Menanti Kepastian Arah Pengelolaan BMKT

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 10 Mei 2016
Kategori: Opini
Dibaca: 105.215 Kali

khusnulKusnul Nur Kasanah, Keasdepan Bidang Kelautan dan Perikanan, Kedeputian Bidang Kemaritiman, Sekretariat Kabinet

Letak geografis Indonesia yang strategis, antara benua Asia dan Australia, antara samudera India dan Pasifik, menjadikan wilayah perairan Indonesia sejak zaman VOC menjadi jalur lalu lintas pelayaran internasional yang sibuk, menghubungkan kawasan Eropa, Afrika, Timur Tengah, Asia Selatan dan Asia Timur.

Disamping letaknya yang strategis, Indonesia juga terkenal sebagai penghasil rempah-rempah, yang pada saat itu merupakan komoditas berharga bagi masyarakat di Kawasan Eropa dan Timur Tengah.

Kekayaan alam Indonesia inilah yang menarik pedagang dari berbagai negara berdatangan ke Indonesia, sehingga tidak mengherankan apabila wilayah perairan Indonesia dikenal sebagai salah satu wilayah perairan yang dipenuhi ratusan hingga ribuan kapal karam, terutama di jalur pelintasan dan sekitar pusat-pusat perdagangan. Dalam kapal-kapal karam tersebut terdapat muatan berupa logam mulia, batuan berharga, keramik, dan benda lainnya yang diperkirakan memiliki nilai ekonomi tinggi.

Berdasarkan hasil survei, seperti disampaikan Sekretaris Asosiasi Perusahaan Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Muatan Kapal Tenggelam Indonesia (APPP BMKTI) di wilayah perairan Indonesia disinyalir terdapat 464 titik lokasi kapal tenggelam. Dari semua lokasi yang terdeteksi itu, diperkirakan terdapat harta karun bernilai ekonomi yang mencapai sekitar USD 12,7 miliar atau setara dengan Rp 127,6 triliun. Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sendiri merilis, terdapat sedikitnya 134 lokasi kapal tenggelam di Pelabuhan Ratu dan 37 lokasi di Selat Malaka. Jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih banyak, karena berdasarkan hasil penelitian UNESCO, terdapat sekitar 20 ribu kapal dari berbagai negara di dunia pernah berlayar ke Selat Malaka dan diketahui tidak pernah kembali ke negara asalnya, kapal-kapal tersebut diduga kuat tenggelam di perairan Indonesia.

Banyaknya kapal karam di wilayah perairan Indonesia mengundang banyak tindakan penjarahan dan pencurian BMKT, yang paling fenomenal adalah pencurian yang dilakukan Michael Hatcher atas BMKT dari kapal Geldermalsen yang kemudian melelangnya di balai lelang ChristiÂ’e, Belanda dengan nilai 17 Juta USD, dan Indonesia tidak mendapat bagian sama sekali. Guna merespon banyaknya tindakan illegal terhadap BMKT, serta dalam rangka mempercepat proses pemanfaatan, agar pengelolan BMKT lebih optimal dan terkoordinasi, Presiden melalui Keppres No. 19 Tahun 2007 sebagimana telah diubah dengan Keppres No. 12 Tahun 2009 membentuk Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan BMKT (PANNAS BMKT) yang diketuai Menteri Kelautan dan Perikanan dan beranggotakan Pejabat Eselon 1 dari Kementerian/Lembaga terkait. PANNAS BMKT bertugas:

  1. mengkoordinasikan kegiatan departemen dan instansi lain yang berkaitan dengan kegiatan pengelolaan BMKT;
  2. menyiapkan peraturan perundang-undangan dan penyempurnaan kelembagaan di bidang pengelolaan BMKT;
  3. memberikan rekomendasi mengenai izin survei, pengangkatan, dan pemanfaatan BMKT kepada Pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  4. menyelenggarakan koordinasi kegiatan pemantauan, pengawasan, dan pengendalian atas proses survei, pengangkatan dan pemanfaatan BMKT;
  5. menyampaikan laporan tertulis pelaksanaan tugas paling sedikit 1 (satu) tahun sekali kepada Presiden.

Sepanjang Tahun 2000 sampai dengan 2011, PANNAS BMKT telah mengeluarkan izin survei pengangkatan dan pemanfaatan BMKT di 75 lokasi. Namun sejak tanggal 11 November 2011 sampai dengan saat ini, PANNAS BMKT memberlakukan moratorium pemberian rekomendasi izin survei dan izin pengangkatan BMKT. Langkah moratorium ini merupakan tindak lanjut terbitnya UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, dimana BMKT dikategorikan sebagai benda cagar budaya bawah air yang pengelolaannya menjadi kewajiban Pemerintah, dimana selama ini pengangkatan BMKT dilakukan bersama antara Pemerintah dan badan usaha swasta berdasarkan persetujuan bisnis. Disamping itu dalam UU No. 11 Tahun 2010 tersebut, diatur juga bahwa BMKT sebagai benda cagar budaya tidak dapat dimiliki warga negara asing/badan hukum asing dan tidak dapat di bawa keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, padahal sebagian besar peminat dari BMKT adalah konsumen luar negeri.

Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), selain telah mengeluarkan Peraturan Menteri terkait perpanjangan moratorium izin pengangkatan BMKT, dalam proses revisi Perpres Nomor 39 Tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal (Perpres Daftar Negatif Investasi/DNI) mengusulkan bahwa bidang usaha pengangkatan BMKT yang semula merupakan bidang usaha yang terbuka dengan syarat khusus diusulkan menjadi tertutup dengan alasan kapal-kapal tenggelam merupakan warisan peradaban dan kebudayaan Indonesia sehingga harus dijaga dan dirawat bagi pengembangan sejarah dan ilmu pengetahuan.

Terkait dengan perlindungan terhadap warisan budaya bawa air, pada tahun 2001 PBB menyelenggarakan konvensi dan menghasilkan Konvensi UNESCO 2001 yang secara umum mengatur antara lain: perlindungan terhadap warisan budaya bawah air dan dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia; Cagar budaya bawah air dilarang untuk di eksploitasi secara komersil untuk perdagangan dan spekulasi; dan Prinsip-prinsip pelestarian insitu. Sampai dengan saat ini, Indonesia belum meratifikasi hasil konvensi tersebut, tentu saja keputusan untuk meratifikasi atau tidak perlu dikaji secara mendalam manfaatnya bagi kepentingan nasional, karena ada konsekuensi yang harus ditanggung, seperti antara lain: menghentikan perizinan yang telah dikeluarkan termasuk mengembalikan kepada investor segala biaya yang sudah dikeluarkan dalam rangka perizinan; menyusun roadmap/rencana aksi pengelolaan warisan budaya bawah air; menyiapkan segala sarana dan prasarana penunjang termasuk kelembagaan pengelolaanya, seperti balai pelatihan, museum maritim, dan pengembangan sumber daya manusianya; serta harmonisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan BMKT untuk disesuaikan dengan ketentuan dalam Konvensi UNESCO 2001.

Apabila merujuk pada aturan dalam UU No. 11 Tahun 2010, arah pengelolaan BMKT adalah untuk kepentingan konservasi, mengingat BMKT memiliki nilai sejarah dan ilmu pengetahuan yang sangat tinggi. Namun sayang, hal ini tidak diperkuat oleh UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan yang mengatur bahwa kegiatan pengangkatan BMKT merupakan pemanfaatan sumber daya kelautan yang akan dikembangkan sebagai salah satu bentuk jenis industri jasa maritim. Ketidakjelasan terhadap kelembagaan pengelolaan juga berpotensi terjadi jika melihat dalam UU No. 27 Tahun 2007 sebagimana diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 yang mengatur bahwa izin pengelolaan kegiatan pengangkatan BMKT merupakan kewenangan Menteri Kelautan dan Perikanan, sedangkan jika merunut pada UU No. 11 Tahun 2010 yang mengatur BMKT sebagai benda cagar budaya, maka yang berhak melakukan pengelolaan adalan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan.

Kurang harmonisnya Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang BMKT, serta belum terbitnya peraturan pelaksanaan dari UU No. 11 Tahun 2010 tersebut, menyulitkan berbagai pihak terutama pelaksana teknis ditingkat Pemerintah Daerah dalam melakukan langkah-langkah baik dalam pengelolaan maupun tindakan terhadap pencurian yang dilakukan oleh masyarakat sebagai akibat kurangnya sosialisasi dan pemahaman terkait status BMKT. Sebelum terbitnya UU No. 11 Tahun 2010, terdapat 13 kegiatan pengangkatan BMKT oleh swasta yang sampai dengan saat ini Kementerian Keuangan tidak dapat memproses hasil pegangkatan BMKT tersebut (untuk dijual) karena masih menunggu kepastian hukum.

Apabila arah pengelolaan BMKT murni ditujukan untuk konservasi, maka konsekuensinya adalah Pemerintah harus menyiapkan baik aspek teknis maupun penganggaran, mengingat kegiatan pengangkatan dan pemeliharaan BMKT membutuhkan anggaran yang besar, karena terkait dengan kebutuhan teknologi dan SDM profesional. Untuk proses mulai survei hingga pengangkatan, selama ini masih menggunakan pihak ke tiga dengan sistem bagi hasil. Sebagai contoh, anggaran untuk survei hingga pengangkatan satu lokasi di perairan laut Jawa (Utara Cirebon) menghabiskan dana sekitar USD 10 juta, hasil temuan tersebut sedianya dilelang dan ditaksir senilai USD 80 juta, akan tetapi tidak laku karena tidak ada peminat yang mendaftar, sehingga setelah diambil sebagian sebagai koleksi negara, pemerintah membagi rata dengan pihak ketiga yang mengeksekusi BMKT tersebut. Saat ini BMKT yang menjadi bagian Pemerintah masih tersimpan di Warehouse Cileungsi Jawa Barat. Pemeliharaan untuk BMKT yang sudah diangkat juga memakan biaya mahal karena membutuhkan perlakuan khusus, termasuk apabila diputuskan untuk melakukan konservasi insitu.

Satu hal yang juga perlu diperhatikan ketika konservasi menjadi arah pengelolaan BMKT adalah penetapan lokasi kapal tenggelam (BMKT) sebagai kawasan cagar budaya, maka hal ini terkait dengan penataan ruang (zona kawasan), sehingga menjadi sangat penting untuk Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan mengeluarkan penetapan kawasan-kawasan cagar budaya bawah air untuk dapat diakomodasi dalam Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN) yang saat ini sedang disusun Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dengan masuk dalam pengaturan RTRLN, maka peruntukan ruang bagi kawasan cagar budaya bawah air akan diarahkan agar tidak menggangu fungsi konservasi cagar budaya. Namun, konsekuensinya adalah bahwa titik-titik lokasi dimana BMKT itu berada akan terpublikasi ke publik, sehingga pemerintah harus menyiapkan dengan matang aspek pengawasannya untuk menghindari tindakan pencurian.

Untuk itu, kiranya Pemerintah perlu segera memutuskan dan mengambil langkah-langkah guna memberikan arah yang jelas dalam pengelolaan BMKT (mutlak dikonservasi atau dapat dikomersialisasikan/diperjualbelikan). Hal ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi semua pihak, termasuk kepastian berusaha bagi para investor, mengingat bahwa Pemerintah sedang membangun iklim investasi yang kondusif, jangan sampai permasalahan ketidakpastian hukum ini akan menjadi tendensi negatif juga bagi sektor usaha secara umum.

Opini Terbaru