Peresmian Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2023, di Jakarta International Expo Hall B1-B2, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, 2 Maret 2023
Sambutan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Pembukaan Rakornas Penanggulangan Bencana Tahun 2023, 2 Maret 2023
Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om swastiastu,
Namo buddhaya,
Salam kebajikan.
Yang saya hormati para Menko, para Menteri Kabinet Indonesia Maju;
Yang saya hormati Yang Mulia para Duta Besar negara-negara sahabat yang hadir;
Yang saya hormati Gubernur, Bupati, dan Wali Kota dari seluruh tanah air Indonesia beserta Pangdam dan Kapolda;
Yang saya hormati Panglima TNI dan Kapolri;
Yang saya hormati Kepala BNPB beserta seluruh jajaran dan juga Kepala BPPD dari seluruh tanah air Indonesia, para relawan;
Bapak-Ibu hadirin undangan yang berbahagia.
Apa yang ditakuti oleh dunia saat ini? Bukan lagi pandemi, bukan lagi perang, tetapi yang lebih mengerikan yang ditakuti semua negara adalah perubahan iklim, perubahan iklim. Dan, perubahan iklim itu menyebabkan frekuensi bencana alam di dunia naik drastis dan Indonesia menempati tiga teratas paling rawan bencana.
Negara kita, ini naik 81 persen frekuensi bencana alamnya dari tahun 2010 itu 1.945 bencana, di tahun 2022 melompat menjadi 3.544. Kita ini tidak hanya urusan banjir, tidak hanya urusan gunung berapi yang meletus, bukan hanya urusan tanah longsor, yang lebih sering adalah gempa bumi dan bencana alam maupun non alam lainnya yang kita hadapi. Oleh sebab itu, siaga dan waspada itu menjadi kunci, baik tahap prabencana, pada tahap tanggap darurat, maupun pascabencana. Semuanya harus disiapkan, semuanya harus dikelola dengan baik.
Yang saya lihat, kita ini masih sering sibuk di tahap tanggap darurat, pas terjadi bencana. Padahal yang namanya prabencana, tahap prabencana itu jauh lebih penting. Bagaimana menyiapkan masyarakat, bagaimana mengedukasi masyarakat, bagaimana memberikan pelatihan-pelatihan kepada masyarakat untuk langkah-langkah antisipasi itu harus menjadi prioritas. Untuk apa? Untuk meminimalisasi korban maupun kerugian.
Yang pertama, penting itu peringatan dini. Ini sering masih kita terlambat, peringatan dini.
Yang kedua, mengedukasi masyarakat. Latihan dan lain-lain harus dilakukan. Skenario harus juga disiapkan. Kalau pas terjadi, misalnya gunung berapi, larinya ke mana. Kalau pas ada gempa bumi, larinya ke mana. Seperti ini secara detail yang sering kita abai. Pas ada bencananya kita pontang-panting, begitu sudah rampung, ya rampung. Lupa bahwa yang namanya prabencana itu lebih penting, mengedukasi masyarakat, memberikan pelatihan kepada masyarakat itu jauh lebih penting. Sehingga masyarakat tahu ke mana akan lari, ke mana akan berlindung.
Yang ketiga, yang berkaitan dengan tata ruang dan konstruksi. Ini dinas-dinas utamanya Dinas PU Daerah, Bappeda, harus begitu menyiapkan. Jangan sampai terjadi, karena ini selalu berulang. Misalnya di Palu, ada satu desa atau satu kecamatan yang setiap 20 tahun, setiap 50 tahun selalu berulang gempa ada di situ. Tsunami, tanah merekah selalu titiknya sama, tetapi tetap masih dibangun perumahan di situ. Keliru apa keliru? Sudah jelas-jelas. Begitu juga untuk tanah longsor. Tempat-tempat yang kita tahu itu tanahnya rawan tanah longsor, masih diberikan izin untuk mendirikan bangunan. Hati-hati mengenai ini.
Kemudian juga, dinas-dinas yang berkaitan dengan izin agar dimulai. Kita tuh kan sudah punya peta di mana yang terjadi erupsi gunung berapi, di mana yang sering terjadi gempa, kita tahu semuanya. Mestinya mulai diwajibkan agar masyarakat yang mendirikan bangunan itu konstruksinya diarahkan, yaitu konstruksi-konstruksi yang antigempa.
Karena, ini sebagai contoh, di Turki, korban sekarang yang meninggal sudah 51 ribu jiwa dan ribuan masih hilang. Gedungnya tinggi-tinggi, tetapi konstruksi bangunannya tidak konstruksi yang antigempa, ini yang mereka perkirakan kenapa banyak bangunan-bangunan tinggi yang runtuh. Bukan hanya bangunan yang bertingkat, tetapi bangunan yang tidak bertingkat pun harus diwajibkan dan mulai diarahkan, terutama di daerah-daerah yang rawan gempa itu agar menggunakan konstruksi yang antigempa.
Dan, Pemda serta BPBD ini penting menjadi ujung tombak bagi penanggulangan bencana. BPBD itu apa itu, singkatannya kok panjang? Semuanya kita itu kalau buat singkatan panjang-panjang. Namanya aja singkatan, tetapi panjang. Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Kalau BNPB, ya kepanjangan gitu. Badan Kebencanaan, dua kata itu kan lebih. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
Sekali lagi, saya minta kepada BPBD, kepada pemda (pemerintah daerah), agar mengidentifikasi potensi bencana yang ada di daerah masing-masing, bisa tanah longsor, bisa banjir, bisa gempa bumi, bisa erupsi gunung berapi. Dan, yang lebih penting lagi siapkan anggarannya. Jangan sampai BPBD berteriak, “Pak, tidak ada anggarannya.” Atau ada yang menyampaikan, “Pak, anggarannya kecil sekali.” Padahal jelas-jelas daerah itu sering terjadi bencana, baik itu banjir, tanah longsor, gempa bumi, erupsi gunung berapi. Siapkan.
Jangan setiap bencana yang ditelepon Kepala BNPB, Menko PMK, daerah dulu mestinya. Kalau besar dan tidak memiliki kemampuan, baru pemerintah pusat masuk, mestinya seperti itu. Benar? Jadi, setuju anggarannya diperbesar? Ada yang tidak setuju? Silakan tunjuk jari, saya beri sepeda.
Kemudian yang kedua, daerah itu harus memasukkan risiko bencana dalam rencana pembangunannya, dalam rencana investasinya. Ada perencanaannya, sehingga jelas di mana tempat yang boleh dibangun, di mana tempat yang tidak boleh dibangun. Dan pelaksanaan, terutama ini kelemahan kita di pelaksanaan. Betul-betul di lapangan ada orang mau bangun, “Hei, enggak boleh!” Ada orang mau bangun, “Hei, ini tanah rawan tanah longsor, enggak boleh!”
Enggak bisa, jelas-jelas ada sungai yang setiap tahun banjir di pinggirnya malah kemriyek bangunan-bangunan, berbondong-bondong malah orang mendirikan bangunan di situ dan dibiarkan. Ini yang saya sering lihat di lapangan. Saya itu tiap hari saya itu di lapangan, saya lihat. Bappeda itu ada, gunanya Bappeda itu kan perencanaan. Tapi kadang-kadang sudah ada perencanaannya, implementasi pelaksanaan di lapangan yang tidak diawasi, tidak dikontrol, tidak dimonitor. Kelemahan kita ada di situ. Sehingga, yang namanya dana bersama bencana itu penting sekali. Gunakan sebesar-besarnya untuk masyarakat, terutama masyarakat kecil.
Saya hanya titip. Ini kebiasaan kita kalau ada bencana, kan anggarannya bisa dari daerah, bisa dari pusat, tetapi juga yang menyumbang masyarakat itu banyak sekali. Biasanya yang saya lihat di lapangan, entah itu yang dari pemda, entah dari pusat, yang dari sumbangan, semuanya ditumpuk di posko, ditumpuk di kelurahan, ditumpuk di kecamatan. Lalu-lalang truk membawa bantuan, masyarakat yang terkena bencana melihat, hanya melihat tapi tidak pernah dibagi. Karena barangnya di stok di kecamatan, di kelurahan, atau di posko, [masyarakat] hanya melihat. Itu yang bolak-balik saya peringatkan.
Silakan ada stoknya, tetapi masyarakat, separuh lebih tolong dibagi ke masyarakat, meskipun mungkin tidak bisa dimasak. Mungkin meskipun pada saat itu tidak bisa dipakai, tapi dipegang itu senang, sebagai hiburan pas terjadi bencana, “Wah, saya ada beras 20 kilogram. Wah, ada Supermi.” Hanya lewat, bantuan di depan mata lewat, lewat, lewat, lewat tapi enggak pernah dibagi. Ini yang tepuk tangan, nanti kalau ada bencana, tolong dibagi.
Jangan sampai masyarakat sudah terkena bencana, kehilangan keluarga, kehilangan mata pencaharian, masih susah dapat bantuan. Sehingga saya sampaikan di sini, sederhanakan yang namanya aturan-aturan.
Saya pernah pengalaman di NTB, di Palu, di Cianjur. Saya lihat uangnya ini ada. Kita mau menyampaikan pada masyarakat, masyarakat sudah menunggu-menunggu, ternyata ruwetnya setengah mati prosedur yang harus dilalui. Ada ini, ada ini, ada… Kenapa sih tidak dibuat paling sederhana, karena dalam posisi kebencanaan? Kita itu kalau membuat aturan, semakin banyak aturan, semakin senang. Sederhanakan, buat yang paling simpel, sehingga uang atau bantuan itu segera bisa masuk ke masyarakat, tetapi dikontrol betul. Manajemen controlling harus dilakukan. Ini hampir terjadi di setiap bencana dan kita ulang-ulang.
Saya minta Pak Suharyanto juga Kepala BPBD di daerah, semua sederhanakan regulasinya. Pak Gub, Pak Wali, Pak Bupati, sederhanakan. Dalam posisi bencana itu kecepatan sangat diperlukan.
Dan, dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, pada pagi hari ini secara resmi saya buka Rapat Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Tahun 2023.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.