Akui Produksi di Indonesia Mahal, BPOM Ingatkan Pengedar Obat Palsu Terancam Hukuman 10 Tahun

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 6 Oktober 2016
Kategori: Berita
Dibaca: 31.589 Kali
Dirjen UKM

Dirjen IKP Kementerian Kominfo Rosarita Niken bertukar cinderamata dengan Sestama BPOM Reri Indriani pada Forum Tematik Bakohumas, di Kantor BPOM, Jakarta, Kamis (6/10) pagi. (Foto: Humas/Edi N)

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengakui bahwa 95% bahan baku obat di Indonesia hingga saat ini masih impor. Karena itu, bisa dimaklumi jika harga obat di tanah air saat ini masih tergolong mahal.

Sekretaris Utama BPOM Reri Indriani mengemukakan, bahwa pengawasan yang dilakukan oleh BPOM melalui proses supply and demand. Ia juga menyampaikan bahwa akan ada penguatan BPOM yang khusus menangani respons cepat dan cegah tangkal.

“Program berbasis komunitas menjadi salah satu cara pendekatan dalam sosialisasi obat dan pangan yang aman,” kata Reri dalam sambutannya pada Forum Tematik Badan Koordinasi Hubungan Kemasyarakatan (Bakohumas) dengan tema, “Peduli Obat dan Pangan Aman,” di Gedung C Badan POM, Jakarta, Kamis (6/10) pagi.

Sementara Kepala Pusat Informasi Obat dan Makanan Rita Endang menyampaikan, bahwa tantangan ke depan adalah fokus pengawasan obat. Ia juga menyebutkan,  hingga hari ini tidak ada dasar hukum penjualan obat secara online.

Rita menjelaskan, bahwa obat ilegal itu tidak memiliki izin edar sedangkan obat palsu adalah obat yang dibuat mirip dengan obat yang memiliki izin edar. “UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sudah mengancam pelaku pengedaran obat palsu dengan hukuman 10 tahun penjara,” ujarnya.

Sumber obat palsu, menurut Rita, berasal dari obat kadaluarsa, obat curian, obat donasi dari luar negeri yang dijual ke penjual ilegal, obat sisa rumah sakit yang tidak dikelola dengan benar, obat yang dikumpulkan pemulung, dan kemasan yang dipakai kembali.

“Lihat komposisi obat yakni indikasi dan kontra indikasinya, serta komposisinya,” tambah Rita.

Pengawasan melalui partisipasi masyarakat, menurut Rita, dilakukan dengan aplikasi cek BPOM, IONI (Informasi Obat Nasional Indonesia), dan juga melaporkan secara online melalui situs BPOM.

Air Susu Ibu
Sedangkan Direktur Inspeksi dan Sertifikasi Produk Pangan dan Bahan Berbahaya Tety H. Sihombing menyampaikan bahwa hal terpenting dalam masalah pangan adalah peduli dengan keadaan sekitar.  Ia mengkritisi adanya tren mengenai makanan pendamping air susu Ibu (MP ASI).

“MP ASI ini harus memiliki izin edar dari BPOM karena target konsumen rentan yakni bayi dan anak serta memiliki standar keamanan, gizi, dan label yang ditetapkan,” tambah Tety.

Untuk keamanan, lanjut Tety, setiap produsen harus mendaftarkan makanan hasil produksinya. Ia juga melanjutkan bahwa semua produk yang sudah mendapatkan Nomor Izin Edar dari BPOM sudah melalui proses penilaian dengan standar CODEX (CODEX Alimentarius Commission).

“Hal-hal praktis yang harus diketahui terkait masalah pangan yakni cemaran mikroba, kimia, penyalahgunaan bahan berbahaya, penggunaan bahan pangan tanpa izin edar,” tambah Tety.

Untuk mengetahui keamanan pangan, menurut Tety, masyarakat bisa mengecek kemasan, cek izin edar, dan labelnya.

Sebelumnya Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Rosarita Niken Widiastuti, menyampaikan bahwa di tubuh manusia banyak sekali bahan pengawet yang berasal dari makanan. “Kita sering tidak tahu kalau bahan pewarna yang ada di makanan bukan berasal dari pewarna makanan, melainkan dari pewarna tekstil,” ungkapnya.

Agar semua informasi sampai, menurut Niken, perlu strategi yang komprehensif. “Untuk itu perlu ada kerja sama di antara kementerian/lembaga untuk menyebarkan informasi,” tutur Niken.

Acara forum tematik di BPOM kali ini juga dihadiri oleh pejabat atau pegawai dari Humas Kementerian/Lembaga dan juga TNI/Polri. (EN/ES)

Berita Terbaru