Penyerahan Sertifikat Tanah untuk Rakyat, 21 Maret 2019, di Lapangan Parkir Bogor Nirwana Residence, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 21 Maret 2019
Kategori: Sambutan
Dibaca: 3.220 Kali

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Bismillahirrahmanirrahim,
Alhamdulillahirrabbilalamin,
wassalatu wassalamu ‘ala ashrifil anbiya i wal-mursalin,
Sayidina wa habibina wa syafiina wa maulana Muhammaddin,
wa ‘ala alihi wa sahbihi ajma’in amma ba’du.

Selamat siang,
Salam sejahtera bagi kita semuanya.

Sampurasun!

Yang saya hormati Bapak Menteri ATR/Kepala BPN, Bapak Sekretaris Kabinet,
Yang saya hormati Bapak Wali Kota Kota Bogor, Ibu Bupati Kabupaten Bogor, Bapak Ketua DPRD, serta Pak Kanwil, Bapak Kepala Kantor BPN,
Ibu dan Bapak sekalian seluruh warga Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.

Sudah pegang sertifikat semuanya ya? Saya ingin mendapatkan keyakinan bahwa yang hadir lima ribu sudah pegang sertifikat semuanya. Tolong diangkat. Jangan diturunkan dulu, mau saya hitung. 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, …, 5.000. Betul, berarti 5.000 betul. Karena kalau enggak diangkat itu jangan-jangan yang diberi yang di depan tadi saja, yang lain nonton, gitu lho. Jadi saya ingin memastikan bahwa semuanya sudah pegang sertifikat.

Kenapa sertifikat ini sekarang dipercepat diberikan kepada masyarakat? Setiap saya pergi ke kampung, setiap saya pergi ke desa di daerah-daerah manapun, baik di Jawa, di Sumatra, Kalimantan, NTT, NTB, Bali, Sulawesi, Maluku, Papua semuanya mengeluhkan mengenai sengketa tanah, sengketa lahan. Konflik lahan, konflik tanah ada di mana-mana. Kenapa itu terjadi? Karena masyarakat enggak pegang yang namanya tanda bukti hak hukum atas tanah yang kita miliki, yang namanya sertifikat. Ada yang tetangga dengan tetangga, ada yang saudara dengan saudara, ada yang masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan swasta, banyak sekali.

Perlu saya informasikan bahwa di seluruh tanah air, di seluruh Indonesia ini, harusnya keluar 126 juta sertifikat, 126 juta sertifikat yang harusnya dipegang oleh masyarakat. Tapi di 2015, kita baru keluar 46 juta. Berarti masih kurang 80 juta yang belum pegang sertifikat, coba. Apa kejadiannya? Ya tadi, sengketa lahan, konflik lahan, sengketa tanah, konflik tanah karena 80 juta masyarakat belum pegang ini.

Kenapa belum pegang ini? Karena dulu-dulu mengurusnya ruwet. Benar? Benar? Nah. Setahun di seluruh Indonesia ini hanya diproduksi 500.000 sertifikat setahun. Kalau masih kurang 80 juta, berarti menunggunya masih 160 tahun. Bapak mau? 80 juta yang kurang, setahun hanya 500.000, berarti 160 tahun lagi baru selesai yang namanya sertifikat. Siapa yang mau dapat sertifikat 160 tahun lagi silakan maju saya beri sepeda. Silakan maju saya beri sepeda, sudah. Maju tapi menunggu 160 tahun sertifikatnya, mau ndak? Mau? Nah.

Inilah sekarang kenapa kita percepat sertifikat, supaya enggak ada sengketa. Sedih saya kalau sudah menangis-nangis masalah sertifikat tapi enggak bisa apa-apa saya. Karena sudah kalau menyangkut hukum, sudah, yang menyelesaikan pengadilan. Tapi kalau Bapak-Ibu sudah pegang sertifikat, ada yang datang mengaku-ngaku, “ini tanah saya.” “Bukan, tanah saya. Ini buktinya.” Buka sertifikat, ambil sertifikat, buka. Nih, namanya ada di sini, nama pemilik, kampungnya ada di mana di sini, luasnya berapa ada di sini, komplet. Balik pasti, enggak berani lagi ngutik-ngutik tanah itu. Jelas kok. Iya ndak?

Nah. Sekarang kalau sudah pegang sertifikat tolong diberi plastik. Sudah ada plastik semuanya? Ya. Kemudian sampai di rumah nanti difotokopi. Yang asli taruh lemari satu, yang kopian ditaruh lemari yang lain. Supaya kalau yang asli hilang, fotokopinya masih ada. Mengurusnya gampang ke kantor BPN. Kenapa diplastik? Kalau gentingnya bocor, kena air, nah tetap enggak rusak, gitu lho. Enggak saya ingatkan nanti tahu-tahu ini kena air hujan, rusak. Nah.

Yang ketiga. Biasanya kalau sudah pegang sertifikat, senang, terus pengin disekolahkan. Iya ndak? Ngaku. Benar ndak? Oh, ada yang ndak juga, ada yang ndak. Tapi ada yang ingin disekolahkan, enggak apa-apa. Ini dipakai untuk agunan silakan, mau dipakai untuk jaminan ke bank silakan, tapi saya titip hati-hati. Pinjam ke bank itu hati-hati, dihitung, dikalkulasi, jangan tergesa-gesa. Pinjamnya berapa direncanakan, dihitung. Bunganya berapa dihitung, ngangsurnya setiap bulan dihitung, bisa enggak menyicil mengangsur setiap bulan. Kalau enggak, enggak usah, jangan. Tapi kalau dihitung, masuk, “oh, saya ini setahun bisa lunas mengembalikan,” silakan pinjam.

Kalau pinjam, ya kan, misalnya ini tanahnya agak gede dimasukkan ke bank dapat Rp300 juta, senang. Dapat Rp300 juta, bawa pulang, besok mampir ke dealer mobil. Yang banyak seperti itu, ya kan. Beli mobil tapi juga enggak dilunasi, “nih Rp100 juta.” Hati-hati, jangan seperti itu. Uang pinjaman itu mengembalikan. Kalau yang tadi, langsung ngambil mobil, nyetir gagah, muter kampung gagah, tapi hanya enam bulan. Nanti begitu enam bulan enggak bisa nyicil mobil ke dealernya, nah mobil diambil. Banknya karena juga dipakai tadi untuk mobil Rp100 (juta), enggak bisa nyicil juga, diambil sertifikatnya. Hati-hati. Saya titip hati-hati.

Kalau Bapak-Ibu dapat pinjaman yang lumayan gede tadi, Rp300 juta, saya titip gunakan semuanya untuk modal usaha, gunakan semuanya untuk modal kerja, gunakan semuanya untuk modal investasi. Jangan ke mana-mana, jangan mikir apa-apa dulu. Kalau ada untung, untung Rp5 juta alhamdulillah disimpan, untung Rp7 juta disimpan alhamdulillah, untung Rp3 juta simpan alhamdulillah. Itu kalau sudah numpuk silakan mau beli mobil, mau beli bus, enggak apa-apa tapi dari keuntungan bukan dari pinjaman. Saya titip. Karena setelah dapat ini biasanya mikirnya ke mana-mana. Wah mau pinjam ini, mau pinjam ke bank, wah. Ya dapat kalau ini dimasukkan ke bank pasti dapat, tapi mengembalikannya itu enggak mudah. Saya titip itu.

Yang terakhir Bapak-Ibu sekalian,
Saya mengajak ini, karena ini adalah sebentar lagi, sebulan lagi adalah pileg dan pilpres. Apa yang kita lihat di bawah sekarang ini banyak sekali yang namanya hoaks, banyak sekali yang namanya kabar-kabar fitnah, kabar-kabar bohong yang masuk ke mana-mana, baik lewat yang namanya media sosial, baik yang lewat langsung dari rumah ke rumah. Saya hanya titip hati-hati. Politik itu kadang-kadang seperti itu.

Coba yang kita lihat sekarang ini, yang di bawah isunya nanti kalau Presiden Jokowi jadi lagi, pendidikan agama akan dihapus, azan akan dilarang, perkawinan sejenis akan dilegalkan, zina akan dilegalkan. Lho, lho, lho, lho, lho, kok sampai ke mana-mana ini. Hati-hati. Tidak mungkin, siapapun presidennya tidak mungkin berani melakukan itu. Percaya saya. Siapapun presidennya. Karena Indonesia ini adalah negara dengan norma-norma agama yang kuat, dengan nilai-nilai agama yang kuat, dengan norma-norma budaya yang kuat, norma-norma etika dan tata krama yang kuat. Enggak mungkin. Masa zina dilegalkan, perkawinan sejenis dilegalkan, azan dilarang, pendidikan agama dihapus. Enggak mungkin. Hitungannya dari mana itu? Jadi jangan kemakan hal-hal seperti ini.

Yang kedua. Isu juga di bawah banyak sekali, Presiden Jokowi itu PKI. Dengar? Dengar? Kebangetan kalau enggak dengar. Saya saja sering dengar hanya saya kan diam saja, sudah. Diam, sudahlah, sabar ya Allah, sabar ya Allah, sabar. Empat tahun kita itu difitnah seperti itu. Diejek, dihina saya sudah diam saja, enggak pernah saya jawab.

Tapi sekarang saya mau menjawab. Karena apa saya jawab? Karena dari survei yang dilakukan, itu sembilan juta orang percaya mengenai ini, sembilan juta orang percaya. Kalau saya diam, saya enggak menjawab, dipikir benar, jadi 15 juta orang percaya, 20 juta orang percaya. Enggak, enggak mau saya. Sehingga saya jawab, saya lahir itu tahun ‘61 tahun. Saya lahir tahun ‘61, PKI itu dibubarkan tahun ‘65/’66. Berarti umur saya baru empat tahun, empat tahun. Ada PKI balita? Ada PKI balita? Coba?

Saya diberi tahu lagi oleh anak saya. “Pak, ini digambar medsos ini ada gambar seperti ini Pak.” “Gambar apa?” “Ini lho Pak, gambar…” Saya lihat, lho. Sebentar, ini gambarnya ini, itu gambar ini adalah DN Aidit, Ketua PKI, pidato tahun 1955. Ini DN Aidit, Ketua PKI, pidato tahun 1955. Saya belum lahir lho, kok sudah di dekat podium ini coba? Coba lihat yang dekat itu, coba, coba, masyaallah, coba. Saya lihat-lihat ini di HP saya, lha kok wajahnya kok persis saya. Bikinnya itu ya pintar banget. Lha ini kalau orang percaya, masyarakat percaya akan berbahaya sekali seperti ini, berbahaya sekali. Dan gambar seperti ini tidak hanya satu, puluhan, mungkin ratusan. Ini hanya contoh salah satu saja.

Jangan seperti itulah. Marilah kita berpolitik yang penuh dengan etika, berpolitik yang penuh dengan tata krama. Jangan… Ini bisa memecah-mecah kita. Ingat, negara kita ini adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Penduduk kita sudah 269 juta yang hidup di 17.000 pulau, 514 kabupaten dan kota, 34 provinsi. Dan kita dianugerahi oleh Allah SWT berbeda-beda, ingat itu. kita harus paham, kita ini berbeda-beda. Suku kita ada 714 suku, bahasa daerahnya beda-beda, ada seribu seratus lebih bahasa daerah. Itu sudah sunatullah, sudah hukum Allah kepada kita bangsa Indonesia yang harus kita syukuri. Ini dari Allah, bukan dari kita.

Coba kalau di Jawa Barat, ‘sampurasun’. Nanti di Medan, ‘horas’. Nanti di Jawa Timur, ‘kulonuwun’. Nah, beda-beda lagi. Saya di Medan saja keliru itu. Di Medan, satu provinsi Sumut, saya di Medan, ‘horas’, benar. Begitu masuk ke tengah beda lagi, di Pakpak, Kabupaten Pakpak, bukan ‘horas’. Saya, “horas.” “Pak, keliru Pak, di sini juah-juahJuah-juah, saya ganti, “juah-juah.” Pindah lagi ke Karo, “horas.” “Pak, keliru Pak, bukan horas di sini Pak, mejuah-juah Pak.” Ya sudah, saya ganti, “mejuah-juah.” Pindah lagi ke Nias, masih Sumatra Utara beda lagi, “ya’ahowu.” Keliru saya kalau enggak ada yang bisikin seperti itu.

Saya baru proses belajar, belajar bahasa daerah. Tapi bisa Sumut, nanti pindah ke Aceh, sudah, yang Sumut lupa lagi. Nanti pindah Papua, Papua bisa belajar sedikit, lupa lagi yang di Sumatra. Kayak di Jawa Barat, ya saya bisanya hanya “sampurasun, kumaha damang.” Saya belajar terus lho, saya di Bogor kalau enggak belajar gimana nanti.

Inilah perbedaan-perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia yang sudah merupakan sunatullah, hukum Allah yang harus kita rawat dan kita jaga bersama-sama. Oleh sebab itu, saya mengajak kita semuanya marilah kita menjaga dan merawat persatuan, merawat dan menjaga kerukunan kita, merawat dan menjaga persaudaraan kita, ukhuwah kita, baik ukhuwah islamiah maupun ukhuwah wathaniyah karena kita adalah bangsa besar yang berbeda-beda, beraneka ragam, majemuk, plural.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Terima kasih.
Saya tutup.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru