Sambutan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembukaan Indonesia Banking Expo 2019, 6 November 2019 Pukul 2019, di Ballroom Hotel Fairmont, DKI Jakarta

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 6 November 2019
Kategori: Sambutan
Dibaca: 587 Kali

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Yang saya hormati para Menteri Kabinet Indonesia Maju, Kepala BKPM, seluruh Pimpinan Bank Indonesia, Pimpinan dan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Ketua Umum dan Wakil serta jajaran Pengurus Perbanas,
Bapak-Ibu sekalian para praktisi industri perbankan, asuransi, dan pimpinan lembaga keuangan negara,
Hadirin undangan yang berbahagia.

Indonesia itu negara besar. Kita ini adalah negara besar. Pasarnya juga besar. Potensinya juga besar dan ekonominya juga terus tumbuh. Kita tahu mungkin posisi kita sekarang, misalnya GDP nominal, kita sudah pada angka USD1,1 triliun. Ranking-nya kalau di rangking itu kita sudah rangking lima belas-enam belas dunia. GDP untuk PPP (Purchasing Power Parity) kita sudah berada di rangking ketujuh. Artinya kita ini gede, kita itu besar, tapi belum merasa besar, banyak yang belum merasa besar. Tapi kita juga harus hati-hati dengan kondisi-kondisi yang sekarang. Ada perang dagang (trade war), brexit, negara-negara lain yang menuju ke resesi atau sudah berada pada posisi resesi.

Saya kemarin ketemu dengan Managing Director IMF yang baru, Kristalina (Georgieva). Dia memberikan sebuah warning, “Presiden Jokowi, hati-hati dalam mengelola, baik moneter maupun fiskal, hati-hati.” Karena kondisinya seperti ini. Dunia growth hampir semuanya turun dan kita alhamdulillah kita masih diberi angka lima lebih dikit. Enggak banyak, lebih dikit, tapi lebih dari lima. Sudah bagus dong. Bandingkan dengan negara-negara lain. Ada yang sudah minus, ada yang menuju ke nol, ada yang berkurang sampai 1,5 persen, satu persen, dua persen. Ada yang dulu berada di angka tujuh growth, anjlok menjadi di bawah satu. Ini patut kita syukuri, kita harus bersyukur. Sekali lagi, kita mempunyai potensi menjadi negara yang berpenghasilan tinggi dan kita juga semuanya berharap agar juga kita bisa keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.

Namun ada beberapa agenda yang mendesak yang harus kita lakukan. Saya sudah beberapa kali saya sampaikan. Lima tahun yang lalu kita memang fokus, konsentrasi di pembangunan infrastruktur. Karena apa? Ya kita ketinggalan jauh urusan infrastruktur dengan negara-negara lain, jauh.  Dengan kanan-kiri kita stok infrastruktur kita jauh sekali.

Saya berikan contoh jalan tol. Sejak Tol Jagorawi dibangun tahun ’78, artinya sudah empat puluh tahun yang lalu, sejak itu, sejak Tol Jagorawi dibangun sampai 2014 kemarin kita baru membangun 780 kilometer. Tiongkok/China dalam waktu yang sama sudah membangun 280.000 kilometer. Ribu, yang ini tadi enggak pakai ribu, 780 tadi enggak pakai ribu. Hati-hati. Hati-hati.

Kenapa saya perintahkan Menteri BUMN, Menteri PU urusan investasi, infrastruktur betul-betul diperhatikan? Karena kita ketinggalan jauh sekali, jauh sekali. 280.000 dibandingkan 780 enggak pakai ribu itu jauh sekali. Belum urusan yang lain-lain. Oleh sebab itu, kalau kita konsentrasi ke pembangunan jalan tol, pembangunan airport, pembangunan pelabuhan, pembangunan powerplan yang nantinya kita harapkan dapat memberikan kecepatan logistik, kecepatan mobilitas barang dan jasa kita ke seluruh penjuru negeri.

Bapak-Ibu bisa bayangkan negara ini dari Sabang sampai Merauke, Miangas sampai Pulau Rote. Kita enggak seperti negara lain yang satu daratan. Kita ini 17.000 pulau. Ini yang sering saya ingatkan kepada siapapun pelaku ekonomi. 17.000 pulau, kita ini mengelola 17.000 pulau, 514 kabupaten dan kota. Bukan sesuatu yang gampang.

Jangan kita ini juga merasa sudah bagus. Di lingkungan kita Jakarta, iya infrastrukturnya iya. Coba Bapak-Ibu sekalian pergi ke Papua, jangan Jayapura, terbang lagi satu jam ke Wamena, tapi jangan di Wamena-nya, pergi lagi ke Nduga. Lima tahun yang lalu saya ke sana, ke Wamena. Saya di Wamena saya sudah kaget, ada lagi yang namanya Nduga. Ada infrastruktur yang di daerah biasa saja, ada gambarnya. Itu Sudirman-Thamrin-nya di sana, jalan utama itu Merauke ke Digoel.

Kembali lagi ke Nduga. Saat saya ke sana ke Wamena, ke Nduga itu enggak ada jalan. Ke sana harus berjalan kaki empat hari empat malam. Dari Wamena saja harus berjalan ke Kabupaten Nduga itu empat hari empat malam. Kita bisa bayangkan bagaimana saudara-saudara kita, bagaimana logistik, bagaimana kalau ada yang sakit, pelayanan kesehatan. Ya itulah negara kita. Saat itu saya ke sana empat tahun yang lalu, tapi tidak jalan kaki, kalau jalan kaki empat hari empat malam. Saya naik heli, turun. Apa yang saya lihat? Aspal satu meter pun enggak ada di ibu kota kabupaten. Jadi betapa gap infrastruktur di Indonesia bagian barat, bagian tengah, dan bagian timur itu seperti itu.

Tapi kembali lagi, lima tahun kedepan kita akan tetap masih continue untuk membangun infrastruktur kita terus, tetapi memang ini akan lebih fokus. Saya sudah sampaikan ke Menteri PU, kalau ada jalan tol sambungkan dengan kawasan industri, kalau ada jalan tol di situ sambungkan ke kawasan pertanian, ke kawasan wisata. Airport pun juga harus disambungkan ke kawasan-kawasan yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi. Airport sambungkan dengan kawasan wisata, pelabuhan sambungkan dengan kawasan industri. Jadi mulai kita lebih tajam.

Ke depan juga kita ingin fokus/konsentrasi ke pembangunan sumber daya manusia tapi yang konkret, yang konkret. Artinya betul-betul ada sebuah upgrading, ada rescaling, upscaling yang betul-betul konkret sehingga SDM kita ini naik levelnya.

Saya diingatkan oleh Bank Dunia, 54 persen pekerja kita itu mengalami stunting dulunya. Kondisi-kondisi seperti ini harus saya sampaikan apa adanya.

Oleh sebab itu, ada beberapa agenda mendesak yang harus kita lakukan. Ke depan saya sudah sampaikan kepada Kementerian Ekonomi di bawah Pak Airlangga, untuk segera bisa menurunkan current account deficit kita, defisit transaksi berjalan kita, juga defisit neraca perdagangan kita. Kita akan konsentrasi di situ. Oleh sebab itu, yang namanya ekspor harus menjadi kebijakan yang terus akan kita dorong dan juga produk substitusi impor dan  produk-produk ekspor harus didukung.

Jangan sampai kita tahu misalnya impor petrochemical  gede sekali, padahal kita bisa memproduksi barang-barang itu, petrochemical itu, kenapa harus diterus-teruskan seperti itu. Impor elpiji, kenapa harus impor elpiji? Batu bara itu dengan teknologi bisa dikonversi ke elpiji. Kita gudangnya, batu bara kita sangat melimpah. Avtur juga sama. CPO kita bisa lari ke mana-mana, bisa menjadi avtur, bisa menjadi B20, B30, nanti B50. Kenapa kita terus-terusan mengekspor dalam bentuk raw material, tidak barang setengah jadi atau barang jadi? Ini yang menyebabkan defisit transaksi berjalan kita dan defisit neraca berjalan perdagangan kita ada di situ.

Dan goal  terbesar kita membangun produksi-produksi seperti itu adalah cipta lapangan kerja, penciptaan lapangan kerja. Kita masih ada kurang lebih tujuh juta pengangguran yang harus kita berikan ruang agar mereka bisa bekerja semuanya. Oleh sebab itu, pemerintah ini sebentar lagi kita baru menyiapkan yang namanya omnibus law. Ada 74 undang-undang yang akan kita revisi secara berbarengan, kita ajukan ke DPR. Yang memperlambat kecepatan kita dalam membangun negara ini harus betul-betul kita pangkas, kita pangkas, kita pangkas. Kalau kita ngajukan satu-satu, sudah lima tahun tiga saja enggak dapat kita. Kita sekarang 74 kita kumpulin ajukan bareng dengan omnibus law. Doakan disetujui Dewan. Sehingga goal kita semuanya goal-nya adalah cipta lapangan kerja. Omnibus law ini goal-nya juga cipta lapangan kerja, enggak akan ke mana-mana.

Oleh sebab itu, saya berharap sektor keuangan di negara kita, sektor keuangan Indonesia lebih kontributif untuk beberapa agenda utama tersebut. Jadi ada agenda utama pemerintah berikan back up ke sana. Tadi sektor infrastruktur,  pembangunan sumber daya manusia berikan backup ke sana. Meskipun kita juga mencari dana-dana dari luar agar juga ikut berpartisipasi, baik lewat investasi maupun lewat kontribusi yang lain.

Sudah bolak-balik juga saya sampaikan, ini saya sampaikan secara khusus kepada Kepala BKPM juga, kalau ada investasi, berikan yang pertama itu kepada swasta. Kalau swasta tidak siap karena mungkin internal rate of return-nya masih rendah, berikan ke BUMN karena BUMN bisa disuntik dengan PMN sehingga investasi itu bisa berjalan. Kalau BUMN enggak mau, baru ambil alih oleh pemerintah lewat APBN. Cara-cara ini yang akan terus kita kembangkan. Tapi back up dari sektor keuangan, dari perbankan itu sangat-sangat penting sekali untuk berjalannya agenda-agenda utama negara kita. Jadi tolong ini diprioritaskan.

Bapak-Ibu sekalian yang saya hormati,
Pertama, saya mengajak untuk kita semuanya lebih memberikan perhatian, upaya yang serius untuk mendukung inklusi dan literasi keuangan dalam meningkatkan akses masyarakat dalam mendapatkan kredit usaha kecil maupun usaha mikro, dan di saat yang bersamaan juga meningkatkan tingkat likuiditas di dalam negeri. Dan di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, perbankan juga harus mendorong penyaluran kredit sekali lagi kepada usaha mikro, usaha kecil. Berikan prioritas ke sana agar gini rasio kita, gap kesenjangan kita bisa kita perkecil dan juga mendorong pertumbuhan ekonomi di bawah.

Yang kedua, sejalan dengan inklusi keuangan, juga tolong lebih kontributif untuk meningkatkan kelas pengusaha. Dari yang mikro naikkan menjadi usaha kecil, usaha kecil naikkan lagi, tingkatkan lagi ke usaha menengah, dan kemudian yang tengah didorong untuk menjadi besar. Dari pengusaha lokal tingkatkan menjadi pengusaha nasional, dari pengusaha nasional tingkatkan lagi ke pengusaha yang bisa bergerak di global market.

Untuk itu saya mengajak Bapak, Ibu, dan Saudara-saudara semuanya, jangan hanya membiayai yang besar-besar saja. Memang enak membiayai yang besar-besar itu, saya tahu. Sekali lagi, jangan membiayai yang besar-besar saja. Saya ulangi, jangan hanya membiayai yang besar-besar saja. Ini kalau tepuk tangan artinya Bapak-Ibu semuanya setuju. Saya catat lho ini tepuk tangannya.

Juga jangan membiayai yang itu-itu saja. Tepuk lagi, artinya setuju. Juga jangan hanya berkantor di Jakarta saja. Buka cabang di Wamena. Jangan enggan turun ke bawah. Sekali lagi berikan hati kita pada yang kecil-kecil, pada yang mikro. Jangan enggan turun ke bawah.

Juga jangan enggak mau capek untuk mengawal yang kecil, yang mikro menjadi yang tengah, menjadi yang besar. Kawal mereka yang mikro, yang kecil-kecil ini. Gede banget jumlahnya. Sekarang data yang saya peroleh, sudah 60 juta. Berikan! Jangan yang ngurus hanya BRI saja. Yang lain urus itu yang kecil-kecil yang ada di daerah, yang ada di desa, yang ada di pelosok. Saya hanya ingin mengingatkan itu pada kesempatan yang baik ini. Datangi daerah-daerah. Datangi daerah-daerah.

Dalam lima tahun ini, 34 provinsi sudah saya datangi semuanya. 380 kabupaten dan kota sudah saya datangi semuanya dari 514 kabupaten dan kota. Bapak-ibu sekalian juga tolong datangi. Pak Dirut, Pak Direksi datangi coba, Bapak akan merasakan, oh ini tho Indonesia. Oh ternyata Indonesia tidak hanya Sudirman-Thamrin tapi ada Nduga, ada Wamena, ada Yahukimo ada, memerlukan sentuhan-sentuhan semuanya dari Bapak-Ibu sekalian.

Kita tahu, memang kita tahu, saya tahu bahwa memberikan ke yang besar itu untungnya besar, biayanya juga lebih murah. Kalau ke yang kecil itu biayanya lebih tinggi, capek, untungnya lebih kecil. Saya tahu. Tapi saya mengajak kepada kita semuanya untuk mulai mau memperhatikan mereka untuk masa depan bangsa dan negara kita.

Yang ketiga, saya mengajak untuk memikirkan juga secara serius untuk menurunkan suku bunga kredit. Masa negara lain sudah turun, turun, turun, kita BI rate-nya sudah turun, banknya belum. Ini saya tunggu. Tepuk tangan berarti setuju. Oke, saya catat lagi.

Yang keempat, bank-bank di negara kita, juga asuransi juga harus mempersiapkan diri dalam menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan semakin sengit, terutama dalam era digitalisasi. Jadi penguatan payment system, digitalisation system harus terus kita bangun. Bank dan non-bank harus berkolaborasi, jangan kerja sendiri-sendiri. Bank dan non-bank harus berkolaborasi.

Saya ingat lima tahun yang lalu saya perintah ke Menteri BUMN, ngapain sih ini Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BTN, Bank BNI membuat ATM sendiri-sendiri. Apa investasinya enggak gede kalau membuat sendiri–sendiri? Buat satu saja cukup tapi sistemnya bisa dipakai oleh empat atau lima bank. Sekarang satu ATM bisa dipakai semua bank, kenapa enggak bisa sih? Zaman kayak gini masih kerja sendiri-sendiri. Menghambur-hamburkan uang, menghambur-hamburkan investasi seperti itu. Setuju lagi. Ya, oke saya catati terus. Pak Mensesneg itu nyatet terus.

Yang terakhir, saya minta saya mengajak kepada para pelaku sektor perbankan dan tentu saja saya minta tolongnya ini kepada OJK, OJK selaku regulator, OJK selaku pengawas terhadap kegiatan jasa keuangan. Perkuat kebijakan insentif dan disinsentif terkait dengan hal-hal di atas. Regulasinya simpel tetapi berikan kebijakan insentif dan disinsentif terkait tadi yang saya sampaikan. Kalau mau buka cabang di Wamena, berikan insentif apa. Tepuk tangannya kurang kuat. Kelihatan enggak serius ini kelihatannya.

Jadi sekali lagi, perkuat kebijakan insentif dan disinsentif. Dengan dukungan OJK, Bank Indonesia, dan dunia perbankan secara keseluruhan target-target yang kita rumuskan oleh pemerintah akan lebih cepat tercapai. Saya berharap pertemuan kali ini akan menghasilkan sebuah langkah-langkah yang konkret. Saya akan ikuti sehingga dirasakan betul manfaatnya oleh rakyat.

Saya rasa itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan mengucap bismillahirrahmanirrahim saya resmikan, saya buka kegiatan Indonesia Banking Expo 2019.

Terima kasih.

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Sambutan Terbaru