APBN 2016 dan Double Trap Spending
Oleh: Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*)
Pemerintah dan DPR akhirnya menyetujui postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Target pendapatan negara disepakati mengalami penyesuaian dari Rp1.841,1 triliun menjadi Rp1.822,5 triliun, sementara belanja negara juga menyesuaikan menjadi Rp2.095,7 triliun dari awalnya sekitar Rp2.121,3 triliun.
Penyesuaian postur pendapatan negara disebabkan adanya pemangkasan target penerimaan perpajakan dari Rp1.565,8 triliun menjadi Rp1.546,7 triliun, sama halnya dengan target Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diselaraskan menjadi Rp273,8 triliun. Sementara dari sisi belanja negara, alokasi belanja pemerintah pusat menjadi Rp1.325,6 triliun atau dipotong sekitar Rp13,5 triliun dari target awalnya. Dari besaran tersebut, anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) ditetapkan naik menjadi Rp784,1 triliun, sementara anggaran non-K/L mengalami penurunan menjadi Rp541,4 triliun.
Dengan kondisi tersebut, maka besaran defisit anggaran dipatok naik menjadi 2,15% atau setara Rp273,2 triliun dari target awalnya 2,14%. Penyesuaian pendapatan negara dan belanja juga mempengaruhi kesepakatan asumsi makro di antaranya adalah target pertumbuhan ekonomi menjadi 5,3%, kurs Rupiah terhadap dollar AS menjadi Rp13.900, harga minyak mentah Indonesia sebesar 50 dollar AS per barel, lifting minyak bumi sekitar 830 barel per hari sementara lifting gas bumi tetap sebesar 1.155 barel setara minyak per hari. Beberapa anggota DPR kemudian memandang bahwa penyesuaian tersebut membuat APBN 2016 menjadi sedikit lebih realistis dibandingkan postur yang diajukan oleh pemerintah pada Rancangan APBN (RAPBN) 2016 dan Nota Keuangan. Terutama dalam hal penyesuaian besaran target penerimaan perpajakan yang dalam faktanya di 2015, terjadi shortfall yang relatif besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Dari sisi belanja negara ternyata masih menyimpan banyak persoalan. Untuk itulah pemerintah kembali membentuk tim evaluasi penyerapan anggaran yang diketuai oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Sekretariat Kabinet (Setkab). Nantinya Kemenkeu dan Setkab akan berkoordinasi untuk memantau pelaksanaan anggaran di pusat dan daerah. Tim ini nantinya juga berkewajiban memberikan solusi bagi penyerapan program kerja pemerintah. Sejatinya, jikalau menengok sejarah, tim semacam ini juga sudah dijalankan di era pemerintahan sebelumnya. Tim Evaluasi Percepatan Pelaksanaan Anggaran (TEPPA) dibentuk di era SBY yang juga diketuai oleh Kemenkeu, memiliki tugas dan kewenangan yang sama dengan tim bentukan Presiden Jokowi saat ini.
Persoalan penyerapan anggaran APBN ini sepertinya sudah mengakar dan membudaya sehingga berbagai daya dan upaya yang telah dilakukan pemerintah, masih belum optimal. Regulasi, ancaman, reward dan punishement terus saja diberlakukan demi mengurai peliknya persoalan tersebut. Terbaru, khusus untuk perencanaan proyek bidang infrastruktur, pemerintah telah mewajibkan Kementerian/Lembaga (K/L) untuk segera mematangkan perencanaannya demi mempercepat realisasi di 2016. Selain itu, masing-masing K/L juga diwajibkan untuk mengalokasikan anggaran secara khusus dalam DIPA masing-masing nantinya. Dengan demikian, tender atas pekerjaan proyek infrastruktur tersebut dapat dilaksanakan di akhir tahun 2015.
Kondisi ini sekiranya sangat vital untuk dikerjakan, mengingat selama ini persoalan birokrasi administrasi tender sering dianggap menjadi salah satu penghambat utama realisasi anggaran. Padahal, dalam periode kelesuan ekonomi global seperti saat ini, peran pemerintah melalui belanja APBN sangat dibutuhkan dalam menggairahkan iklim investasi swasta. Berdasarkan data Kementerian Pekerjaan Umum-Perumahan Rakyat (Kemen PU-Pera), di tahun 2016 nanti ada sekitar 7.897 paket proyek infrastruktur senilai Rp54,9 triliun yang akan dilelang pada periode September-Desember 2015. Lelang paket pekerjaan tersebut akan meliputi keseluruhan Direktorat Jenderal (Ditjen) yang ada baik Ditjen Sumber Daya Air, Bina Marga, Cipta Karya dan Penyediaan Perumahan.
Hingga 31 Juli 2015 sendiri, realisasi APBN-P 2015 berdasarkan data pemerintah telah mencapai 46,0% dari target sekitar Rp1.984,1 triliun. Besaran tersebut meliputi realisasi belanja pemerintah pusat sebesar Rp524,1 triliun atau 39,7% serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp389,3 triliun atau 58,6%. Dalam realisasi belanja pemerintah pusat sendiri, realisasi belanja pegawai memang relatif masih mendominasi hingga 57,4% dibandingkan realisasi belanja modal pemerintah yang hanya berkisar Rp39,6 triliun atau 14,4%. Realisasi pembayaran kewajiban utang dan belanja subsidi juga relatif besar, masing-masing mencapai 57,4% dan 49,9%.
Double trap spending
Secara umum, kondisi ini tidak berbeda jauh dengan penyerapan periode yang sama tahun sebelumnya. Hingga 30 Juli 2014, realisasi belanja negara mencapai Rp47,3% dari target 1.876,9 triliun, dengan besaran realisasi belanja pemerintah pusat mencapai Rp586,1 triliun atau 45,8% dan transfer ke daerah mencapai Rp300,8 triliun atau 50,4%. Yang memprihatinkan adalah dilihat dari komposisi penyerapan anggaran, realisasi belanja pegawai senantiasa menjadi yang paling mendominasi, sementara realisasi belanja modal justru yang paling lambat. Fakta ini bahkan telah terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Hemat penulis, fenomena ini memunculkan istilah double trap spending dimana pemerintah, khususnya di level pusat, menghadapi permasalahan anggaran baik dari sisi quantity dan quality. Hal ini jelas membutuhkan pemikiran yang kompleks mengingat solusi yang ditawarkan pasti bukan solusi yang umum. Secara teori, suatu negara biasanya akan menghadapi persoalan quantity atau quality spending secara terpisah. Jika quantity spending yang dikejar, biasanya quality spending- nya akan bermasalah dan sebaliknya.
Double trap spending menjadi semakin challenging ketika di daerah menggejala potensi penumpukan anggaran yang makin membesar jika dilihat dari sisi nominalnya. Padahal limpahan dana yang begitu besar seharusnya mampu menjadi modalitas yang memadai bagi upaya akselerasi pembangunan. Tercatat, berdasarkan dokumen RAPBN 2016, besaran Transfer ke Daerah dan Dana Desa yang akan dialokasikan mencapai Rp782,2 miliar atau meningkat hampir Rp118,7 miliar dibandingkan pagu anggaran APBNP 2015. Di dalam komponen Transfer ke Daerah sendiri, pemerintah juga melakukan reformasi di tahun 2016.
Jika sebelumnya mekanisme Transfer ke Daerah terdiri dari Dana Perimbangan (Daper), Dana Otonomi Khusus (Otsus), Dana Keistimewaan DIY, serta Dana Transfer Lainnya, maka di tahun 2016 diubah menjadi Dana Perimbangan (Daper), Dana Insentif Daerah (DID) serta Dana Otsus dan Keistimewaan DIY.
Reformasi juga terjadi dalam komponen Daper itu sendiri. Biasanya, komponen Daper terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Untuk tahun 2016, Daper diubah menjadi Dana Transfer Umum (General Purpose Grant) serta Dana Transfer Khusus (Specific Transfer Grant). Dana Transfer Umum dipecah lagi menjadi DBH dan DAU sementara Dana Transfer Khusus dipecah menjadi DAK Fisik dan Non- Fisik. DAK Fisik rencananya dimanfaatkan dalam bentuk DAK Reguler, DAK Infrastruktur Publik Daerah dan DAK Afirmasi sementara DAK Non-Fisik lebih ditujukan untuk pendanaan BOS, PAUD, Tambahan Gaji Pengajar PNSD, Tunjangan Guru serta pembangunan daerah.
Oleh karena itu, ketika data pemerintah menunjukkan besaran dana Pemda yang masih mengendap di perbankan mencapai Rp273,5 triliun per Juni 2015, banyak pihak kemudian merasa prihatin. Provinsi DKI Jakarta tercatat sebagai daerah dengan dana idle terbesar Rp19,6 triiliun, disusul Provinsi Riau Rp5,6 triliun, Kabupaten Kutai Kertanegara Rp2,5 triliun, Provinsi Kalimantan Timur Rp3,67 triliun serta Provinsi Papua Rp3,5 triliun. Yang lebih memprihatinkan, kondisi ini merupakan akumulasi dari periode sebelumnya. Di tahun 2011, besarannya sudah mencapai Rp79,2 triliun, meningkat menjadi Rp97,7 triliun di 2012, serta Rp113 triliun di tahun 2014.
Artinya, ada mekanisme yang kurang sesuai antara penganggaran di Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah (Pemda). Demi menciptakan ruang fiskal yang besar bagi Pemda, Pemerintah Pusat berusaha sekeras mungkin melakukan berbagai upaya penghematan dan memperbesar defisit anggaran, di sisi lain Pemda justru tidak memanfaatkan hal tersebut sesuai yang diharapkan. Banyak permasalahan yang menjadi penyebab utamanya. Efek gerakan nasional pemberantasan korupsi misalnya, sering dijadikan alibi macetnya kegiatan pembangunan di daerah. Belum lagi persoalan konflik politik di daerah menjelang pelaksanaan Pilkada serentak. Aktivitas pemerintahan sebuah daerah biasanya akan lumpuh ketika pasangan Kepala Daerah kemudian memutuskan untuk berpisah di tengah jalan dan siap beradu di Pilkada mendatang.
Kondisi ini jelas perlu segera diselesaikan. Pemerintah Pusat harus segera memikirkan mekanisme seperti apa yang dapat dijadikan alat reward and punishement bagi daerah sehingga ke depannya mampu berlomba-lomba mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerahnya. Konversi pencairan Transfer ke Daerah secara cash menjadi Surat Berharga Negara (SBN) bagi daerah yang kinerja pengelolaan anggarannya buruk sejatinya hanya menjadi satu instrumen kecil bagi kebijakan yang seharusnya lebih komprehensif.
Selain itu, perlu juga adanya perbaikan pada sistem penganggaran di Pemerintah Pusat sehingga dana akan tersalurkan tepat waktu. Keterlambatan penyaluran dana Pemerintah Pusat ke Daerah, jikalau mau jujur juga turut andil meningkatkan endapan dana Pemda di perbankan. Karenanya, keterbukaan dan saling pengertian untuk memperbaiki permasalahan masing-masing kemudian menjadi kata kunci yang mujarab dalam mengatasi persoalan ini secara bijaksana.
*)Tulisan ini merupakan pendapat pribadi, tidak mencerminkan pendapat institusi dimana penulis bekerja