Mengejar Pemain Harga Barang Kebutuhan Pokok
Ancaman Presiden
“Siapa pun yang main-main dengan harga kebutuhan pokok akan saya kejar. Demikian ancaman Presiden Joko Widodo beberapa hari yang lalu menyikapi kecenderungan kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok menjelang Lebaran.
Mungkin Presiden geram kepada si pelaku pemain harga. Di saat semua orang bergembira menyambut Ramadhan dan Lebaran, ada sedikit orang yang mengganggu kegembiraan itu. Mereka mengumpulkan barang, menyimpan, menunggu, dan menjualnya dengan harga berlipat ketika persediaan di pasar berkurang. Mereka memanfaatkan momen perekonomian yang bergerak lebih cepat dengan menimbun barang-barang kebutuhan pokok yang diperlukan masyarakat.
Dilihat dari sudut manapun, baik moral, etika, agama, perekonomian nasional, maupun hukum, perbuatan penimbunan barang untuk meninggikan harga tidak dapat dibenarkan. Uraian berikut dibatasi pada aspek hukum saja yang menjadi kompetensi tim penulis. Selebihnya menjadi wilayah kerja rohaniawan, motivator, dan ahli ekonomi.
Instrumen Hukum
Negara telah memiliki beberapa instrumen hukum untuk mengejarpelaku usaha yang melakukan penyimpanan dan penimbunan tersebut. Instrumen hukum tersebut ialah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (UU Perdagangan).
Di dalam ketentuan Pasal 53 UU Pangan diatur bahwa Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan oleh Pemerintah. Demikian juga dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perdagangan diatur bahwa Pelaku Usaha dilarang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang. Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindari adanya penimbunan barang yang akan menyulitkan konsumen dalam memperoleh barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting.
Sanksi Pidana dan Administrasi
Sanksi yang ditentukan oleh undang-undang tersebut meliputi sanksi pidana dan sanksi administratif (berupa denda, penghentian kegiatan produksi atau peredaran, dan pencabutan izin). Sanksi pidana diberikan apabila Pelaku Usaha melanggar ketentuan dalam Pasal 133 UU Pangan dan Pasal 107 UU Perdagangan. Apabila Pelaku Usaha Pangan melanggar ketentuan Pasal 133 UU Pangan, maka Pelaku Usaha Pangan diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Sedangkan, apabila Pelaku Usaha melanggar ketentuan Pasal 107 UU Perdagangan, maka Pelaku Usaha diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Sanksi pidana ini diberikan kepada Pelaku Usaha (Pangan) dalam 2 (dua) kondisi yang berbeda. Dalam keadaan Pelaku Usaha Pangan menimbun atau menyimpan melebihi jumlah maksimal dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, maka dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 133 UU Pangan. Selanjutnya, apabila Pelaku Usaha menimbun ketika terjadi kelangkaan, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang, maka dikenakan sanksi pidana dalam Pasal 107 UU Perdagangan. Diharapkan dengan adanya ancaman pidana ini para Pelaku Usaha tidak melakukan praktik penyimpanan atau penimbunan barang kebutuhan pokok.
Aturan sanksi pidana kepada para penyimpan atau penimbun barang bukan merupakan suatu hal yang insidentil atau baru diberlakukan oleh Pemerintah saat ini saja. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hal ini pernah diberlakukan melalui UU Nomor 1 Tahun 1953 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat tentang Penimbunan Barang-Barang (UU Nomor 17 Tahun 1951) sebagai Undang-Undang. Hal ini menunjukkan bahwa memang praktik penyimpanan atau penimbunan barang telah terjadi sejak dulu dan kerap merugikan atau mengancam ketahanan nasional Indonesia.
Sementara itu, sanksi administratif diberikan apabila Pelaku Usaha Pangan melanggar ketentuan mengenai jenis komoditas, mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan yang ditetapkan oleh Pemerintah (Pasal 52 Undang-Undang Pangan). Agar sanksi dapat dilaksanakan, diperlukan peraturan presiden dan peraturan menteri yang mengatur mengenai jenis komoditas, mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan sebagai dasar pengenaan sanksi.
Upaya Pre-emptif dan Preventif
Selain upaya pengejaran yang bersifat represif melalui pengenaan sanksi pidana, Pemerintah juga melaksanakan upaya pre-emptif dan preventif. Upaya pre-emptif dilakukan dengan menghimbau kepada para Pelaku Usaha untuk tidak melakukan praktik penyimpanan atau penimbunan barang, sedangkan upaya preventif dilakukan melalui pengawasan terhadap pemenuhan ketersediaan dan/atau kecukupan pangan pokok. Pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan) dan Pemerintah Daerah terus melakukan pemantauan, evaluasi, dan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan oleh Pelaku Usaha.
Kementerian Pertanian memiliki pengawas yang diberikan wewenang untuk memantau dan mengevaluasi seluruh tempat dan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan (Pasal 110 ayat (1) UU Pangan). Sementara itu, Kementerian Perdagangan juga memiliki petugas pengawas yang dapat merekomendasikan penarikan barang, penghentian kegiatan usaha, dan pencabutan perizinan apabila ditemukan bukti awal tindak pidana perdagangan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha (Pasal 100 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UUPerdagangan).
Untuk menangani praktik penimbunan barang kebutuhan pokok mesti memerlukan keterlibatan berbagai instansi, antara lain Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, dan Pemerintah Daerah, serta aparat penegakan hukum seperti Kepolisan dan Kejaksaan. Efektivitas penanganannya akan bergantung pada koordinasi dan sinergi di antara instansi tersebut.
Selain upaya Pemerintah di atas, Menteri Perdagangan juga telah menyampaikan rancangan peraturan presiden yang mengatur mengenai jenis komoditi, mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal penyimpanan pangan pokok dan kebutuhan pokok, dan barang penting oleh pelaku usahasebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Peraturan presiden tersebut nantinya akan menjadi alat kontrol untuk menekan dan mengendalikan harga kebutuhan pokok.
Dengan adanya beberapa peraturan perundang-undangan tersebut, praktik penyimpanan atau penimbunan barang kebutuhan pokok diharapkan dapat segera teratasi agar harga barang kebutuhan pokok kembali normal dan masyarakat dapat merayakan Lebaran dengan penuh kegembiraan.