Pidato Sambutan Presiden Joko Widodo pada Peresmian Penutupan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) Tahun 2016, Rabu, 11 Mei 2016 Pukul 09.00 WIB , di Istana Negara, Jakarta

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Mei 2016
Kategori: Transkrip Pidato
Dibaca: 8.630 Kali

Logo-Pidato2Bismillahirrahmanirrahim,
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua.

Bapak, Ibu, dan Saudara-Saudara sekalian,
Yang pertama, saya ingin mengingatkan terlebih dahulu. Akhir tahun 2015, pada akhir Desember yang lalu, uang anggaran daerah yang masih berada di bank, utamanya BPD itu ada kurang lebih 90 triliun. Tetapi pada akhir bulan yang lalu, uang anggaran yang ada di bank daerah, di BPD ada 220 triliun. Ini perlu saya ingatkan, agar anggaran itu segera dibelanjakan, segera direalisasikan.

Ini uang yang sangat besar sekali, besar sekali. Kita carinya pontang-panting, setiap bulan ditransfer ke daerah, kota, kabupaten, dan provinsi, tetapi di sana justru disimpan, tidak digunakan.

Tetapi pada bulan empat yang lalu, saya sudah perintah ke Menteri Keuangan, daerah-daerah yang nyimpan uangnya besar, akan, bukan akan, sudah diubah, ada berapa provinsi, berapa kabupaten, sudah diubah ke SPM, ke surat utang, artinya tidak bisa menggunakan uang. Ini karena peringatan tahun yang lalu sudah saya diberikan.

Uang 220 triliun, itu kalau digunakan itu gede sekali, besar sekali. Karena pada triwulan I secara nasional di Kementerian/Lembaga, kita hanya keluar 280 triliun. Nah kalau ini juga keluar, efeknya akan kemana-mana. Dan peringatan ini saya berikan khususnya kepada gubernur, pada provinsi. Karena justru yang berada di provinsi itu yang gede, bukan di kabupaten/kota. Ini tidak perlu saya bacakan, kalau saya bacakan, nanti ribut ini nanti. Mana yang nyimpen paling banyak jadi ribut nanti.

Belanja, sekali lagi, dan belanja itu investasikan pada investasi-investasi yang produktif; bukan kepada belanja barang yang tidak produktif; bukan pada pembangunan gedung juga yang tidak produktif; bukan pada belanja-belanja untuk perjalanan dinas, kunjungan kerja; pembelian-pembelian barang misalnya untuk mobil dinas, untuk meubelair yang saya pernah dibisiki Pak Wapres, justru belinya mebel-mebel impor. Ini kesalahan, kesalahan yang harus mulai kita hilangkan, dikurangi dan dihilangkan.

Sekali lagi, 220 triliun itu uang yang sangat besar sekali. Segera belanjakan dan giring belanja-belanja semuanya pada belanja modal yang produktif, yang mempunyai efek kepada pertumbuhan ekonomi di daerah. Apalagi daerah-daerah yang sekarang ini, komoditas, harga komoditas maupun quantity ekspornya itu baru turun. Justru trigger-nya itu ada di APBD Provinsi, APBD Kabupaten, APBD Kota tapi banyak yang tidak melakukan itu. Tiap hari saya lihat, suatu saat kalau ini tidak bergerak, saya akan umumkan, mana yang nyimpen duitnya paling banyak di BPD, di bank-bank daerah.

Kemudian yang kedua, yang berkaitan dengan perencanaan. Sekali lagi, tadi sudah disampaikan oleh Menteri Bappenas, sekarang sudah bukan money follow function, harus berubah menjadi money follow program. Artinya apa? Kita sudah menjadi kebiasaan, saya berikan contoh sebuah provinsi, atau sebuah kota, sebuah kabupaten, misalnya mempunyai anggaran 10 triliun, di provinsi itu, ada katakanlah 30 dinas, dibagi semuanya.

Kalau ada 30 dinas, bagi 30 dinas, semuanya diberi. Dinas itu ada, di bawahnya ada kepala bagian, kepala bagian ada Kepala Bagian A, B, C, D, E, F, G semuanya diberi. Nggak akan, kalau cara-cara seperti ini diterus-teruskan nggak akan. Baunya aja pasti hilang. Duit itu setiap tahun, loh hilang, muncul lagi uang, hilang lagi, karena dibagi-bagi nggak jelas.

Harus diganti programnya apa, fokusnya di mana, dan setiap kota, setiap kabupaten, setiap provinsi mestinya fokusnya berbeda-beda. Kalau bisa itu dilakukan, misalnya, seorang gubernur, banyak gubernur yang baru ini, atau bupati dan walikota baru fokus saja.

Tahun pertama, sudah, saya mau menyelesaikan fisik-fisik jalan, infrastruktur, sudah uang fokuskan di situ, kontrol yang baik pelaksanaannya, cek yang baik, tiap hari, pasti akan jadi. Tahun kedua, saya mau pasar saya, pasar tradisional di Provinsi A, Kabupaten B, Kota C misalnya. Sudah pasar saja, pasar dirampungi selama setahun, rampung. Anggaran konsentrasikan di situ.  Tahun ketiga misalnya, fisik-fisik sekolah, kerja. Pasti jadi, pasti jadi barang, pasti bisa dilihat masyarakat, pasti akan bermanfaat.

Kalau semuanya diecer-diecer, dibagi-bagi rata, baunya tidak akan ada udah, percaya saya, baunya aja nggak ada apalagi rasanya, apalagi fisiknya, nggak ada. Sudah, hentikan hal-hal yang seperti itu.

Syukur ada, follow up dari setiap fisik yang ada. Misalnya, setelah bangun pasar, manajemennya, pada babakan yang selanjutnya diperbaiki. Manajemen pasarnya, manajemen pedagangnya, diajarin, marketing-nya. Ini sudah tahapan yang kedua. Marketing-nya juga, koneksinya antar kota, koneksinya antar pasar dengan pasar juga dihubungkan. Kalau pasar-pasar diubah seperti ini, semua sudah, uangnya banyak sebenarnya APBD itu, tapi fokus konsentrasinya kemana itu, banyak yang nggak jelas.

Ini yang mau saya titip. Yang pertama tadi, perbesar belanja modal, yang kedua fokusnya fokus yang jelas, kemana APBD itu. Dan itu perintahnya dari pimpinan tertinggi. Kalau di provinsi berarti dari gubernur, kalau kota dari wali kotanya, kabupaten dari bupatinya. Ini saya mau, uangnya ini saya mau. Pasti akan jadi, percaya.

Seperti juga, sekarang di Pemerintahan kita juga sama. Saya minta infrastruktur sudah, konsentrasi saya. Rampung nggak tahu, mungkin tiga tahun, ini akan konsentrasi terus infrastruktur. Begitu rampung, pada pasca selanjutnya kita akan bergerak kemana, nanti akan kita sampaikan. Jadi jelas kita. Tidak semua diratain. Nggak akan ada baunya, percaya. Tidak dalam lingkup negara, dalam lingkup provinsi, kabupaten, kota. Percaya.

Yang ketiga, agar provinsi, kota, kabupaten itu, betul-betul membangun, ingin membangun brand-nya itu apa, membangun positioning-nya itu apa, membangun diferensiasinya itu apa. Itu harus ditentukan. Sekali lagi, jangan semua dikerjain. Nggak akan terkenal sebuah kota, sebuah provinsi.

Saya berikan contoh, terakhir saya melihat satu kota yang fokus, bukan fokus, itu sudah super fokus, kalau fokus sih mungkin Kota Olahraga, ada kita, yang misalnya kayak Palembang. Itu Kota Olahraga, tapi bukan itu, ada yang super fokus lagi, Sunnylands, itu ada di Amerika. Bapak/Ibu yang suka golf silakan ke sana, satu kota itu ada 37 padang golf. Itu super fokus. Setiap hari yang namanya jet pribadi, ratusan, pas liburan ribuan datang hanya ngurusi golf. Semua orang, pegolf-pegolf tahu, kalau mau golf itu kemana, ke situ, tahu.

Di kita misalnya, saya berikan contoh, Palembang, sudah fokus di olahraga, dikit-dikit olahraga pengen ditarik sama Pak Gubernur, ke Sumsel, ke Palembang, tapi mestinya akan lebih bagus, kalau lebih fokus, super fokus, lebih fokus lagi, ada subfokusnya apa yang mau dikerjain di Palembang.

Saya dulu ngomong-ngomong dengan Pak Gubernur Papua. Papua sudah lah, urusan olahraga, fokus satu saja, bola. Bikin kalau perlu di Papua itu, kalau perlu 20 stadion, atau 10 stadion, sudah fokus saja di situ. Akan terkenal. Cari, ada kota di Eropa, saya ingat, apa saya lupa, di Jerman, satu kota itu yang namanya tempat untuk sepakbola itu bukan hanya satu, dua, tiga, puluhan banyak. Kenapa tidak itu.

Bima, misalnya NTB. Urusan olahraga itu bukan urusan ekonomi. Urusan olahraga. Di situ ada jago-jago lari, ya konsentrasi saja, buat stadion atletik sebanyak-banyaknya, jogging track yang sebanyak-banyaknya. Kan juga nggak mahal kalau buat itu. Kan jadi brand, positioning-nya langsung, diferensiasinya dengan provinsi yang lain, kota yang lain menjadi jelas. Kalau semua dikerjain, nggak tahu ini mau jadi kota apa, ini mau jadi provinsi apa.

Semakin nanti ke depan, visi ke depan, kota yang super fokus itu yang akan memenangkan pertarungan, persaingan, kompetisi. Akan memenangkan kompetisi, akan memenangkan persaingan. Percaya, kalau fokusnya ada, karena lebih efisien.

Pelabuhan yang konsentrasi pada produk tertentu juga akan memenangkan kompetisi karena dia pasti akan pasti lebih efisien, masalah gampang ditangani, problem-problem juga gampang ditangani karena fokus. Misalnya Pelabuhan Rotterdam, jelas, dia banyak mengurusi hampir 70% lebih dia ngurusi urusan-urusan yang berkaitan dengan minyak, entah yang namanya CPO (Crude Palm Oil), Crude Oil semuanya. Khusus di situ isinya hanya kilang, kilang, kilang, kilang, kilang. Tidak semuanya diurusi, tidak. Itu pelabuhan saja sudah mulai seperti itu, apalagi yang namanya kota, apalagi yang namanya provinsi.

Kita itu banyak Kota-kota Budaya, ini terlalu umum sekali. Kota budaya, apa yang mau kita angkat dari sana. Fokus saja. Misalnya Jogja, kekuatannya apa, misalnya lukis, ya sudah lukis saja. Solo, kekuatannya tari, tari saja sudah. Sehingga betul-betul akan menjadi apa, menjadi brand kota. Kalau Kota Budaya terlalu ini sekali, lebar sekali.

Banyak kota-kota yang menurut saya bisa menuju ke spesifik, spesifik, fokus, super fokus. Misalnya Kota Ikan, kenapa tidak. Kayak Ambon, mana lagi, di Sulut, di Bitung misalnya. Konsentrasinya juga ke sana. Anggaran konsentrasikan ke sana. Cold storage dibangun, dermaganya dibangun yang bagus, TPI-nya dibangun yang bagus, standar-standar internasional, gudangnya dibangun yang bagus khusus untuk ikan. Dikhususkan, khususkan, khususkan. Pasti jadi. Lima tahun pasti akan jadi bagus. Apalagi dua periode, 10 tahun, pasti akan jadi kota itu. Percaya saya. Tapi kalau semuanya dikerjakan, anggarannya diratain ke semuanya. Baunya aja, loh sudah 10 tahun saya menjabat. Diratain, percaya, baunya tidak akan kelihatan.

Saya ingin Bapak/Ibu Gubernur, Bupati, Wali Kota dikenang di kota-nya, dikenang di kabupaten, dikenang di provinsi-nya, karena pernah melakukan sesuatu dalam sebuah bidang yang memang betul-betul sukses.

Saya kira itu, sedikit yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini. Dan dengan ini, saya nyatakan Musrenbangnas 2016 resmi ditutup.

 

Transkrip Pidato Terbaru