Agar Dana Desa Terkawal

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Januari 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 485.216 Kali

Oleh: Siko Dian Sigit Wiyanto, pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI

KadesDesa seakan terlupakan dari pembangunan selama ini. Tidak heran jika banyak penduduk desa mencari pekerjaan di kota besar yang ekonominya jauh lebih berkembang. Akibatnya, kemajuan desa tidak begitu signifikan, bahkan diantaranya cenderung mengalami kemunduran. Hal inilah sebenarnya merupakan cikal bakal berbagai masalah di kota-kota tujuan urbanisasi, mulai dari kemacetan, tata kota yang semrawut, kepadatan penduduk, hingga tingkat kriminalitas yang tinggi. Disparitas pertumbuhan ekonomi antara desa dan kota sangat besar. Penjelasan motivasi penduduk desa melakukan urbanisasi adalah pertumbuhan tenaga kerja di desa tidak menambah output desa. Sebagai gambaran sederhana, penambahan satu tenaga kerja tidak menambah satu kilogram beras.

Dana desa sudah dianggarkan pada tahun anggaran 2015. Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, jumlah alokasi dana desa nasional adalah Rp 9,01 triliun. Sebagian kalangan mengatakan ini merupakan kebijakan politis. Pasalnya pada periode pemerintahan sebelumnya, ada berbagai program dari masyakarat yang berbasis desa seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM). Namun ada beberapa kendala dalam pelaksanaannya.

Dahniar dan Lasimpo (2008) mengatakan bahwa dari sudut pandang Bank Dunia, proyek PPK mampu menjawab masalah yang terjadi di masyarakat, tetapi bertentangan dengan kearifan lokal masing-masing daerah, karena rancang bangun (design) proyek PPK menggeneralisasi masalah kemiskinan di tiap-tiap daerah di Indonesia. Kemudian muncul PNPM mandiri dengan kekhasan masyarakat merancang agenda pembangunan untuk memecahkan masalah mereka sendiri. Sementara menurut worldbank.com, tantangan pelaksanaan PNPM sendiri di beberapa wilayah adalah masih kurang mendapat dukungan dari pemerintah daerah. PNPM juga belum terlalu efektif dalam menjangkau kelompok yang terpinggirkan, dan elite lokal seringkali masih mendominasi pengambilan keputusan.

Berbeda dengan PPK dan PNPM yang masih menggunakan dana pinjaman dari Bank Dunia, dana desa ini bersumber dari rupiah murni. Tahun 2015, dana desa sudah mulai dikucurkan kepada setiap desa. Pasal 72 Undang-Undang tentang Desa menyebutkan bahwa pendapatan desa yang bersumber dari alokasi APBN, atau dana desa bersumber dari belanja pusat dengan mengefektifkan program yang berbasis desa secara merata dan berkeadilan.

Siap atau tidak siap perangkat desa harus mau untuk mengelola dana tersebut dengan transparan dan akuntabel. Karena merupakan program yang baru, perangkat desa harus mempelajari cara menyusun agenda pembangunan mulai dari rencana sumber daya yang dibutuhkan, proses pelaksanaan sampai indikator tercapainya agenda tersebut. Selain itu, mau tidak mau, suka tidak suka, perangkat desa harus mempelajari sistem pembayaran, sistem akuntansi, dan pelaporan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai bentuk akuntabilitas kepada publik. Maka tidak heran, para Menteri Keuangan baik di pemerintahan SBY maupun Jokowi khawatir akan banyak kepala desa masuk penjara jika tidak hati-hati dalam menggunakannya. Kesiapan pemerintah desa dan kapasitas fiskal APBN menjadi beberapa alasan dana desa belum mencapai rata-rata 1 miliar satu tahun seperti yang digembar-gemborkan.

Masalah kedua adalah terkait cost effectiveness. Sampai saat ini tidak ada batasan terkait penggunaan dana desa. Tujuan dari dana desa pada dasarnya adalah mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dengan lebih memeratakan pendapatan. Katalis pertumbuhan ekonomi yang menjadi masalah klasik adalah pengembangan infrastruktur. Namun, dari wawancara penulis dengan kepala desa Bonorowo, Kecamatan Kebumen, dana desa yang akan diterima rencananya akan digunakan untuk pembangunan jalan. Sejauh ini belum ada batasan penggunaan dana desa. Padahal, penggunaan dana desa tidak perlu melulu pada pembangunan infrastruktur dasar. Dana desa bisa digunakan untuk pembuatan unit usaha milik desa seperti membuat produk khas desa. Produk khas desa ini dapat memberikan nilai tambah ekonomi yang tinggi selain menyerap tenaga kerja. Sebagai contoh adalah pembangunan sentra industri kulit. Dana desa jangan sampai digunakan untuk kegiatan yang tidak sesuai dengan arah pembangunan berbasis pedesaan.

Seluruh komponen masyarakat dan pemerintah harus bersinergi agar program pembangunan desa yang menggunakan dana desa ini berhasil. Akademisi dari berbagai perguruan tinggi bisa berperan aktif memberikan pendidikan dan pelatihan pada perangkat desa. Selain itu, para perangkat desa juga harus didorong aktif untuk belajar. Contoh pengalaman, sebuah perguruan tinggi hendak mengadakan pelatihan di sebuah desa untuk menyambut “dana desa”, tapi tidak satu pun perangkat desa yang hadir, padahal tidak dipungut biaya.

Apabila kabupaten/kota mengalami keterbatasan sumber daya manusia, bisa dibantu oleh akademisi. Selain itu Kementerian Desa dan pemerintah kabupaten/kota harus membangun kemitraan dengan organisasi–organisasi masyarakat sipil di tingkat lokal dan nasional yang selama ini sudah berpengalaman melakukan pendampingan dalam memperkuat pemerintahan desa di bidang perencanaan kegiatan, akuntansi dan pelaporan, manajemen risiko, serta pencegahan korupsi.

Pendampingan ini hendaknya dilakukan terus menerus. Bukan hanya di tahun pertama, mengingat perangkat desa dapat silih berganti seperti halnya struktur pemerintahan pada umumnya. Badan Permusyawatan Desa dapat menjadi pengawas pada perencanaan dan pelaksanaan agenda desa yang dibiayai dari dana desa tersebut untuk menciptakan “check and balance”.

Jangan Sampai Bocor

Besarnya dana desa ini sangat berpotensi memberikan peluang untuk korupsi. Proses pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh dana desa ini hendaknya transparan dan mengikuti proses pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Untuk mencegah mark up pengadaan, hendaknya menggunakan standard biaya umum/khusus yang diterbitkan melalui peraturan Menteri Keuangan. Jika tidak ada hendaknya pemerintahan desa mengusulkannya dalam rencana anggaran biaya kegiatan dengan persetujuan Badan Permusyaratan Desa lalu disampaikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk disetujui. Melihat peluang korupsi pada dana desa, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan menyurati seluruh aparat desa di Indonesia untuk mengingatkan agar alokasi dana desa dimanfaatkan dengan benar dan tidak melanggar hukum, apalagi korupsi (hukumonline.com, 11/2014).

Kita tidak bisa dan bahkan tidak boleh pesimis terhadap aparat desa. Dengan pendampingan yang berkesinambungan dan transparan, tujuan dialokasikannya dana desa dapat tercapai. Perlu ditegaskan bahwa dana desa ini bukan hanya urusan elite pemerintah apalagi elite desa, namun urusan kita semua. Dana desa sebenarnya uang dari rakyat (sebagian besar dari pajak) yang kemudian dialokasikan melalui APBN.

Opini Terbaru