Paradigma Baru Pembangunan Nasional
Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)
Ada yang sedikit berbeda dalam dokumen APBN-P 2015 hasil kesepakatan pemerintah dan DPR. APBN pertama di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo ini mencantumkan target-target pembangunan manusia sebagai bentuk komitmen untuk memperbaiki kualitas manusia Indonesia. Secara umum, sejumlah indikator pembangunan manusia yang masuk ke APBN-P 2015 diantaranya: angka kemiskinan 10,3%, angka pengangguran 5,6%, gini rasio 0,40 serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 69,4. Target-target tersebut menjadi ukuran dalam keberhasilan menilai keberhasilan pembanguna nasional ke depan.
Dalam kesempatan yang sama, Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis laporan Indeks Kebahagiaan Nasional 2014 berdasarkan survei di sekitar 1.129 rumah tangga di seluruh Indonesia. Hasilnya, Indeks Kebahagiaan Nasional mencapai 68,28 dimana semakin mendekati angka 100 artinya tingkat kebahagiaan masyarakat semakin tinggi. Namun demikian, jika dibandingkan laporan yang sama di tahun 2013, diasumsikan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan kebahagiaan.
Indeks Kebahagiaan Nasional dihitung berdasarkan penilaian atas kepuasan masyarakat terhadap 10 aspek kehidupan di antaranya pendapatan rumah tangga, kondisi rumah dan aset, pekerjaan, pendidikan, kesehatan, ketersediaan waktu luang, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, kondisi keamanan serta kondisi lingkungan. Jika dibandingkan tahun 2013, maka aspek pendapatan rumah tangga mengalami kenaikan paling signifikan hingga 5,06 poin menjadi 63,09. Sementara keharmonisan keluarga mengalami peningkatan paling rendah 0,78 poin ke level 78,89. Yang sedikit memprihatinkan, aspek pendidikan justru menjadi indeks kebahagiaan yang paling rendah sekitar 58,28.
Masyarakat yang tinggal di perkotaan juga dinilai memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi 69,62 dibandingkan indeks kebahagiaan masyarakat perdesaan yang hanya 66,95. Berdasarkan kategori jenis kelamin, wanita memiliki tingkat kebahagiaan 68,61 dibandingkan pria yang memiliki indeks kebahagiaan 67,94. Untuk wilayah, daerah yang memiliki indeks kebahagiaan tertinggi adalah Kepulauan Riau sebesar 72,42, disusul Maluku sebesar 72,12 kemudian Kalimantan Timur 71,45.
Paradigma Baru Pembangunan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, ada suatu perubahan paradigma baru dari pemerintah dalam memandang kinerja serta keberhasilan pembangunan. Secara teori, indikator keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara, selalu didasarkan pada perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) semata. Dan ukuran inilah yang selama ini selalu menjadi pedoman oleh pemerintah dalam menilai kinerja ekonominya, meskipun sebetulnya penggunaan konsep PDB sebagai indikator kesejahteraan ekonomi negara, dalam perjalanannya mengalami evolusi yang cukup signifikan.
Evolusi pertama muncul seiring dengan fakta bahwa tingkat populasi penduduk antar negara sangat heterogen. Ada negara yang kaya namun populasi penduduknya juga relatif besar, sebaliknya ada negara yang kaya namun populasi penduduknya rendah. Adapula negara yang miskin dan populasi penduduknya besar dan sebaliknya. Keanekaragaman modalitas tersebut tentu akan menimbulkan kesalahan dalam intepretasi jika indikator kesejahteraan hanya menggunakan PDB semata.
Karenanya kemudian muncul konsep PDB/PNB per kapita sebagai upaya mereduksi kelemahan tersebut. Tantangan berikutnya muncul ketika ada perbedaan standar biaya hidup antar negara. Tokyo di Jepang dan beberapa kota besar di Eropa dikenal sebagai kota dengan standar biaya hidup termahal di dunia. Menjadi hal yang sangat menggelikan jika standar hidup yang berbeda-beda tersebut dinafikan dalam proses penghitungan indikator kesejahteraan negara. Kelemahan tersebut kemudian diperbaiki dengan menggunakan konsep Purchasing Power Parity (PPP) yang akan menyamakan standar biaya hidup seluruh negara.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran negara akan pentingnya aspek-aspek non-ekonomi yang selama ini justru terpinggirkan dalam konsepsi PDB, kemudian muncul pendekatan Gross National Happiness yang digagas oleh negara Bhutan sebagai sebuah terobosan spektakuler dalam menghitung konsep kesejahteraan negaranya. Bhutan inilah yang kemudian menjadi acuan dalam penyusunan Indeks Kebahagiaan di banyak negara lainnya termasuk Indonesia.
Ide mengukur tingkat kebahagiaan bangsa itu pertama kali dicetuskan oleh Raja ke IV Bhutan, Jigme Singye Wangchuck, pada tahun 1970-an. Dalam pemikirannya, konsep pembangunan yang berlanjut adalah sebuah konsepsi pembangunan yang menggunakan pendekatan holistik dalam mencapai kemajuan bangsa. Karenanya faktor non-ekonomi perlu diberikan bobot penting setara dengan aspek ekonomi dalam pendekatan PDB yang hanya memperhitungkan aspek ekonomi semata. Upaya penyusunan GHN di Bhutan dimulai sejak 2005, ketika the Centre for Bhutan Studies (CBS) merumuskan indikator untuk mengukur tingkat kebahagiaan bangsa, melalui kajian literatur dan konsultasi dengan berbagai pihak.
Survei pendahuluan kemudian dilakukan pada tahun 2006 sebelum survei pertama kali mengukur Indeks GHN dilakukan pada tahun 2007, di mana kuesioner yang mencakup 750 variabel (meliputi variabel obyektif, subyektif dan terbuka) ditanyakan kepada 950 orang di 12 daerah. Namun sedikitnya responden memaksa CBS tidak mengangap hasil survei tersebut cukup sahih untuk ditetapkan secara resmi. Survei berikutnya dilakukan pada tahun 2010, dalam waktu 9 bulan, dengan jumlah kuesioner yang terisi lengkap sebanyak 7000 lembar lebih, dari 20 daerah perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan survei inilah kemudian GNH dijadikan momentum keberpihakan Bhutan dalam pemenuhan aspek kebahagian hidup kepada masyarakatnya.
Konsep GNH diukur dari sembilan aspek kebahagiaan bangsa, yaitu: ketenangan psikologis, kesehatan, pendidikan, penggunaan waktu, ketahanan dan keragaman budaya, tata kelola pemerintahan, vitalitas komunitas, ketahanan dan keragaman lingkungan hidup, dan standar hidup. Keseluruhan aspek kebahagiaan ini kemudian diuraikan menjadi 33 indikator yang terukur untuk menentukan tingkat kebahagiaan bangsa. Ke-33 indikator dipilih untuk memenuhi kriteria handal secara statistik, penting secara normatif, dan mudah dimengerti oleh kalangan luas.
Keseluruhan aspek kebahagiaan tersebut kemudian mendapat bobot yang sama, karena dianggap sama pentingnya dalam menentukan tingkat kebahagian bangsa. Namun dalam setiap ranah, indikator obyektif diberi bobot yang lebih besar daripada indikator subyektif dan jawaban terbuka. GHN dapat dipilah ke dalam kelompok-kelompok penduduk dan wilayah, sehingga dapat digunakan untuk merancang kebijakan dan program peningkatan kebahagiaan bangsa secara rinci dan terpadu; baik oleh pemerintah pusat, daerah, LSM atau dunia usaha.
Survei GHN menghasilkan 3 jenis hasil hitungan: hitungan kepala/headcount, intensitas dan indeks GHN. Hitungan kepala menunjukkan persentase penduduk yang merasa bahagia; intensitas menunjukkan rata-rata kecukupan yang dinikmati oleh penduduk; dan indeks GHN menggambarkan keadaan keseluruhan kebahagiaan suatu bangsa. Indeks GHN berkisar antara 0-1, angka lebih besar menunjukkan indeks kebahagiaan lebih tinggi.
Berkaca kepada kesuksesan Bhutan dalam mengartikulasikan kebahagian masyarakatnya sebagai sebuah tolok ukur kesejahteraan bangsa serta inisiatif yang sudah dijalankan oleh BPS di level nasional, sepertinya perlu diwacanakan penerapan Indeks Kebahagiaan di level daerah (Gross Regional Happines/GRH). Terlebih seiring dengan pencapaian tujuan Millenium Development Goals (MDGs) ataupun Sustainable Development Goals (SDGs) yang memberikan perhatian besar pada keseimbangan pencapaian tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Perubahan habitat masyarakat dunia yang makin menghargai aspek budaya, sosial, religi dan kearifan lokal sebagai sebuah bentuk kesuksesan, makin mendukung perlunya penerapan GRH di Indonesia, khususnya di beberapa daerah yang dianggap masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan aspek kekayaan tradisionalnya. Kota Yogyakarta, NAD, Sumatera Barat, Manado, Makassar dan Bali sepertinya menjadi usulan kasus yang sangat menarik untuk penerapan GRH. Best practice yang nantinya didapat dari kasus GRH inilah yang nantinya dapat menjadi amunisi di dalam proses konsensus nasional terkait penerapan di level nasional.
Jika ide tersebut sekiranya dapat diwujudkan, sepertinya mimpi tentang Indonesia yang lebih berbudaya dan tidak sekedar mementingkan aspek materi dalam penghitungan kesejahteraan masyarakat akan terwujud. Pemerintah akan bekerja seoptimal mungkin dengan menempatkan kesejahteraan masyarakat di atas segalanya. Masyarakat juga akan makin cinta kepada Pemerintah dan merasakan dengan segenap kesadarannya bahwa Pemerintah ada dan bekerja untuk mereka.
*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja