Menteri PPN: Bappenas Bantu Hitung Tingkat Penularan Awal dan Angka Reproduksi

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 28 Mei 2020
Kategori: Berita
Dibaca: 1.669 Kali

Menteri PPN saat menyampaikan keterangan pers usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas), Rabu (27/5). (Foto: Humas/Rahmat).

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Suharso Monoarfa, menyampaikan bahwa posisi Bappenas itu adalah membantu menghitung tingkat penularan awal (R0) dan angka reproduksi (RT).

“Jadi membantu menghitung atas data yang kami peroleh dari Gugus Tugas dan kemudian itu melalui aplikasi BLC (Bersatu Lawan Covid-19),” ujar Menteri PPN saat menyampaikan keterangan pers usai mengikuti Rapat Terbatas (Ratas), Rabu (27/5).

Data Bappenas, menurut Suharso, itu data mentahnya (raw data) adalah dari tempatnya BNPB sehingga Bappenas sama sekali tidak punya data.

“Jadi data memang diambil dari yang tersedia dan telah kami peroleh dari Profesor Wiku (Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19). Jadi  kita sudah menggunakan data yang apa adanya,” imbuh Kepala Bappenas.

Ia menambahkan bahwa Bappenas mengetahui bahwa data memang di-cleansing oleh BSSN dan ada beberapa data yang di-crosscheck secara acak di kabupaten/kota melalui akses di Bappeda dan Dinas Kesehatan.

“Karena Bappenas ditugaskan oleh Bapak Presiden untuk menyusun kembali reformasi sistem kesehatan nasional dalam rangka menyusun sistem kesehatan nasional secara utuh,” ungkap Menteri PPN.

Jadi tidak hanya Covid-19, lanjut Suharso, semua penyakit yang ada, kapasitas kesehatan, dan seterusnya itu Bappenas berkoordinasi dengan seluruh Dinas Kesehatan dan Bappeda seluruh Indonesia. Ia menegaskan hal itu sedang disusun dan sudah berulang kali diadakan pertemuan dengan Menteri Kesehatan.

“Jadi sekali lagi kami ikut membantu menghitung R0 itu. Meskipun terus terang harinya memang hari yang tidak bisa pada hari, Jadi kalau kami katakan real timerealtime-nya itu bukan real time mengacu pada hari ini, tetapi kami sebutkan ada tanggal-tanggalnya di situ,” kata Kepala Bappenas.

Suharso menjelaskan karena tes-tes itu juga ada time delay-nya dan time delay-nya itu tidak seragam.

Lebih lanjut, Kepala Bappenas sampaikan ada yang 2 hari, ada yang 3 hari, dan ada yang bahkan lebih dari 3 hari.

“Tapi itu semuanya sudah di-cleansing jadi kami tinggal menggunakan, cuma tetap ada time delay,” jelas Kepala Bappenas.

Pada kesempatan itu, Menteri PPN juga sampaikan bahwa yang dihitung oleh Bappenas adalah atas suggestion dari WHO.

Bersama WHO dan ahli epidemiologi, lanjut Kepala Bappenas, telah dilakukan juga konferensi pers atas arahan Presiden untuk menyampaikan keadaan di Indonesia dan bagaimana menggunakan suggestion WHO itu berdasarkan 3 kriteria.

“Yaitu kriteria epidemologi yang juga kita sama-sama tahu, mengenai sistem kesehatan, dan yang ketiga surveilans. Tetapi, Bapak Presiden berulang kali mengingatkan untuk tes, tes, tes, tes, dan tes,” ujarnya.

Jadi beberapa kali, menurut Kepala Bappenas, Presiden mengingatkan tes dan juga diskusi dengan WHO itu terkait dengan jumlah tes, yang berdasarkan data, Selasa (26/5) kemarin, hari ini ada 264.098 tes dan ada 23.165 kasus.

“Yang saya ingin sampaikan adalah mengenai jumlah tes per 1 juta penduduk. Per 1 juta penduduk kita telah naik dari tanggal 19 Mei yang pada 743 per 1 juta penduduk, sekarang menjadi 967 per 1 juta penduduk,” katanya.

Itu belum cukup, menurut Kepala Bappenas, karena persyaratan yang diminta oleh WHO itu adalah 1 orang per 1.000 penduduk per minggu.

Kalau misalnya Jakarta ada 10 juta penduduk, lanjut Suharso, maka Jakarta itu harus punya hasil tes 10.000 per minggu.

“Karena ini sudah berjalan kira-kira 12 minggu terhitung tanggal 2 Maret, maka di Jakarta harusnya yang dites sudah 120.000. Realitanya Jakarta sudah dites di atas 120.000, kira-kira sekitar 132.000,” ungkap Kepala Bappenas seraya menambahkan itu dengan kapasitas 3.100 per hari uji tes di Jakarta.

Jika dilihat, Kepala Bappenas sampaikan sisanya 140-an ribu itu tesnya di luar Jakarta dan inilah yang ingin dikejar supaya jumlah tesnya memenuhi syarat.

Satu contoh saja, Kepala Bappenas sampaikan Brasil sampai hari ini masih mencapai sekitar 30% dari total yang memang harus dites, dalam pengertian untuk mencapai jumlah yang diharapkan oleh WHO.

“Jadi WHO misalnya mengatakan dengan penduduk 212 juta, Brasil pada minggu ke-12 itu harusnya sudah 2.552.000 yang dites, tetapi hari ini baru 817 (ribu), jadi baru sampai 30%,” ujarnya.

Rusia itu, tambah Kepala Bappenas, misalnya Brasil telah melakukan tes 9,1 juta dan yang disyaratkan pada saat sekarang itu 1,7 juta, artinya sudah jauh di atas itu.

“India misalnya yang dites itu sudah 3.126.000 sementara harusnya hari ini mereka sudah mencapai 16 juta, artinya baru 20%. Dan kemudian dengan negara-negara lain itu bisa dihitung,” imbuh Kepala Bappenas.

Jadi sekali lagi, menurut Suharso, surveillance itu menjadi penting karena itu Bappenas men-suggest, demikian juga suggestion dari WHO, agar PDP dan ODP untuk dites lebih awal sehingga Pemerintah benar-benar tahu.

“Dan PDP dan ODP-lah sumber untuk kita lakukan tracing dengan cepat. Jadi kalau PDP dan ODP dites dengan demikian mereka statusnya sudah tidak lagi PDP atau ODP,” terang Kepala Bappenas.

Paling tidak, menurut Kepala Bappenas, untuk PDP yang dianjurkan adalah dites minimal 2 kali, sekali di tes misalnya negatif kemudian setelah itu 14 hari di tes lagi supaya confirm sakitnya apa dan sesuai suggestion WHO ODP itu minimal dites sekali.

Roadmap Indonesia

Sementara itu, Menteri PPN sampaikan bahwa kalau dihitung dari sisi dua hal, yaitu sebaran virus dan kesiapan sistem kesehatan publik jadi Bappenas ikut menghitung.

“Yaitu kalau kita lihat di gambar ini dari A ke B, B ke C, dan C ke D. Posisi idealnya adalah di D, jadi D itu adalah tingkat kesiapan sistem kesehatan yang baik dan penyebaran virusnya itu sudah terkendali dengan baik,” tandas Kepala Bappenas.

Hasil diskusi WHO bersama McKinsey dan Bappenas, Suharso sampaikan bahwa ini diproyeksikan dengan meihat pada realitas yang ada bisa lihat provinsi mana saja yang masuk di dalam gambar ini.

“Contoh yang paling mudah adalah Jakarta, memang sedikit, Bali ada di situ. Jadi Jakarta dan ini berdasarkan jumlah tempat tidur, kalau yang di minta oleh WHO itu 2,7 per seribu penduduk sekarang,” imbuhnya.

Suharso sampaikan bukan lagi angka yang lama, tetapi ini sekarang, dan itu juga yang dipakai dalam sistem kesehatan nasional ke depan.

“Bappenas membuat dashboard menuju normal baru yang bisa di-hyperlink untuk melihat Rt di setiap daerah,” jelasnya.

Yang muncul di sini, lanjut Menteri PPN, tinggal Rt-nya saja, Rt dan R0 meskipun data tentang surveilans ini kami belum mendapatkan dengan baik.

“Jadi kriteria ketiga ini belum bisa di-hyperlink, yang baru di hyperlink adalah yang kriteria kedua dan kriteria pertama,” katanya.

Kalau sudah didapat data mengenai surveillance, menurut Kepala Bappenas ini lebih masif di seluruh kabupaten/kota dan provinsi, sehingga akan mendapatkan angka data surveillance yang reliable.

Jadi, menurut Kepala Bappenas, ini contohnya, nanti ada kriteria 1 kalau kita menghitung Rt.

“Bappenas menganjurkan cara menghitungnya adalah melihat dari bawah, jadi surveillance-nya bagus, sistem kesehatan yang bagus, pasti R0-nya itu bagus,” imbuhnya.

Tapi kalau R0-nya bagus itu, sambung Suharso, Pemerintahakan periksa apakah sistem kesehatannya oke, surveillance-nya oke.

“Jadi kita dari bawah ke atas, kalau begitu dapat R0-nya bagus jadi memang semuanya bagus,” ungkapnya.

Karena ada daerah yang R0-nya bagus, lanjut Kepala Bappenas, tetapi jumlah tesnya masih sangat amat rendah.

“Begitu juga dengan sistem kesehatannya, jumlah tempat tidur, dan seterusnya yang nanti Pak Doni bisa sampaikan yang belum memadai,” pungkas Menteri PPN. (FID/EN)

Berita Terbaru