Agar Tidak Jadi Parasit, Wapres Minta Kelas Menengah Jadi Masyarakat Produktif
Agar bisa meningkatkan daya saing bangsa, yang merupakan bagian dari indikator kemampuan untuk survive dan maju, Wakil Presiden (Wapres) Boediono meminta kelas menengah Indonesia yang kini tumbuh pesat untuk menjadi masyarakat produktif, bukannya menjadi parasit masyarakat yang mengutamakan hidup konsumtif.
“Membangun daya saing bangsa bukanlah pekerjaan sederhana. Tapi itu harus kita lakukan kalau kita ingin Indonesia berhasil dalam perjalanan sejarahnya,” kata Wakil Presiden Boediono saat memberikan sambutan pada Pelepasan Alumni Magister Manajemen dan Doktor Manajemen Bisnis Tahun 2013/2014 Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian Bogor (IPB) di Hotel Borobudur Jakarta, Sabtu (13/9).
Wapres menyebutkan, untuk membangun Daya Saing Bangsa kita harus memprioritaskan investasi di bidang pendidikan dan kesehatan, Indonesia harus mendahulukan pembangunan sarana dan prasarana produksi. Indonesia harus pula menerapkan kebijakan di bidang pengembangan wirausaha dan menjaga adanya suasana kompetisi usaha yang efektif. Di samping itu, perlu dirumuskan pula kebijakan yang mendorong kelas menengah untuk berperan sebagai kelompok masyarakat yang produktif.
Mengutip pendapat Friedrich List, Wapres mengatakan suatu bangsa akan survive dan maju dalam percaturan global apabila bangsa itu dapat membangun apa yang ia sebut sebagai kemampuan produktif-nya.
Menurut Wapres, sebagai penentu daya saing bangsa, kemampuan produktif ini bukan sekedar kemampuan untuk menghasilkan barang dengan harga yang lebih murah dan kualitas lebih baik dibandingkan negara-negara pesaingnya di pasar global. Lebih dari itu, kemampuan produktif adalah kemampuan total bangsa itu untuk meningkatkan dirinya secara berkesinambungan menuju dan menjadi negara maju dan modern singkatnya, kemampuan bersaing dalam mengejar ketertinggalan, tutur Wapres.
Terkait dengan peningkatkan produktif itu, Wapres Boediono mengingatkan, tidak hanya investasi di bidang pendidikan dan kesehatan serta investasi di bidang sarana dan prasarana produksi harus diprioritaskan, tetapi juga harus dilengkapi dengan program dan kebijakan khusus untuk mendorong terciptanya kelompok wirausaha yang mampu menerjemahkan ide atau penemuan menjadi praktek nyata dalam proses produksi.
Menyinggung fenomena pertumbuhan kelas menengah yang sangat menonjol di banyak negara berkembang termasuk Indonesia, Wapres mengatakan, kelompok ini mempunyai peran yang menentukan terhadap arah kehidupan ekonomi dan bahkan juga arah kehidupan politik suatu bangsa. Dalam sejarah negara-negara yang sekarang maju, kelas menengah tumbuh menjadi kelompok wirausaha yang tangguh. “Mereka menjadi ujung tombak inovasi dan peningkatan produktivitas,” ucap Wapres.
Wapres tidak bisa memastikan, apakah kelas menengah di negara-negara berkembang seperti Indonesia sudah melaksanakan peran sebagaimana dilakukan kelas menengah di negara maju, yang menjadi ujung tombak inovasi dan peningkatan produksi. Namun Wapres meyakini, kelas menengah, dengan income dan kemampuan daya beli yang besar, dapat menjadi kelompok yang produktif seperti peran mereka di masa lalu.
Karena itu, Wapres mendorong kelas menengah Indonesia untuk menyisihkan sebagian income-nya sebagai bagian dari tabungan nasional untuk membiayai investasi yang diperlukan membangun daya saing bangsa, dan berani mengambil risiko sebagai wirausaha untuk berinovasi. Bukan hanya menjadi kelompok konsumtif yang menghabiskan income-nya untuk conspicuous consumption atau konsumsi berlebihan, yang tidak menyumbang apa-apa bagi pembangunan daya saing bangsa.
Mengutip pendapat Thorstein Veblen, Wapres mengingatkan bahwa tanpa adanya patriotisme, berkembangnya kelompok menengah bisa berisiko menjadi kelompok masyarakat parasit yang mengutamakan cara hidup konsumtif, yang ia sebut sebagai the Leisure Class.
Di akhir pidatonya, Wapres mengajak seluruh wisudawan yang telah berhasil menyelesaikan wisudanya untuk tidak sekedar mengejar secarik kertas yang bernama ijazah. Tetapi untuk mendapatkan suatu nilai tambah yang disebut ilmu dari suatu proses yang disebut proses belajar dengan baik. (SetwapresRI/ES)