Tuntut Keringanan PPN dan SVLK, Pemerintah Minta Pengusaha Mebel dan Rotan Terbuka
Pemerintah mendorong pengusaha mebel dan furniture untuk memanfaatkan pasar di Amerika Serikat yang terbuka menyusul perang dagang negeri itu dengan China, dengan mengenakan bea masuk 25%. Sementara pada saat bersamaan ekspor mebel dan furniture Indonesia justru turun.
“Kebutuhan impor (furniture) Amerika setahun untuk mebel itu kira-kira 96 miliar dollar AS. Nah, pertanyaannya adalah kenapa ekspor furniture kita, total tapi ini ya, malah turun, sedikit. Enggak banyak tapi turun,” kata Menko Perekonomian Darmin Nasution kepada wartawan usai mengikuti Rapat Terbatas tentang Peningkatan Ekspor Permebelan, Rotan dan Kayu, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (10/9) sore.
Artinya, lanjut Darmin, Indonesia belum bisa memanfaatkan pasar Amerika yang besar itu. Indonesia, lanjut Darmin, tidak ikut perang dagang, tidak ikut kena bea masuk itu.
Keluhan Pengusaha
Dalam Rapat Terbatas itu, menurut Menko Perekonomian, sebenarnya pemerintah ingin membahas mengenai bagaimana meningkatkan dan mempercepat ekspor kayu, produk kayu dan mebel/furniture dan rotan/ produk rotan, tapi para pengusaha meminta waktu untuk nanti disampaikan secara tertulis.
“Berarti belum siap ininya, karena presiden nanyanya agak spesifik, apa izinnya yang dipersoalkan. Kalau mulai ditanya spesifik mungkin dia perlu tertulis dulu,” terang Darmin.
Pemerintah, lanjut Darmin, mencatat sejumlah keluhan pengusaha seperti soal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kayu log sebesar 10%, sehingga pasti akan dikurangi.
“Kalau itu tadi Menteri Perindustrian mengatakan, sedang dibahas dengan Kementerian Keuangan untuk menolkannya,” terang Darmin.
Ada lagi usulan dalam bidang pembiayaan/financing, mereka juga banyak mengeluh tapi kan masalahnya tingkat bunganya sama saja, berlaku buat siapapun. Mereka mempertanyakan bunga deposito 5% sementara bunga pinjaman 12%, bedanya banyak banget.
Diakui Menko Perekonomian Darmin Nasution, memang ada pandangan di kalangan perbankan bahwa industri kayu itu sunset. Nah itu, lanjut Darmin, bagaimana nanti akan dicek dengan OJK (Otoritas Jasa Keuangan), dengan perbankan, benar enggak itu.
Selain itu, Menko Perekonomian juga menyampaikan bahwa para pengusaha juga mengeluhkan masalah kewajiban mengurus SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) meskipun untuk ekspor ke negara yang tidak mewajibkan pencantuman SVLK.
“Mereka juga menyadari bahwa itu sudah disetujui pemerintah dengan Uni Eropa. Nah, yang mereka sampaikan lebih banyak begini kalau mengenai SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu), ya kalau ke negara yang tidak wajib SVLK enggak usah lah kita harus mengurus SVLK, gitu. Karena di aturan Menteri Perdagangannya itu kena semua. Pokoknya produk kayu kena,” ungkap Darmin seraya menambahkan, padahal yang mewajibkan itu ada 4 negara, kelompok negara. satu EU, dua Kanada, ketiga Australia, keempat Inggris. Di luar Amerika tidak ada SVLK. Sehingga usulnya tadi disampaikan ya yang kewajibannya SVLK ajalah, yangtidak wajib tidak usah SVLK.
“Masuk akal sekali, ya kan, tapi memang harus ditinjau Peraturan Menteri Perdagangan,” sambung Darmin seraya menambahkan biaya mengurus SVLK itu cukup gede, kira-kira Rp20 juta-Rp 30 juta.
Namun Menko Perekonomian Darmin Nasution sedikit mengkritik para pengusaha yang dinilainya tertutup sekali, enggak mau bekerja sama. “Sudah enggak bisa mengolah yang bagus tapi maunya sendiri. Sehingga Presiden tadi menyampaikan cobalah terbuka, cari partner,” ujarnya. (FID/AGG/ES)