Jubir Covid-19: Kesembuhan Didominasi Faktor Imunitas Pasien

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 20 Maret 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 2.468 Kali

Infografis Pasien Covid-19 Sembuh. (Sumber: Kemenkes).

Juru Bicara (Jubir) Penanganan Wabah Virus Korona (Covid-19), Achmad Yurianto menyebutkan hampir seluruh kasus yang sembuh itu didominasi oleh faktor imunologi/imunitas yang sangat baik dari pasiennya sehingga menentukan kesembuhannya.

“Riset penelitian yang dilakukan oleh WHO dengan menghimpun semua ahli virus di dunia masih belum mendapatkan suatu kesepakatan yang bisa dijadikan standar dunia terkait dengan pengobatan, spesimen pengobatan yang definitif terhadap COVID-19,” ujar Yuri di Grha BNPB, Kamis (19/3).

Lebih lanjut, Yuri menyampaikan bahwa beberapa uji coba telah dilaksanakan di berbagai negara dan juga China pernah melakukan percobaan uji dengan menggunakan chloroquine, kemudian  Thailand mencoba untuk menggunakan ARV (Antiretroviral), melakukan terapi ini.

“Semuanya memang memberikan gambaran-gambaran yang baik tetapi masih belum menjadi suatu standar dunia. Oleh karena itu, sampai dengan saat ini secara definitif drug of choice obat yang pilihan untuk Covid-19 ini belum dikatakan. Demikian juga untuk vaksin masih belum didapatkan,” kata Yuri.

Berita tentang ditemukannya obat atau vaksin, menurut Yuri, masih ditunggu, dan diharapkan kerja keras dari semua ahli virus bisa memberikan hasil dalam waktu yang tidak terlalu lama sehingga bisa digunakan bersama.

“Oleh karena itu, sekarang yang paling penting adalah bagaimana upaya untuk mencegahnya, upaya untuk menghentikan penyebaran ini, ini menjadi lebih penting bagi kita dibanding dengan hanya sekadar menunggu ditemukannya obat dan vaksin yang definitif,” tambah Yuri.

Pemerintah, menurut Yuri, sudah membuat kebijakan, dengan langkah pertama adalah social distancing yang dimaknai bahwa pemerintah menyadari sepenuhnya penularan dari Covid-19 ini adalah bersifat droplet, percikan lendir kecil-kecil dari dinding saluran napas dari seseorang yang sakit keluar pada saat dia batuk dan bersin.

“Oleh karena itu, maka beberapa hal yang dilakukan oleh pemerintah yang pertama untuk siapapun yang batuk, siapapun yang sedang menderita penyakit influenza harus menggunakan masker,” imbuh Yuri.

Tujuannya, lanjut Yuri, adalah untuk membatasi percikan droplet dari yang bersangkutan ke sekitarnya dan mengatur jarak antarorang agar kemungkinan untuk tertular penyakit ini bisa menjadi rendah.

“Ini artinya implikasinya adalah bahwa pertemuan-pertemuan dengan jumlah yang cukup besar dan memungkinkan terjadinya penumpukan orang, dengan social distancing, dengan jarak yang kurang dari 1 meter akan sangat mungkin terjadi,” sambung Jubir Covid-19.

Oleh karena itu, menurut Yuri, sangat dipentingkan untuk disadari bersama dari seluruh komponen masyarakat untuk tidak melaksanakan kegiatan-kegiatan yang mengerahkan banyak orang dalam suatu tempat yang tidak terlalu luas dan menyebabkan adanya kerumunan.

“Ini adalah upaya yang sangat efektif untuk mengurangi sebaran. Oleh karena itu, social distancing harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam lingkungan kerja, apabila memang tidak memungkinkan bekerja dari rumah, atau pun di kehidupan rumah tangga,” sambungnya.

Dalam konteks upaya untuk mencegah penularan ini, lanjut Yuri, maka penerapan pola hidup bersih sehat dengan selalu mencuci tangan dengan menggunakan sabun di air yang mengalir, juga merupakan langkah yang sangat efektif untuk mengurangi terjadinya penularan akibat Covid-19.

“Ini adalah gerakan-gerakan yang saat ini semestinya harus mulai kita budayakan, bukan hanya kita sosialisasikan tetapi kita budayakan, dan ini akan sangat bagus untuk bagaimana secara komunal, secara kelompok, secara masyarakat, bisa mengendalikan penyakit ini,” katanya.

Hal berikutnya, sambung Yuri, adalah melakukan pencarian untuk orang yang mengidap penyakit ini, positif, agar tidak menjadi sumber penularan di masyarakat.

“Pemerintah dalam waktu dekat akan melaksanakan pemeriksaan secara massal atau yang kita sebut sebagai screening massal terhadap Covid-19 yang sekarang sedang kita persiapkan keseluruhan,” imbuhnya.

Metode pemeriksaan virus, lanjut Jubir Covid-19, ada beberapa macam, tentunya kalau dilihat dari sensitivitasnya, untuk virus ini yang paling sensitif adalah pemeriksaan dengan metode molekuler, yaitu menggunakan PCR,” sambungnya.

Penggunaan pemeriksaan imunoglobulin, jelas Yuri, sebagai upaya tes screening awal dan bisa dilaksanakan secara massal adalah sebuah keputusan yang baik dan beberapa negara sudah melakukan hal ini, dan Indonesia pun juga akan melakukan.

“Tujuannya adalah untuk secepat mungkin bisa kita ketahui tentang kasus positif yang berada di masyarakat. Tujuannya adalah untuk kemudian melaksanakan isolasi,” imbuhnya.

Sudah barang tentu nanti, menurut Yuri, akan bisa didapatkan kasus positif yang cukup banyak namun tidak seluruhnya dimaknai seluruhnya harus masuk ke rumah sakit.

Self Isolation dan Rapid Test

“Pada kasus positif dengan tanpa gejala atau kasus positif dengan gejala yang ringan tentunya akan diedukasi untuk melaksanakan isolasi diri (self-isolation) yang bisa dilaksanakan secara mandiri di rumah,” jelasnya.

Pelaksanaan isolasi diri, lanjut Yuri, dengan monitoring yang dilaksanakan oleh puskesmas atau petugas kesehatan lain yang sudah disepakati atau juga mengembangkan bagaimana melaksanakan konsultasi tentang kondisi kesehatannya melalui aplikasi online halodoc misalnya.

“Ini yang akan kita desain sehingga screening massal, pemeriksaan secara massal, itu harus diikuti dengan langkah-langkah sosialisasi, edukasi tentang bagaimana melaksanakan isolasi diri (self-isolation) dan ditambah dengan sarana untuk bisa melaksanakan monitoring dengan baik,” jelas Yuri.

Konsultasi secara virtual, sambung Yuri, dengan menggunakan aplikasi halodoc aplikasi yang lain yang mungkin nanti akan lanjut dikembangkan.

“Dalam self monitoring atau pada saat rapid test massal ini kita temukan kasus positif disertai gejala-gejala moderat, gejala-gejala sakit yang sedang, maka tetap harus dilakukan konfirmasi dengan menggunakan pemeriksaan PCR, karena ini menjadi penting,” jelasnya.

PCR, menurut Yuri, memiliki sensitivitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan pemeriksaan rapid, tetapi pemeriksaan rapid ini adalah dalam rangka untuk meyakinkan masyarakat apakah dirinya tertular atau tidak, dan apabila tertular bukan dimaknai bahwa dirinya harus dirawat di rumah sakit.

Rapid test, jelas Yuri, pun akan diikuti dengan sosialisasi tentang self-isolation atau isolasi diri, juga akan diikuti dengan penambahan sarana rawat inap apabila memang pasien itu pada kondisi sakit sedang atau sakit berat.

“Ini beberapa langkah yang harus kita lakukan secara terus-menerus/simultan dan kemudian nanti inilah yang akan menjadi upaya kita di dalam upaya pengendalian penyakit,” pungkas Yuri. (UN/EN)

Berita Terbaru