PERPPU Dewan Pengawas KPK

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 5 Februari 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 114.586 Kali

RobiOleh: Roby Arya Brata*

Konflik kelembagaan antar institusi penegak hukum (termasuk antar pimpinannya) khususnya antar KPK dan POLRI baik yang sekarang sedang terjadi maupun berpotensi terjadi lagi di masa yang akan datang harus segera diakhiri. Konflik demikian telah mengganggu stabilitas politik dan pemerintahan. Selain itu, kegagalan atau ketidakhati-hatian dalam menangani konflik antar KPK dan POLRI dapat meruntuhkan dukungan dan kepercayaan masyarakat kepada komitmen Presiden Joko Widodo/Pemerintah untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.

Ada beberapa opsi kebijakan yang ditawarkan untuk mengatasi konflik kelembagaan antar institusi penegak hukum khususnya antar KPK dan POLRI. Salah satu opsi itu adalah dikeluarkan PERPPU untuk memberikan hak imunitas bagi pimpinan KPK. Saya menentang opsi ini karena berlawanan dengan UUD 1945, yaitu prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law) dan karenanya berpotensi digugat ke MK. Usul ini juga berbahaya karena KPK bisa menjadi sewenang-wenang dan berada di atas hukum. Hak imunitas tersebut berpotensi disalahgunakan oleh oknum pimpinan KPK.

Tanpa hak imunitas pun sekarang kita saksikan sendiri semua pimpinan KPK dituduh telah melakukan pelanggaran hukum, etika atau kejahatan serius. Pihak berwajib tentu tidak boleh mengabaikan tuduhan yang serius ini. Tentu pelapor memiliki bukti yang kuat yang mendasari tuduhannya itu, karena kalau tidak ia bisa terancam pidana melakukan pencemaran nama baik atau sangkaan/laporan palsu.

Jika terdapat cukup bukti pihak berwenang, dalam hal ini pihak kepolisian, wajib memroses laporan terhadap para oknum pimpinan KPK tersebut. Akan tetapi jika suatu saat pihak penyidik kepolisian menghentikan penyidikan tanpa alasan yang sah, penuntut umum atau pihak ketiga, sesuai KUHAP, dapat mempraperadilkan penghentian penyidikan tersebut.

Bila tuduhan-tuduhan terhadap oknum pimpinan KPK kemudian ternyata benar maka hipotesis saya selama ini (sekali lagi) membuktikan kebenarannya: bahwa tanpa kerangka akuntabilitas yang kuat atau tanpa dewan pengawas eksternal independen KPK akan rawan disalahgunakan atau berpotensi menyalahgunakan kewenangannya.

Tanpa kerangka akuntabilitas yang kuat demikian potensi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran hukum dan etika oleh oknum pimpinan KPK akan terus terjadi di masa depan. Karena itu, saya tidak terkejut bila sekarang ada laporan-laporan/tuduhan pelanggaran hukum, etika atau kejahatan yang dilakukan oleh oknum pimpinan KPK. Saya sendiri cenderung percaya terhadap (sebagian besar) tuduhan-tuduhan itu. Kita mesti ingat beberapa oknum pimpinan KPK sekarang sebenarnya memang tidak direkomendasikan oleh panitia seleksi calon pimpinan KPK karena menduduki ranking yang rendah.

Kisruh KPK mesti (sekali lagi) menjadi pelajaran yang berharga bagi panitia seleksi untuk memilih calon pimpinan KPK yang berintegritas dan tidak memiliki masalah hukum (di masa lalu). Pimpinan KPK yang bermasalah dengan integritas dan hukum akan cenderung tidak independen, tebang pilih, dan menyalahgunakan kewenangan/kedudukannya. Ia akan cenderung melindungi politisi dan partai tertentu, namun di sisi lain ia akan menzhalimi politisi dan partai lainnya. Akan tetapi, tidak ada jaminan kelak ia akan terus melindungi politisi dan partai itu; ia akan berbalik menzhalimi dan “menyerang” politisi dan partai yang tadinya ia lindungi itu jika hal tersebut menguntungkan dirinya. Baginya KPK tidak lebih hanyalah alat politik untuk melindungi kepentingan personal dan kelompoknya serta untuk memenuhi ambisi pribadi dan syahwat kekuasaannya.

Panitia seleksi juga harus ekstra hati-hati dalam memilih calon pimpinan KPK yang profesinya bersinggungan dengan mafia peradilan (chronic judicial corruption). Korupsi dalam mafia peradilan sudah begitu kronis dan sistemik sehingga sulit baginya menghindar dari korupsi yang sistemik tersebut. Dalam korupsi yang sistemik demikian, jika ia ingin hidup/bertahan (survive) dalam profesinya ia akan “terpaksa” (atau dengan sengaja) terlibat atau menjadi bagian integral dalam mafia peradilan itu. Akan tetapi tentu masih ada (sedikit) orang yang berprofesi di bidang ini yang memiliki integritas.

Saya sungguh prihatin di bawah kepemimpinan KPK sekarang KPK mengalami proses delegitimasi dan pelemahan baik internal maupun eksternal. Lihatlah komentar-komentar masyarakat yang mem-bully dan menghujat (oknum pimpinan) KPK. KPK sedang menuju proses public distrust. KPK harus diselamatkan (dari oknum pimpinannya yang bermasalah)! Untuk menyelamatkan KPK dari krisis kepemimpinan dan menurunnya kepercayaan masyarakat saya menyerukan agar kepemimpinan KPK sekarang seluruhnya (akan lebih baik juga (mantan?) juru bicaranya) mengundurkan diri. Tanpa mereka KPK tidak akan lumpuh (justru akan selamat) karena kita akan dengan mudah mengatur penggantian pimpinan (sementara) KPK dengan yang lebih baik melalui PERPPU sambil segera memilih pimpinan KPK yang definitif. Akan tetapi, kita harus menolak keras penunjukan pelaksana tugas pimpinan (sementara) KPK yang bermasalah dan tidak independen.

Karena itu, untuk mengatasi krisis kepemimpinan dan menyelamatkan KPK pembentukan komisi etik merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang mendesak. Akan tetapi, untuk mencegah terjadinya hasil keputusan komisi etik yang (menurut saya) bias dan bermasalah dalam kasus bocornya Sprindik Anas Urbaningrum sebelumnya, kita harus menolak masuknya unsur pimpinan KPK dalam komisi ini. Tidak mungkin dan tidak masuk akal unsur pimpinan KPK masuk dalam komisi ini terlebih jika mereka juga (berpotensi) bermasalah dengan hukum dan etika. Apalagi, para pimpinan KPK (yang bermasalah) itu sendiri menyatakan bahwa mereka “solid”?suatu keadaan “conflict of interest” yang berpotensi saling melindungi. Saya mengusulkan tokoh-tokoh yang cukup kredibel berikut untuk menjadi anggota komisi etik KPK: Prof.Dr. Romli Atmasasmita, Prof.Dr. Syafi Ma’arif, Prof.Dr. Komaruddin Hidayat, Prof.Dr. Imam Prasodjo, dan Prof.Dr Rhenald Khasali.

Di sisi lain kita juga harus mendorong agar proses hukum yang adil terhadap pimpinan KPK segera diselesaikan. Bila kelak mereka terbukti mereka harus dihukum sesuai kesalahannya. Akan tetapi jika ternyata tuduhan-tuduhan itu hanyalah rekayasa mereka harus segera dibebaskan dan dipulihkan nama baiknya; sebaliknya, mereka yang merekayasa harus diberi sanksi yang berat.

Masyarakat harus terus mengawasi jalannya sidang etika dan proses peradilan dengan sikap yang adil, bijaksana dan obyektif. Mereka tidak boleh menekan apalagi mengintervensi jalannya proses itu. Mereka juga tidak boleh terhasut oleh gerakan dan penciptaan opini publik yang dilakukan oleh beberapa LSM, kelompok, dan media yang cenderung provokatif, tidak obyektif, tidak adil, dan memiliki agenda tersembunyi. Akan tetapi, pengawasan yang lebih efektif adalah pengawasan yang dilakukan oleh pegawai KPK sendiri. Pegawai KPK tidak boleh berdiam diri dan membiarkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran etika yang dilakukan oleh oknum pimpinan KPK.

Namun demikian, untuk dapat menjalankan tugasnya dengan tenang dan efektif pimpinan KPK memang harus dilindungi dari proses pidana dan perdata yang sifatnya rekayasa, kebencian dan balas dendam (malicious civil and criminal proceedings). Ia tidak boleh dipidana karena menjalankan tugasnya. Hal inilah yang diserukan dalam “The Jakarta Statement on Principles for Anti-Corruption Agencies” tahun 2012:

“ACA [anti-corruption agency] heads and employees shall have immunity from civil and criminal proceedings for acts committed within the performance of their mandate. ACA heads and employees shall be protected from malicious civil and criminal proceedings.”

Jadi istilah yang tepat bukanlah kekebalan hukum, karena memang tidak ada warga negara yang kebal hukum. Barangkali istilah yang lebih tepat adalah “perlindungan hukum” (legal protection) atau kalau mau dipaksakan menggunakan kata imunitas mungkin “imunitas terbatas/sementara” (limited/temporary legal immunity). Misalnya, selama menjabat pimpinan KPK (untuk sementara) ia tidak bisa diproses pidana atas dugaan tindak pidana dan gugatan perdata yang ia lakukan sebelum menjabat pimpinan KPK. Namun, tuduhan dan gugatan ini bisa diproses setelah ia tidak lagi menjabat pimpinan KPK.

Akan tetapi, pimpinan KPK tidak kebal hukum terhadap kejahatan/tindak pidana yang ia lakukan selama ia menjabat pimpinan KPK, misalnya melakukan korupsi atau kejahatan serius yang diancam pidana penjara di atas lima tahun. Namun, pimpinan KPK tidak boleh begitu dengan mudah diproses pidana atau menjadi tersangka dan diperlakukan seperti maling ayam atau penjahat jalanan. Ia harus memperoleh jaminan keamanan melaksanakan tugas dan jabatan selama menjabat dan perlindungan (dari rekayasa hukum).  Selain itu, pimpinan KPK hanya dapat diganti melalui proses yang sama seperti penggantian pimpinan lembaga tinggi hukum lain, misalnya penggantian ketua Mahkamah Agung.  Semua ini ditegaskan dalam “The Jakarta Principles” :

   “Anti-corruption agency heads shall have security of tenure and shall be removed only through a legally established procedure equivalent to the procedure for the removal of a key independent authority specially protected by law (such as the Chief Justice).”

Pimpinan dan pegawai KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya harus benar-benar taat pada hukum. Mekanisme akuntabilitas eksternal yang kuat dan efektif harus dirancang agar mereka taat pada hukum dan tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Seperti dinyatakan dalam “The Jakarta Principles”, KPK “…shall strictly adhere to the rule of law and be accountable to mechanisms established to prevent any abuse of power.”

Opsi mekanisme akuntabilitas eksternal yang paling baik agar KPK independen, berintegritas dan efektif adalah dengan menerbitkan PERPPU untuk membentuk dewan pengawas eksternal KPK yang independen. Sesungguhnya, pembentukan Dewan Pengawas KPK sudah pernah saya usulkan (Pikiran Rakyat, 7 Januari 2008, lebih detail lagi di Koran Tempo, 30 Maret 2012). Ide pembentukan Dewan Pengawas KPK ini juga sudah dimasukkan dalam  Rancangan Undang-Undang KPK usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2012.

Analisis kebijakan ini mengkaji lebih mendalam bagaimana seharusnya Dewan itu dirancang (insitutional design). Tanpa Dewan Pengawas yang dirancang dengan baik pembusukan internal KPK yang telah, sedang, dan sangat mungkin terjadi di masa depan akan terus dilakukan.

Desain kelembagaan

Tanpa pengawasan yang efektif, KPK sangat rawan terhadap berbagai bentuk penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Karena itu, sebelum struktur kelembagaan dan kewenangan Dewan Pengawas dirancang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan itu.

Banyak potensi pelanggaran hukum, kepatutan, dan kode etik (misconduct) yang dapat dilakukan pimpinan dan pegawai KPK. KPK dapat melakukan discriminative investigation, misalnya dengan tidak mengungkap kasus tertentu, tidak menetapkan seseorang menjadi tersangka, atau tidak menahan tersangka padahal terdapat alasan kuat untuk itu. KPK juga dapat melambatkan, menunda, menghalangi (obstruction of justice) atau mendistorsi proses penyidikan, penuntutan, dan peradilan kasus korupsi tertentu.

Penyidik dan penuntut KPK dapat menghancurkan, menghilangkan, dan merekayasa barang bukti. Mereka juga dapat berkonspirasi untuk melemahkan atau merekayasa tuntutan dan dakwaan untuk meringankan hukuman atau bahkan membebaskan terdakwa. Selain itu, mereka dapat melanggar hukum acara pidana dan standar operating procedure (SOP) yang sudah ditetapkan. Pimpinan dan pegawai KPK dapat melanggar indepedensi KPK. Dengan misi tersembunyi, mereka juga dapat menghambat kinerja KPK dengan memecah belah soliditas kepemimpinan KPK dan menciptakan suasana kerja yang tidak kondusif.

KPK harus dapat mempertanggungjawabkan setiap tindakan dan keputusan yang dibuatnya. Karena itu, kerangka akuntabilitas yang kuat dan komprehensif harus didesain agar KPK dapat bekerja optimal sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan hukumnya. KPK harus tunduk pada mekanisme akuntabilitas publik, politik, manajerial, vertikal, dan horisontal. Komite etik ad hoc dan pengawas internal KPK tidak cukup dan tidak akan mampu mencegah penyimpangan dan pembusukan KPK itu, sebagaimana yang terjadi dalam krisis kepemimpinan KPK sekarang.

Dewan Pengawas harus diberi wewenang untuk menjaga dan mengawasi agar KPK benar-benar bertindak berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku. Ia adalah penjaga the rule of the game, pengawas kode etik dan independensi KPK. Dewan tidak mentolerir underperformance dan segala bentuk pelemahan internal KPK. Ia akan menindak penyidik dan penuntut KPK yang melanggar SOP dan hukum acara pidana dalam menangani suatu kasus. Karena itu, Dewan berwenang melakukan evaluasi dan audit kinerja, juga menyarankan corrective action. Dewan Pengawas dapat menyelidiki mengapa Pimpinan KPK tidak segera menahan tersangka.

Dewan Pengawas juga harus berwenang memberikan sanksi yang kuat (punitive power). Misalnya, Dewan dapat memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk memecat Pimpinan KPK yang melakukan pelanggaran berat, seperti menghalangi pengungkapan kasus, melanggar independensi KPK, melakukan kejahatan dan korupsi.

Akan tetapi, mekanisme checks and balances harus diterapkan atas rekomendasi pemecatan Pimpinan KPK ini. Apabila Presiden setuju atas rekomendasi Dewan Pengawas, ia meneruskan rekomendasi itu ke DPR. Jika DPR juga setuju atas rekomendasi tersebut, maka untuk menghemat anggaran, waktu, dan menjaga kinerja KPK, DPR dapat menggunakan mekanisme penggantian antar waktu Pimpinan KPK.

Dalam penggantian antar waktu ini, DPR langsung menetapkan calon Pimpinan KPK yang menduduki ranking teratas (ranking enam dan seterusnya) namun tidak lolos dalam seleksi di DPR. Kemudian Presiden mengangkat pengganti Pimpinan KPK itu. Karena itu, panitia seleksi Pimpinan KPK wajib membuat perankingan calon pimpinan KPK, dan idealnya DPR menerima perankingan ini. Namun bila DPR tidak menerima perankingan panitia, ia dapat membuat perankingan sendiri.

Sebaliknya, bila Presiden dan DPR tidak setuju atas rekomendasi pemecatan dari Dewan Pengawas maka Pimpinan KPK tersebut dapat aktif bekerja kembali. Jika Presiden tidak setuju namun DPR setuju pemecatan, maka DPR menggunakan sistem perankingan di atas dan Presiden melantik pengganti Pimpinan KPK itu. Pimpinan KPK yang diusulkan dipecat dapat melakukan pembelaan di depan DPR.

Namun demikian, apabila integritas dan kinerja Pimpinan KPK sangat baik, Dewan dapat merekomendasikan kepada DPR maksimal dua orang Pimpinan KPK untuk dipilih kembali.

Untuk mencegah terjadinya kriminalisasi dan pelemahan KPK oleh oknum pimpinan institusi penegak hukum lain, tindak pidana dan korupsi yang dilakukan oleh pimpinan dan pegawai (penyidik dan penuntut umum) KPK hanya dapat disidik dan dituntut oleh Dewan Pengawas. Selain untuk bahan evaluasi dan audit kinerja, karena itu, Dewan memiliki akses penuh terhadap informasi dan dokumen KPK. Untuk kepentingan pemeriksaan Dewan, setiap keputusan Pimpinan KPK harus dicatat dan dimungkinkan voting dan dissenting opinion.

Penyidik dan penuntut KPK hanya dapat dipecat atau dikembalikan ke instansi asal oleh Dewan, atas usulan Pimpinan KPK atau inisiatif Dewan. Mereka dipecat karena kinerja yang buruk, pelanggaran hukum, SOP, dan kode etik. Pegawai administrasi KPK, dengan alasan yang sah, cukup diberhentikan oleh Pimpinan KPK.

Seleksi anggota Dewan harus dirancang dengan hati-hati sehingga hanya tokoh masyarakat yang dihormati, independen, dan kompeten yang dapat menjadi anggota Dewan. Panitia seleksi dan anggota Dewan tidak boleh berasal dari lembaga yang memiliki konflik kepentingan dengan Dewan dan KPK. Calon anggota Dewan diusulkan oleh koalisi masyarakat sipil yang kredibel, diseleksi oleh panitia, dan dilantik oleh Presiden.

Pengambilan keputusan Dewan dilakukan dengan konsensus, transparan, dan terbuka untuk umum (public inquiry). Akan tetapi, atas usul satu dari lima anggota Dewan, keputusan harus diambil dengan voting. Keputusan dicatat dan dimungkinkan dissenting opinion.

Dewan tidak berwenang mengintervensi proses penyidikan dan penuntutan yang sedang dilakukan oleh KPK. Pimpinan, penyidik, dan penuntut KPK dapat mengadukan dugaan pelanggaran kode etik dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan anggota Dewan kepada suatu dewan kehormatan ad hoc.

* Anggota Pendiri Kelompok Kajian Korupsi di Negara-negara Asia, Asian Association for Public Administration dan penulis buku “Memperkuat Negara dan Pemerintahan: Analisis Antikorupsi, Hukum dan Kebijakan”, 2014.

 

Opini Terbaru