Keris Pangeran Diponegoro Dikembalikan ke Indonesia
Menteri Luar Negeri (Menlu), Retno Marsudi, menyampaikan bahwa pengembalian dari Keris Pangeran Diponegoro prosesnya sudah cukup lama dan selama proses berlangsung Pemerintah Republik Indonesia (RI) dan Kerajaan Belanda melakukan penelitian bersama untuk betul-betul memastikan bahwa keris tersebut adalah keris milik Pangeran Diponegoro.
”Yang terakhir, jadi beberapa minggu sebelum kunjungan, maka kita juga mengirimkan tim di mana di dalamnya juga ada Pak Dirjen Kebudayaan. Karena saya berkonsultasi juga dengan Menteri Pendidikan dan kebudayaan kemudian beliau mengutus Dirjen Kebudayaan bersama dengan ahli dari Indonesia untuk melakukan pengecekan,” ujar Menlu memberikan penjelasan terkait Keris Pangeran Diponegoro di Istana Kepresidenan Bogor, Provinsi Jawa Barat, Selasa (10/3).
Menurut Menlu, Kerajaan Belanda juga sudah mendatangkan tim yang terdiri dari beberapa orang untuk melihat keris tersebut. Ia menambahkan bahwa dengan datangnya tim dari Indonesia, maka sudah dikonfirmasikan bahwa keris tersebut adalah Keris Diponegoro dan kemudian dikembalikan ke Indonesia.
Untuk penyimpanannya, Menlu menyampaikan bahwa akan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terutama terkait penempatan Keris Pangeran Diponegoro tersebut.
Sawit di Eropa
Sementara itu, saat ditanya mengenai sawit, Menlu menjelaskan bahwa Pemerintah RI melakukan kerja sama dengan Belanda utamanya adalah untuk memberdayakan petani-petani kecil sawit mengenai masalah sustainability.
Dalam pembicaraan, Menlu menjelaskan juga berdiskusi mengenai masalah sustainability, misalnya yang terkait dengan sertifikasi. Ia menambahkan bahwa sertifikasi di Eropa misalnya memiliki RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) sedangkan di Indonesia memiliki ISCO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
“Oleh karena itu tadi saya sampaikan kembali bahwa sebaiknya kita semuanya itu open, dalam artian ISCO, RSPO itu semuanya sertifikasi yang merujuk kepada elemen sustainability di antaranya. Kenapa tidak apa sertifikasi ISCO itu kemudian dijajarkan RSPO,” imbuh Menlu.
Kalau memang masih ada yang perlu ditambahkan, menurut Menlu, dapat ditambahkan, tetapi tidak dengan mengganti sertifikasi yang sudah dimiliki oleh Indonesia.
”Terus saya juga sampaikan kembali bahwa misalnya data-data scientific yang kita punya kenapa tidak juga diperbandingkan dengan data mereka, sehingga dengan pendekatan yang terbuka tersebut maka kita bisa mendapatkan treatment yang fair terhadap kelapa sawit kita,” pungkas Menlu. (FID/EN)