Penguasaan Senjata Api Oleh Masyarakat Sipil

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 7 Agustus 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 30.200 Kali

PurnomoOleh: Purnomo Sucipto, Pemerhati Peraturan Perundang-Undangan

Pada dasarnya setiap orang berhak melindungi diri dan hartanya (self defense) dari ancaman pihak lain. Setiap orang juga memiliki hak untuk hidup sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Karena itu setiap orang berhak menggunakan berbagai cara dan alat untuk melindungi dirinya termasuk dengan cara menguasai (memiliki/menggunakan) senjata api.

Dalam masyarakat sederhana, seperti pada awal pendaratan bangsa Eropa di benua Amerika, setiap orang/keluarga lazim memiliki senjata api untuk bertahan dari serangan musuh dan binatang buas. Sedangkan dalam masyarakat modern yang kompleks, tidak setiap orang dapat menguasai senjata api. Penguasaan senjata api dapat menimbulkan ekses-ekses negatif, yakni bukan sebagai alat mempertahankan diri  melainkan untuk menyerang atau mengancam pihak lain. Dalam masyarakat modern, ada pembagian tugas dan spesialisasi profesi termasuk tugas pengamanan yang diserahkan kepada aparat keamanan (polisi dan tentara). Masyarakat membuat kesepakatan (dalam bentuk peraturan perundang-undangan) untuk memberi kewenangan kepada polisi atau tentara untuk menguasai senjata api dalam rangka melindungi masyarakat.

Penerapan kebijakan penguasaan senjata api oleh masyarakat sipil di berbagai negara bervariasi: Pertama, memberikan kewenangan menguasai senjata kepada polisi/tentara saja dan melarang masyarakat sipil menguasai senjata (Jepang). Kedua, masih memungkinkan anggota masyarakat sipil tertentu menguasai senjata (Indonesia). Ketiga, membebaskan masyarakat sipil untuk menguasai senjata (Finlandia).

Di Indonesia penggunaan senjata api diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1948 tentang Pendaftaran dan Pemberian Izin Pemakaian Senjata Api, UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Mengubah “Ordonantie Tijdelijke Byzondere Straftbepalingen (Stbl. 1948 No.17), dan Perppu Nomor 20 Tahun 1960 tentang Kewenangan Perijinan yang Diberikan menurut Perundang-undangan mengenai Senjata Api. Dari peraturan-peraturan tersebut diatur bahwa penggunaan senjata api oleh masyarakat sipil dibenarkan oleh undang-undang dengan syarat memperoleh izin dari Kepala Kepolisian Negara atau pejabat yang ditunjuknya.

Sikap pro dan kontra penguasaan senjata api oleh masyarakat sipil seringkali muncul ketika terjadi penyalahgunaan penggunaan senjata api yang dipicu oleh adanya anggota masyarakat yang menjadi korban kekerasan kejahatan bersenjata api. Banyak pihak mengusulkan untuk mempersenjatai anggota masyarakat tertentu yang karena jabatan/kekayaannya, mempunyai risiko tinggi mejadi korban kejahatan. Sementara pihak lain lebih mendorong polisi untuk  lebih keras menindak penjahat bersenjata api.

Bagaimana menyikapi hal ini?

Jawabannya harus dalam kerangka tujuan perlindungan warga masyarakat dan penciptaan keamanan yang kondusif. Sebenarnya, baik yang setuju maupun yang tidak setuju terhadap pemberian izin senjata api untuk masyarakat sipil mempunyai maksud agar masyarakat terlindungi dari tindak kejahatan dan menciptakan kondisi keamanan yang memadai.

Masalahnya adalah, manakah yang lebih menguntungkan untuk diterapkan di Indonesia dengan melihat pada kondisi yang ada. Apabila tujuan perlindungan masyarakat yang memadai diwujudkan melalui pemberian izin penguasaan senjata api oleh masyarakat sipil, maka kesulitan yang muncul adalah sebagai berikut.

  1. Siapa dan apa kriteria pemberian senjata kepada seseorang. Dalam hal ini sulit untuk mengukur siapa yang layak untuk diberi izin.
  2. Kewenangan pemberian izin oleh Kapolri, dimana Kapolri sendiri yang menentukan kriterianya akan membuka munculnya subyektivitas dalam pemberian izin itu.
  3. Perlunya pendidikan khusus tidak saja cara menggunakan dan merawat senjata api, tetapi juga kapan dan dalam keadaan bagaimana senjata tersebut boleh digunakan.
  4. Dari data yang ada, ternyata senjata-senjata yang diberi izin (sebanyak 700-1100an unit) tidak digunakan untuk membela diri. Dengan demikian berarti ancaman terhadap diri pemegang senjata tersebut tidak terbukti. Dengan kata lain, pemberian izin penguasaan senjata itu menjadi tidak berguna.
  5. Pemberian izin itu, pada kondisi keamanan seperti sekarang ini mengandung risiko untuk disalahgunakan oleh pemegangnya. Selain itu, tingkat pendidikan, kesadaran hukum, dan penegakan hukum belum memungkinkan bagi masyarakat sipil diberi kewenangan penguasaan senjata api.
  6. Angka kasus penembakan di luar negeri menunjukkan bahwa semakin longgar suatu negara memberikan izin menguasai senjata api, semakin banyak terjadinya kasus kematian karena senjata api.

Dari sisi positif dapat dikatakan pemberian izin itu akan menambah rasa percaya diri dari pemegangnya. Pelaku kejahatan juga akan berhati-hati dalam mencari calon korbannya. Apabila tujuan perlindungan masyarakat dan penciptaan keamanan dilakukan dengan melarang masyarakat sipil memegang senjata, maka kelemahannya adalah masyarakat tertentu menjadi was-was dan tidak punya rasa percaya diri untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Masyarakat belum percaya sepenuhnya aparat keamanan dapat melindungi diri mereka.

Pemecahan untuk masalah ini ialah dengan merevitalisasi aparat keamanan dan mendorongnya dengan dukungan dana, sumber daya manusia, dan profesionalisme aparat keamanan yang memadai. Sisi positif pilihan ini adalah kontrol terhadap penggunaan senjata lebih mudah dilakukan.

Dari pertimbangan-pertimbangan di atas kiranya pilihan yang terakhir, yakni melarang masyarakat sipil untuk memegang senjata lebih tepat diterapkan di Indonesia. Apabila pilihan ini diterima, tentunya perlu adanya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penguasaan senjata api sehingga menjadi jelas dasar hukum pelarangannya. Pilihan ini tentu saja juga harus diikuti dengan aksi aparat keamanan untuk mengawasi dan mengambil tindakan tegas terhadap kejahatan dan tindakan terhadap peredaran senjata api ilegal. Dengan demikian, keinginan terciptanya perlindungan warga masyarakat dan terciptanya kondisi keamanan yang memadai lebih mungkin terwujud.

 

Opini Terbaru