Upaya Penanganan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 28 Januari 2022
Kategori: Opini
Dibaca: 24.218 Kali

Taufik Akbar dan Riski DwijayantiOleh: Taufik Akbar, S.IP., M.A.*) dan Riski Dwijayanti, S.E., MGPP.**)

Permasalahan pengungsi merupakan isu global yang melibatkan lebih dari satu negara, termasuk Indonesia. Berdasarkan data United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), selama tahun 2020 setidaknya 82,4 juta orang di dunia melakukan perpindahan negara secara terpaksa, dan angka tersebut memiliki tren yang terus meningkat. Per September 2021, UNHCR mencatat jumlah pengungsi yang terdaftar di Indonesia mencapai 13.273 orang. Dari jumlah tersebut, 73 persen adalah orang dewasa dan 27 persen adalah anak-anak, di mana sebanyak 7.458 orang berasal dari Afghanistan, 1.364 orang dari Somalia, 707 orang dari Myanmar, 677 orang dari Irak, dan selebihnya dari negara-negara lain.

Tren jumlah pengungsi yang terus meningkat setiap tahunnya telah menimbulkan berbagai permasalahan dalam penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia. Selain itu, belum optimalnya pengaturan penanganan pengungsi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia juga telah mengakibatkan penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia belum terkoordinasi dan terintegrasi dengan baik, khususnya terkait penentuan status pengungsi, jangka waktu pengungsi, dan kontribusi anggaran Pemerintah Daerah.

Berdasarkan kondisi tersebut, tulisan ini akan mengidentifikasi pemetaan masalah, kerja sama penanganan, langkah pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta penguatan kebijakan dan kerangka regulasi.

Pemetaan Masalah dalam Penanganan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia
Semakin ketatnya persyaratan dan kuota penerimaan pengungsi luar negeri oleh negara-negara penerima pengungsi/negara-negara ketiga berimplikasi pada semakin meningkatnya jumlah pengungsi luar negeri di Indonesia. Jumlah tersebut juga diprediksi akan terus meningkat, terutama melihat situasi politik dan pemerintahan di Afghanistan saat ini. Peningkatan jumlah pengungsi akan mengakibatkan semakin bertambah pula permasalahan yang menyertainya.

Permasalahan penanganan pengungsi tersebut tidak hanya dihadapi oleh Pemerintah Pusat, tetapi juga oleh Pemerintah Daerah, di mana pengungsi ditempatkan sementara. Beberapa permasalahan dalam penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia dapat dipetakan sebagai berikut:

1. Status dan data pengungsi: (i) masa tunggu penetapan status pengungsi atau pencari suaka dari UNHCR yang tidak jelas; (ii) sulit dilakukan pendataan terhadap pengungsi mandiri, karena mereka tinggal di luar penampungan yang sudah ditentukan; dan (iii) data pengungsi yang dimiliki oleh UNHCR ataupun International Organization for Migration (IOM) tidak serta merta disampaikan/dilaporkan kepada Pemerintah Daerah.

2. Penempatan ke negara penerima pengungsi: (i) jangka waktu penempatan ke negara ketiga/negara tujuan pengungsi tidak jelas/tidak menentu. Beberapa pengungsi telah berada di Indonesia lebih dari sepuluh tahun. Pandemi COVID-19 semakin memperlambat proses penempatan tersebut; dan (ii) negara ketiga penerima pengungsi, seperti Australia dan Amerika Serikat, semakin memperketat dan mengurangi kuota pengungsi yang masuk ke negara tersebut.

3. Masalah sosial: (i) beberapa rumah penampungan kurang layak huni dan melampaui kapasitas; (ii) munculnya masalah kesehatan mental dan fisik yang dialami para pengungsi; (iii) akses pelayanan kesehatan dan pendidikan yang terbatas; dan (iv) berbagai permasalahan sosial lainnya antara para pengungsi dengan masyarakat dan aparat setempat.

4. Anggaran: (i) Australia telah menghentikan pendanaan melalui IOM bagi pengungsi baru yang masuk ke Indonesia setelah tahun 2018. Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi pendanaan bagi pengungsi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia setelah tahun tersebut yang jumlahnya diprediksi akan terus meningkat, terutama dari Afghanistan; dan (ii) Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri mengamanatkan bahwa APBN dapat digunakan sebagai sumber pendanaan untuk para pengungsi. Namun demikian, belum ada peraturan lebih rinci yang mengatur mekanisme penggunaan APBN dimaksud.

5. Koordinasi antar instansi: (i) koordinasi dan komunikasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan IOM dalam menangani pengungsi luar negeri di Indonesia belum maksimal; (ii) tidak adanya pembagian peran, tanggung jawab, dan alokasi anggaran yang jelas antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota) dalam penanganan pengungsi dari luar negeri; dan (iii) belum semua daerah yang memiliki pusat penampungan pengungsi telah membentuk Satgas Penanganan Pengungsi, sebagai salah satu upaya untuk mendorong koordinasi di tingkat daerah menjadi lebih baik.

Kerja Sama Penanganan
Sampai dengan saat ini, Indonesia belum meratifikasi Convention Relating to the Status of Refugees (Konvensi 1951) dan Protocol Relating to the Status of Refugees (Protokol 1967), sehingga Indonesia sesungguhnya tidak memiliki kewajiban untuk menerima pengungsi yang masuk ke wilayahnya. Namun demikian, Indonesia bersedia menjadi negara yang menampung sementara para pengungsi luar negeri dengan alasan kemanusiaan. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi 1951 yang meminta negara-negara yang tidak termasuk Negara Pihak menganut prinsip non-refoulement, yaitu tidak memulangkan paksa seluruh migran yang datang mencari suaka ke negara asal.

Penanganan, pelindungan, pemenuhan hak, dan penetapan status para pengungsi luar negeri di Indonesia dilakukan oleh UNHCR bekerja sama dengan IOM. UNHCR dan IOM berkewajiban untuk membiayai, memfasilitasi, dan mencarikan solusi jangka panjang bagi para pengungsi di negara penampung sementara, sampai dengan ditempatkan di negara ketiga/negara penerima pengungsi. Berdasarkan hukum internasional, pencari suaka yang telah mendapatkan status sebagai pengungsi akan ditempatkan di negara ketiga/negara penerima pengungsi, seperti Australia, Kanada, dan Amerika Serikat. Menurut data UNHCR, selama periode Januari–September 2021, hanya sebanyak 375 pengungsi di Indonesia yang telah ditempatkan di negara penerima pengungsi.

Selain bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia, UNHCR dan IOM juga menjalin kerja sama dengan pihak swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia, dalam penanganan dan pembiayaan bagi pengungsi luar negeri tersebut. Namun demikian, pendanaan utama bagi pengungsi luar negeri di Indonesia dan operasionalisasi UNHCR dan IOM diperoleh dari negara donor, seperti Australia, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan lain-lain.

Meskipun secara konsep definisi pencari suaka (asylum seeker) berbeda dengan pengungsi (refugee), namun berdasarkan observasi di lapangan tidak ada pembedaan perlakuan oleh Pemerintah Indonesia terhadap keduanya. Di Indonesia, pengungsi dari luar negeri terdiri dari: (i) pengungsi yang dibiayai oleh IOM; dan (ii) pengungsi mandiri, yaitu pengungsi yang membiayai kehidupannya sendiri.

Langkah Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Sebagai negara penampung sementara, Pemerintah Indonesia telah memberikan berbagai bentuk bantuan dalam menangani permasalahan yang dihadapi oleh para pengungsi. Sebagai contoh, dalam masa pandemi ini, Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Surat Edaran tanggal 10 Juni 2020 tentang pemberian akses pelayanan terkait COVID-19 bagi pengungsi yang terdaftar. Sampai dengan bulan September 2021, sebanyak 5.262 orang pengungsi memperoleh bantuan dana COVID-19, dan sejumlah 1.155 pengungsi rentan menerima bantuan dana bulanan sejak bulan Juni 2020.

Lebih lanjut, dalam rangka menindaklanjuti Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 300/2307/SJ dan Nomor 300/2308/SJ tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, beberapa daerah telah memiliki Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri (Satgas PPLN), seperti Kota Semarang dan Kota Tangerang Selatan. Dengan adanya Satgas tersebut diharapkan koordinasi antar instansi di daerah menjadi lebih terintegrasi dan terpadu dalam penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia.

Penguatan Kebijakan dan Kerangka Regulasi
Pengaturan Perpres Nomor 125 Tahun 2016 telah memberikan koridor terhadap penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia. Perpres tersebut memberikan dasar hukum bagi pelindungan terhadap pengungsi luar negeri di Indonesia. Hal ini tampak bahwa setelah adanya Perpres Nomor 125 Tahun 2016, pencari suaka yang awalnya ditempatkan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) dipindahkan ke rumah penampungan, sehingga dapat difasilitasi dan dibiayai oleh IOM.

Mengingat adanya tren peningkatan pengungsi luar negeri di Indonesia serta permasalahan yang timbul, maka diperlukan perubahan terhadap Perpres Nomor 125 Tahun 2016. Perpres perubahan tersebut akan mengatur secara rinci terutama mengenai penentuan status, jangka waktu menetap bagi pengungsi, dan kontribusi ataupun alokasi anggaran pada Pemerintah Daerah.

Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan revisi Perpres Nomor 125 Tahun 2016 dapat mengatur lebih tegas hal yang berkaitan dengan: (i) status kedaruratan; (ii) jangka waktu kedaruratan penanganan pengungsi luar negeri; (iii) peran dan tanggung jawab pemangku kepentingan; (iv) pembentukan Satgas PPLN; (v) pemenuhan hak-hak pengungsi luar negeri di Indonesia; (vi) penggunaan anggaran oleh Pemerintah Daerah; (vii) hubungan pembagian beban dan tanggung jawab dengan Organisasi Internasional (OI); dan (viii) hal-hal lain yang dapat meningkatkan kualitas penanganan pengungsi luar negeri menjadi lebih baik.

Dalam rangka penanganan pengungsi yang lebih baik dan rencana revisi Perpres Nomor 125 Tahun 2016, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian bagi penguatan kebijakan penanganan pengungsi luar negeri di Indonesia, antara lain:
1. Adanya pemetaan tentang: (i) jumlah pengungsi dan penyebarannya di Indonesia; (ii) perlakuan terhadap pencari suaka yang belum berstatus sebagai pengungsi, karena belum dibiayai oleh IOM; dan (iii) perlakuan terhadap pengungsi yang memutuskan untuk keluar dari rumah penampungan dan menjadi pengungsi mandiri.

2. Peningkatan koordinasi dan penegasan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Organisasi Internasional termasuk UNHCR dan IOM.

3. Pengaturan tambahan terkait mekanisme alokasi/penggunaan anggaran negara, terutama bagi Pemerintah Daerah (Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota).

Penanganan yang lebih baik dan pengaturan yang lebih terkoordinasi serta terintegrasi terhadap pengungsi luar negeri membuat Indonesia dapat lebih menunjukkan komitmennya untuk berperan dalam misi kemanusiaan internasional dan pelindungan atas hak asasi manusia.
——–

*) Kepala Subbidang Hubungan Multilateral Perserikatan Bangsa-Bangsa, Setkab RI
**) Kepala Subbidang Hubungan Multilateral Non Perserikatan  Bangsa-Bangsa, Setkab RI

Opini Terbaru