apa, dilihat semuanya. Jangan yang didengerin fitnah, fitnah, fitnah. Banyak sekali, kalau sudah masuk bulan politik, tahun politik itu fitnah-fitnah banyak sekali. Coba kok yang dilihat itu, lihat dong prestasinya, pengalamannya, rekam jejaknya, programnya, idenya, gagasannya.

Kita ini yang kita lihat, masyarakat itu kan lihat banyak sekali yang namanya hoaks, kabar bohong, fitnah. Coba dilihat di medsos, Presiden Jokowi itu PKI, banyak sekali seperti itu. Supaya Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara tahu, saya itu lahir tahun ‘61, lahir saya itu tahun ’61. PKI itu dibubarkan ‘65/’66 berarti umur saya baru empat tahun. Umur saya baru empat tahun, masih bayi, masak ada bayi PKI? Bagaimana sih? Logika kita harus kita pakai.

Tapi yang saya jengkel, dari survei di bulan Desember yang lalu ada sembilan juta yang percaya terhadap isu itu lho, sehingga saya harus jawab. Saya kan sudah empat tahun ini diam, sabar, ya Allah sabar, sabar, sabar. Saya itu diam saja tapi sekarang saya jawab, lha wong sembilan juta orang lebih percaya, dari survei. Saya dicaci maki diam, dihina-hina diam saya, dijelek-jelekin diam saya. Enggak pernah membalas, enggak pernah omong apa, enggak pernah. Diam. Tapi sekarang saya harus jawab karena survei mengatakan. Bahaya rakyat kalau percaya itu.

Coba dilihat, coba dilihat di gambar. Ini gambar. Ini adalah yang pidato itu adalah DN Aidit, dia adalah Ketua PKI. Pidato ini tahun 1955 saat pemilu, DN Aidit. Lha kok saya ada di dekatnya. Coba, lahir saja belum sudah digambar. Tapi saya lihat, saya diberitahu anak saya, “Pak ini ada gambar.” Saya lihat-lihat kok ya wajah saya begitu. Inilah rekayasa-rekayasa fitnah yang bertujuan politik. Lha kalau orang enggak mikir langsung, “oh iya benar,” bahaya sekali. Padahal pidatonya tahun ’55, saya lahir saja belum. Nah, nah, nah, nah, nah. Kalau seperti ini diterus-teruskan, saya tidak menjawab, berbahaya sekali. Sehingga ya harus saya jawab. Isu-isu banyak sekali, banyak sekali. Kalau saya jawab satu persatu bisa berjam-jam nanti. Ini saya jawab yang penting-penting saja.

Misalnya ada isu lagi, Presiden Jokowi itu antek asing. Ada di bawah. Antek asing yang seperti apa? Coba dilihat yang namanya Blok Mahakam itu sudah 55 tahun dikelola oleh Jepang dan Perancis. 2015 sudah kita ambil alih dan dikelola oleh Pertamina. Antek asing, antek asing di mana? Blok Rokan, Chevron, dikelola oleh Chevron Amerika sudah 95 tahun, ndak ada dulu antek asing, antek asing. Begitu kita ambil, dimenangkan oleh Pertamina sejak tahun lalu, 100 persen, malah dituduhkan ke saya antek asing. Bagaimana?

Freeport, Freeport sekarang sudah kita ambil alih mayoritas 51 persen. Dipikir risiko mengambil alih seperti itu tidak ada. Ada risikonya, gede. Tapi kalau sudah menjadi keputusan politik, saya sampaikan pada menteri saya, risikonya ada di saya. Sebagai pemimpin saya tahu risiko itu. Dan saya enggak pernah takut yang namanya risiko politik. Ya keputusan politik pasti ada risikonya. Ada yang mengatakan ke saya waktu kita mau mengambil Freeport, “Pak Presiden hati-hati, hati-hati, Bapak sudah pikir-pikir betul?” Saya perintah kepada menteri ambil alih mayoritas. Menterinya juga tanya, “ini perintah Bapak benar?” “Benar, betul.” Sebagai pemimpin saya memang harus mengambil risiko-risiko seperti itu untuk kepentingan nasional kita, untuk kepentingan bangsa kita. Jangan dibalik-balik. Freeport ini hampir empat tahun kita mengurus. Dipikir mudah, kalau mudah ya dulu-dulu sudah diambil alih. Sangat sulit. Ini malah dibalik-balik antek asing, antek asing coba.

Saya ini kan banyak diam lah kayak begitu-gitu. Tapi sekarang saya mulai jawab semuanya. Ada isu apa saya jawab, ada isu apa saya jawab, ada isu apa saya jawab. Saya enggak mau rakyat kita termakan oleh isu-isu itu dan percaya. Berbahaya sekali untuk pembangunan negeri ini, bagi pembangunan negara ini.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru