SBY: Perppu Hak Konstitusional Presiden
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di kantor Presiden, Jakarta, Kamis (2/10) malam, memimpin rapat terbatas kabinet yang membahas masalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undag-Undang (Perppu) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Perppu yang memuat pelaksanaan Pilkada langsung dengan 10 perbaikan itu dimaksudkan sebagai pengganti UU Pilkada yang diputuskan rapat paripurna DPR-RI, Jumat (26/9) dinihari, yang memutuskan bahwa Pilkada Gubernur, Bupati/Walikota dipilih oleh DPRD.
Pilkada langsung dengan 10 perbaikan semula diusulkan oleh Fraksi Partai Demokrat (FPD) dalam rapat paripurna DPR-RI itu, namun usulan tersebut tidak mendapatkan respon positif dari fraksi-fraksi di DPR. Setelah DPR-RI memutuskan UU Pilkada melalui DPRD, barulah reaksi keras bermunculan.
Presiden SBY sendiri berulang kali menegaskan, bahwa posisinya sangat jelas. Saya tidak pilih Pilkada oleh DPRD, karena kemungkinan politik uang akan jauh lebih besar, tegas Presiden SBY melalui akun twitternya @SBYudhoyono, Rabu (30/9) lalu.
Menurut Presiden SBY, calon Kepala Daerah yang akan dipilih DPRD, yang akan ditetapkan para elite partai belum tentu sesuai kehendak rakyat. Pilihan di DPRD bisa transaksional. Calon Gubernur, Bupati dan Walikota lebih ditentukan oleh para Ketua Umum Partai, paparnya.
Namun demikian, Presiden SBY menegaskan, ia juga tidak setuju jika Pilkada Langsung yang kita jalankan selama ini tidak ada perbaikan yang mendasar, karena Pilkada Langsung itu terbukti banyak penyimpangannya.
Karena itulah, dengan bersandar pada konstitusi, Presiden SBY memilih untuk menandatangani UU Pilkada yang diputuskan rapat paripurna DPR-RI, namun selanjutya Presiden akan menerbitkan Perppu sebagai pengganti UU Pilkada oleh DPRD itu.
Terkait dengan perlu adanya alasan kegentingan yang memaksa dikeluarkannya Perppu itu, Presiden SBY melalui akun twitter pribadinya @SBYudhoyono, yang diunggahnya Kamis (2/10) malam menegaskan, Perppu adalah hak konstitusional Presiden.
Sebelum ini Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi dalam keterangan persnya di kantor kepresidenan, Jakarta, Selasa (30/9) malam mengatakan, kalau kita hanya melihat genting memaksa di dalam Pasal 22 itu, menurut itu terlalu umum, karena harus ada ukuran.
Ukuran itu kita bisa rujuk dari Keputusan Mahkamah Kostitusi (MK) Nomor 138 itu yang Tahun 2009. Di situ sudah jelas kriterianya, ada tiga kriteria. Dan itulah kemudian yang kita terjemahkan menurut subjektif Pemerintah atau Presiden, itu sudah memenuhi syarat, jelas Gamawan.
Hadir dalam rapat terbatas itu antara lain Wakil Presiden Boedioo, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menko Kesra Agung Laksono, Menko Perekonomian Chairul Tanjung, Sekretaris Kabinet Dipo Alam, Mendagri Gamawan Fauzi, Menkum dan HAM Amir Syamsudin, Jaksa Agung Basrief Arief, Panglima TNI Jendral Moeldoko, Kapolri Jendral Sutarman, dan Kepala BIN Marciano Norman. (Humas Setkab/WID/ES)