Kebocoran vs Efisiensi Anggaran

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 26 April 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 72.504 Kali

uang-rupiah-750x420Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*

Isu kebocoran anggaran pernah menjadi perdebatan yang cukup hangat dalam debat Presiden tahun lalu. Isu mengenai kebocoran anggaran, sebetulnya sudah menjadi isu lama, sekaligus tipikal perekonomian di negara-negara berkembang. Penyelenggaraan pemerintahan yang masih sarat dengan korupsi, sistem yang belum terbangun serta kentalnya budaya birokrasi menjadi prasyarat pendukung yang sempurna terjadinya kebocoran tersebut. Dalam beberapa kesempatan, Prof. Sumitro Djojohadikusumo, salah satu peletak dasar ekonomi Indonesia pun pernah menyentil persoalan kebocoran anggaran ini. Dalam versi beliau, kebocoran anggaran hingga tahun 1993 saja sudah mencapai angka 30%, meskipun detail penjelasannya tidak pernah disampaikan ke publik hingga saat ini.

Berbicara mengenai kebocoran anggaran, hal pertama yang harus disepakati adalah: apakah juga menyangkut isu efisiensi atau tidak? Hal ini menjadi penting mengingat penilaian kebocoran anggaran yang ada selama ini justru disamakan dengan persoalan efisiensi. Secara teori, ukuran mengenai efisiensi perekonomian di suatu negara sebetulnya dapat dijelaskan dengan menggunakan pendekatan ICOR (Incremental Capital Output Ratio). ICOR secara umum didefinisikan sebagai besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan satu unit output dalam mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional. Besaran ICOR ini didapatkan dengan membandingkan besarnya tambahan kapital dengan tambahan output.

Pendekatan ICOR ini selaras dengan teori pertumbuhan klasik Harrod Domar dan Sollow Swan yang menempatkan pertumbuhan kapital sebagai dasar utama kemakmuran suatu negara melalui pembentukan investasi yang menghasilkan saving devisa. Negara yang memiliki kemampuan investasi dan saving devisa yang besar, perekonomiannya memiliki potensi untuk tumbuh lebih cepat dibandingkan kondisi sebaliknya. Teori tersebut secara tidak langsung memunculkan dikotomi antara negara maju dan negara berkembang, dimana masing-masing nantinya akan memiliki jalur pertumbuhan (growing path) sendiri-sendiri. Dalam perjalanannya, teori ini kemudian menuai banyak kritikan karena dianggap meniadakan peran input non-kapital.

Nilai ICOR yang efisien, secara umum berada di kisaran 3%-4%, yang artinya untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) 1% di suatu negara, dibutuhkan tambahan investasi hingga 3%-4%. Nilai ICOR yang semakin kecil, mengindikasikan terjadinya efisiensi dalam proses investasi, sebaliknya nilai ICOR yang membesar menggambarkan tingginya in-efisiensi investasi. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh Komite Ekonomi Nasional (KEN) dan juga Badan Pusat Statistik (BPS), ICOR Indonesia dari tahun 2004-2008 sebetulnya sudah berada di bawah kisaran 4%. Tahun 2004 nilai ICOR Indonesia 4,4%, 2005 sekitar 4,5%, 2006 sekitar 4%, 2007 sekitar 3,7% dan 2008 sekitar4,2%.

Kebocoran anggaran juga berpotensi terjadi dari sisi realisasi APBN setiap tahunnya. Namun berdasarkan data realisasi APBN dari Kemenkeu, dalam 10 dasawarsa terakhir, angka realisasi APBN secara rata-rata berada di atas 94%. Tahun 2004 realisasi APBN mencapai 99,33%, tahun 2006 mencapai 95,43%, 2008 sekitar 99,62%, tahun 2010 mencapai 92,54% dan 2012 sekitar 96,33%. Setiap tahunnya, pemerintah juga terus menyempurnakan mekanisme penyusunan anggaran sekaligus mempermudah prosedur realisasi sehingga penyerapan anggaran diharapkan lebih optimal. Yang masih menjadi persoalan mungkin terkait dengan persoalan kualitas dari penyerapan anggaran itu sendiri. Meskipun sudah menerapkan sistem Performance Based Budgeting (PBB), persoalan kualitas penyerapan anggaran mau tidak mau masih menjadi kendala utama.

Tidak tercapainya optimalisasi penerimaan perpajakan juga disinggung sebagai salah satu penyebab terjadinya kebocoran anggaran. Namun perlu diperhatikan bahwa melesetnya potensi penerimaan perpajakan tidak seutuhnya disebabkan oleh lemahnya kinerja aparat perpajakan melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lainnya seperti melemahnya demand akibat resesi global. Pemerintah juga terus melakukan pengurangan potensi terjadinya penurunan potensi penerimaan perpajakan yang disebabkan perilaku moral hazard aparat penegak pajak itu sendiri melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 111/PMK.03/2014 tentang pegawai pajak yang beralih menjadi Konsultan Pajak.

Potensi kebocoran anggaran lainnya yang memungkinkan adalah hilangnya potensi penerimaan negara dari hasil pengelolaan sumber daya alam (SDA) baik tambang maupun kekayaan non-tambang lainnya. Namun demikian, potensi hilangnya penerimaan dari hasil pengelolaan SDA baik tambang dan non-tambang sangat bergantung kepada kesepakatan kontrak yang sudah ditanda-tangani sebelumnya. Yang mungkin dilakukan adalah me-renegosiasi kontrak kesepakatan yang sudah akan jatuh tempo untuk dilakukan perhitungan ulang demi memenuhi aspek keadilan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwasanya isu kebocoran anggaran merupakan hal sensitif yang sangat fundamental. Namun demikian, validitas data merupakan hal yang mutlak dikedepankan. Jangan sampai isu tersebut kemudian sekedar menjadi isu politik demi mengejar popularitas semata.

* Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Opini Terbaru