Satu Dasawarsa UU Desa: Refleksi Dan Optimalisasi Tata Kelola Desa

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 10 Februari 2024
Kategori: Opini
Dibaca: 5.000 Kali

Oleh: Adam Mulya Bunga Mayang, S.H., M.H. *)

Satu dasawarsa sudah Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) berlaku di Indonesia. Sebelum berlakunya UU Desa pada tanggal 15 Januari 2014, pengaturan mengenai desa menjadi bagian dari pengaturan UU Pemerintah Daerah (Pemda) terdahulu yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sebagaimana diketahui, UU Nomor 32 Tahun 2004 telah dicabut keberlakuannya oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam perkembangannya, dibuat pengaturan tersendiri mengenai desa dalam UU Desa dengan pertimbangan bahwa desa memiliki karakteristik susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang berbeda dengan entitas lain dalam pemda.

UU Desa merupakan salah satu produk kebijakan strategis pemerintah yang memberikan jaminan bagi desa sebagai wilayah otonom untuk mengatur dan membangun desa. Atas dasar kebutuhan pengaturan mengenai pendirian badan usaha milik desa (BUMDes), maka pemerintah melakukan perubahan UU Desa melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja).

UU Desa yang dibentuk telah berusaha secara komprehensif memberikan panduan bagi desa dalam melaksanakan kewenangannya yang terdiri dari penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat desa. UU Desa juga memberikan amanat pengaturan lebih lanjut terhadap 11 ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah (PP), di antaranya ketentuan mengenai pemilihan kepala desa (pilkades), pemberhentian kepala desa (kades), musyawarah desa, perangkat desa, keuangan desa, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Desa), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa), serta BUMDes.

Berdasarkan UU Desa tersebut, pemerintah telah menerbitkan beberapa PP yang mengatur mengenai desa, yakni PP Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan PP Nomor 11 Tahun 2019 (PP Pelaksanaan UU Desa), serta ada juga PP Nomor 11 Tahun 2021 tentang Badan Usaha Milik Desa yang merupakan tindak lanjut dari perubahan UU Desa dalam UU Cipta Kerja.

Hal terkait desa tidak hanya penting bagi kerangka regulasi tetapi juga dalam kerangka kebijakan pemerintah. Hal tersebut terlihat pada pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memprioritaskan pembangunan desa melalui salah satu dari sembilan agenda prioritas yang disebut dengan Nawa Cita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Salah satu poin Nawa Cita tersebut diperkuat secara kelembagaan melalui pembentukan kementerian yang menangani secara khusus terkait desa yakni Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kementerian Desa dan PDTT). Sebelum terbentuknya Kementerian Desa dan PDTT, urusan terkait desa ditangani oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebagaimana tertuang dalam Penjelasan atas UU Desa yang menegaskan bahwa “menteri yang menangani desa saat ini adalah Menteri Dalam Negeri”.

Memahami Kewenangan Pemerintah Pusat terhadap Urusan Desa
Meskipun telah dibentuk kementerian yang secara khusus menyandang nomenklatur desa yakni Kementerian Desa dan PDTT, kewenangan terhadap urusan desa tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Desa dan PDTT semata. Kerangka regulasi saat ini menghendaki bahwa pelaksanaan kewenangan terhadap urusan desa oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Kementerian Desa dan PDTT serta Kemendagri khususnya Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa.

Secara singkat, Kementerian Desa dan PDTT memiliki kewenangan melaksanakan urusan terhadap pelaksanaan pembangunan desa, pembangunan kawasan perdesaan, pemberdayaan masyarakat desa, dan pendampingan masyarakat desa. Adapun Kemendagri memiliki kewenangan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan desa. Pembagian kewenangan antara Kementerian Desa dan PDTT dengan Kemendagri tidak diatur dalam UU Desa melainkan dalam PP Pelaksanaan UU Desa. Hal ini karena pada saat pembentukan UU Desa tersebut belum dibentuk Kementerian Desa dan PDTT sehingga menteri yang menangani terkait desa disebutkan secara eksplisit adalah Menteri Dalam Negeri (Mendagri).

Pembedaan kewenangan terhadap urusan desa oleh kedua kementerian dimaksud perlu terus dilakukan diseminasi secara masif, mengingat masih terdapat berbagai pihak yang memandang bahwa pelaksanaan kewenangan terhadap urusan desa secara menyeluruh dilakukan oleh Kementerian Desa dan PDTT. Cara pandang tersebut berimplikasi bahwa konteks desa hanya dilihat dari sudut pandang pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa semata. Padahal memahami penyelenggaraan pemerintahan desa juga tidak kalah penting, mengingat pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa dilakukan oleh kepala desa dan aparatur desa dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan desa.

Idealnya antara pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa dengan penyelenggaraan pemerintahan desa tidaklah dapat dipisahkan. Namun demikian, mengingat regulasi saat ini menghendaki adanya pembagian kewenangan terhadap urusan desa, maka berbagai pihak perlu memahaminya secara bijak, khususnya bagi Kemendagri maupun Kementerian Desa dan PDTT yang memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan terhadap urusan desa agar dapat mengimplementasikannya secara kolaboratif.

Momentum Refleksi terhadap Pencapaian Desa
Satu dasawarsa UU Desa harus menjadi momentum untuk melakukan refleksi terhadap pencapaian pelaksanaan pembangunan desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa. Secara umum, UU Desa telah memberikan dampak positif terhadap pembangunan desa dan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Dari sisi pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa misalnya, dampak positif tersebut disampaikan oleh Menteri Desa dan PDTT saat memperingati Satu Dasawarsa UU Desa di Bali pada tanggal 15 Januari 2024. Dalam forum tersebut disampaikan bahwa perkembangan desa selama sepuluh tahun belakangan semakin membaik yakni dengan adanya Desa Mandiri yang berjumlah 11.456 desa (bertambah 11.282 desa dari yang sebelumnya sebanyak 174 desa), serta Desa Maju yang berjumlah 23.035 desa (bertambah 19.427 desa dari yang sebelumnya sebanyak 3.608 desa).

Berikutnya, pemerintah telah menyalurkan Dana Desa sejak tahun 2015 sampai dengan 2023, dengan total Dana Desa yang telah tersalurkan sebesar Rp538,9 triliun. Kenaikan Dana Desa setiap tahunnya cukup signifikan dari yang awalnya sebesar Rp20,8 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp70 triliun pada tahun 2023. Secara umum, Dana Desa telah memberikan manfaat positif kepada masyarakat desa melalui program pembangunan dan pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, misalnya sejak tahun 2015 sampai dengan 2023, setidaknya sudah terbangun 350,775 ribu kilometer jalan desa, terbangunnya 14.612 pasar desa, serta 6.706 unit embung desa.

Adapun dari sisi penyelenggaraan pemerintahan desa, secara output memang tidak begitu terlihat sebagaimana hasil dari pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Namun demikian, perlu menjadi pemahaman juga bahwa pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran pemerintah desa yang menjalankan roda pemerintahan desa. Sehingga penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik oleh pemerintah desa akan berkorelasi dan berdampak pada pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa.

Memperhatikan peran krusial dari pemerintah desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa, maka pemerintah pada tahun 2019 melalui PP Pelaksanaan UU Desa melakukan penyesuaian ketentuan terkait penghasilan tetap bagi kepala desa, sekretaris desa, dan perangkat desa lainnya sebagai upaya meningkatkan kualitas pelayanan penyelenggaraan pemerintahan desa.

Selain itu, pemerintah juga telah berupaya meningkatkan kapasitas aparatur desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa dan melaksanakan pembangunan desa. Upaya tersebut dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kemendagri yang pada akhir tahun 2023 menyelenggarakan kegiatan pelatihan bagi 13.498 perangkat desa dari 3.298 desa.

Optimalisasi Tata Kelola Desa
Catatan terhadap pencapaian desa tersebut, perlu menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan peningkatan tata kelola desa ke depannya. Dalam sisi pembangunan desa misalnya, upaya percepatan pembangunan desa yang merata dapat dilakukan dengan mengawal penggunaan Dana Desa sesuai kewenangan desa serta memaksimalkan peran pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan ke desa atas penggunaan Dana Desa. Pengawalan terhadap penggunaan dana desa penting dilakukan mengingat berdasarkan Laporan Hasil Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2022 yang dirilis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) tercatat bahwa sektor desa menempati peringkat teratas sebagai sektor yang paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum, yakni sebanyak 155 kasus.

Selain itu, perbaikan tata kelola pemerintahan desa juga menjadi penting, mengingat penyelenggaraan pemerintahan desa yang dijalankan berkorelasi terhadap pencapaian pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa. Setidaknya terdapat tiga isu yang perlu ditingkatkan oleh pemerintah.

Pertama berkaitan dengan penatalaksanaan pemerintahan desa khususnya mengenai kompetensi perangkat desa yang menjadi bagian dari upaya peningkatan kapasitas aparatur desa. Beberapa hal yang mendasari perlu adanya pengembangan kapasitas aparatur desa di antaranya karena adanya keterbatasan pengetahuan tata kelola pemerintahan desa serta belum adanya regulasi yang mengatur tentang alur, tahapan, dan standar pencapaian tingkat kapasitas aparatur desa.

Kedua, yang perlu ditingkatkan adalah tata kelola aset desa. UU Desa telah memberikan pedoman bagi pemerintah desa untuk mengelola aset desa termasuk melakukan inventarisasi aset desa. Perintah inventarisasi aset desa oleh UU Desa dimaksud, pada praktiknya belum dijalankan secara maksimal oleh pemerintah kabupaten/kota. Bahkan ketika Kemendagri telah menyampaikan surat kepada daerah, masih terdapat pemerintah kabupaten/kota yang belum menyampaikan laporan hasil inventarisasi aset desa. Padahal inventarisasi aset desa merupakan bagian dari akuntabilitas pengelolaan aset desa yang penting dilakukan oleh pemerintah daerah termasuk juga oleh desa itu sendiri.

Ketiga, yang berkaitan dengan dokumen perencanaan pembangunan desa. UU Desa secara eksplisit telah mengatur bahwa dokumen perencanaan pembangunan desa hanya RPJM Desa dan RKP Desa, di mana kedua dokumen tersebut tidak masuk dalam kerangka Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kemendagri perlu melakukan pengendalian dan evaluasi terhadap dokumen RPJM Desa dan RKP Desa agar sesuai dengan SPPN. Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan yang telah diatur dalam dokumen perencanaan pembangunan desa telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk dokumen perencanaan pembangunan nasional dan dokumen perencanaan pembangunan daerah.

Pada akhirnya, upaya peningkatan tata kelola desa tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah pusat semata, melainkan berbagai stakeholder perlu mendukung upaya tersebut, baik itu dukungan dari pemerintah daerah, termasuk komitmen pemerintah desa dan masyarakat desa secara khusus.

—–0o0—–

*) Analis Polhukam pada Kedeputian Bidang Polhukam, Sekretariat Kabinet

Opini Terbaru