Arahan Presiden Joko Widodo Pada Rapat Pimpinan TNI Tahun 2015 Di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, 16 Desember 2015
Assalamualaikum wr.wb.
Selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semuanya.
Syalom. Om swastiastu.
Yang saya hormati para Menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kepala Staf AD, AL, dan AU, seluruh perwira tinggi peserta Rapim TNI.
Hadirin, tamu undangan yang berbahagia.
Saat ini kita menghadapi tantangan-tantangan baru paska perang dingin, konstelasi politik ekonomi juga berubah sangat cepat sekali. Dan hal-hal seperti ini kita mau tidak mau harus mengikuti. Gelombang perdagangan bebas, gelombang integrasi ekonomi kawasan juga sama. Sangat cepat sekali. Dan ini nantinya juga akan membawa perubahan-perubahan di setiap negara. Ini juga yang harus kita ketahui dan harus kita waspadai.
Kawasan di Asia Timur yang sekarang pertumbuhannya sangat bagus, akan menjadi sebuah pasar bagi produk-produk dari manapun untuk masuk dan juga akan menjadi sebuah basis produksi bagi negara-negara yang siap.
Kita lihat blok-blok perdagangan juga sudah dimulai, sebentar lagi, dua minggu lagi kita akan masuk ke Asean Economy Community, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang d ilingkungan kita. Kemudian ada yang namanya TPP (Trans Pacific Partnership), dan juga ada EFTA (European Free Trade Association) di EU, Uni Eropa, ada juga RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) yang dikomandoi oleh Cina. Artinya, kita sekarang akan berada di mana, akan ikut yang mana, ini akan menentukan.
Oleh sebab itu, semuanya harus dikalkulasi, semuanya harus dihitung secara detil. Apa yang untung kalau kita ikut sebuah blok, apa yang tidak menguntungkan, hitungannya harus detil.
Waktu bertemu dengan Presiden Barrack Obama, saya sampaikan bahwa Indonesia bermaksud akan ikut TPP. Sekali lagi, “bermaksud akan”. Jadi sebetulnya masih jauh, bukan “akan”. Kalau “akan” sudah agak dekat. Ini “bermaksud akan”. Sampai Inggrisnya kemarin kita pilih “intend to join”, sampai tanya bolak balik ke Bu Menteri (Menlu, red) bukan “will join”. Pemilihan kata-kata saja nanti kalau keliru bisa repot.
Tetapi yang di sini, di dalam juga bingung, kenapa harus masuk TPP? Kenapa tergesa-gesa? Bukan seperti itu, sekali lagi, kata-katanya “bermaksud akan” tetapi dampak yang terjadi, ini adalah sebuah strategi, dampak yang terjadi adalah bahwa ini ada sebuah niat kita untuk ke sana. Tetapi sekali lagi, seperti ini harus dihitung.
Visi ke depan negara, saya kira kita sudah tidak bisa lagi yang namanya menolak, atau berkata tidak. Sebagai contoh Masyarakat Ekonomi Asean, apakah kita bisa sekarang mengatakan “saya belum siap, Indonesia belum siap” apakah bisa? Apakah bisa mengatakan “Indonesia menolak tidak akan bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Asean” bisa? Tidak bisa.
Begitu juga nantinya, menurut saya, EFTA di EU, Uni Eropa, RCEP bloknya Cina, TPP bloknya Amerika. Sehingga sekarang ini yang penting kita bekerja harus detil, berkalkulasi harus detil. Bukan ragu, khawatir, masuk ini kita untung atau tidak. Bukan seperti itu. Harus dihitung, mana yang harus kita perbaiki, sektor mana yang harus diperbaharui, tekad mana yang masih perlu kita dorong. Menurut saya yang paling penting itu. Sudah tidak bisa.
Saya berikan contoh, misalnya kita masuk ke TPP atau ke EFTA yang EU, negara lain sudah gabung. TPP itu Malaysia sudah gabung, Vietnam sudah gabung, Singapura gabung, Brunei gabung, mereka sudah masuk duluan. Kita belum. Artinya apa? Begitu produk kita masuk ke bloknya TPP, dikenai pajak 15-20 persen. Yang sudah masuk blok, nol. Artinya barang kita tidak akan bisa masuk ke sana. Jadi stop produksi di Indonesia bisa akan kejadian. Ini yang harus dihitung. Sama, ke yang EU juga sama akan seperti itu.
Artinya apa? Memang kita harus mempersiapkan di dalam negeri, persiapan-persiapan itu yang semua harus tahu. Apa yang harus kita siapkan. Jangan lagi yang namanya ke depan kita memberikan proteksi, memberikan perlindungan, memberikan subsidi yang berlebihan karena itu memanjakan, karena itu akan menjadikan kita malas dan tidak mampu berkompetisi. Mau tidak mau.
Visi ke depan adalah visi kompetisi, visi persaingan, tidak ada yang lain. Baik SDMnya disiapkan, dalam segala hal, SDMnya disiapkan. Produknya disiapkan, strategi besar negara disiapkan, semuanya harus siap. Sekali lagi, tidak ada kata lain.
Kalau kita masih memakai pola-pola lama, cara-cara lama, tradisi-tradisi lama, tahu-tahu kita bisa kelibas dan hilang. Karena arus barang, arus orang keluar masuk, nantinya kita sudah harus bisa memperkirakan dari sekarang. Di sekitar kita saja, Masyarakat Ekonomi Asean itu saja sudah kepala-kepala negara, perdana menteri, presiden sudah banyak yang khawatir. Di kita sendiri kan saya juga dengar banyak asosiasi-asosiasi yang khawatir.
Perdana menteri, presiden, bisik-bisik ke saya, negara-negara tetangga, “Presiden Jokowi, kita khawatir produk-produk Indonesia akan membanjiri negara kita.” Presiden yang lain menyampaikan, nanti pasar tenaga kerja kita akan direbut oleh Indonesia karena murah dan juga keterampilan dan ketekunannya mereka sudah melihat.
Mereka khawatir, mereka takut. Oleh sebab itu, jangan kita ikut-ikutan takut, jangan kita ikutan-ikutan khawatir. Kita harus percaya diri tetapi kita harus juga memperbaiki. Itu menurut saya yang harus disiapkan. Wong orang lain takut kok kita ikut-ikutan takut. Keliru besar. Wong orang lain khawatir kok kita ikut-ikutan khawatir. Keliru besar.
Inilah yang terus saya sampaikan kepada semuanya. Tidak perlu khawatir tetapi kita harus memperbaiki yang kita kurang. Yang sudah kita siap, apapun, SDM, skill, profesi-profesi yang siap, produk-produk yang siap, langsung serang ke negara yang lain, yang terbuka yang kita bisa masuk. Yang belum, itu yang harus kita perbaiki.
Dan kalau kita lihat sekarang, ini yang berkaitan dengan ekonomi. Artinya sekali lagi, tidak bisa ke depan kita ingin memproteksi, BUMN kita diproteksi, ke depan sudah sangat sulit seperti itu. BUMN disubsidi, ke depan juga sudah sangat tidak bisa seperti itu lagi. Siapa yang efisien, negara yang efisien, siapa negara yang punya competitiveness, punya daya saing, siapa BUMN perusahaan yang punya daya saing, itulah yang akan memenangkan pertarungan. SDM siap, itulah yang akan memenangkan pertarungan. Bukan yang disubsidi, bukan yang diproteksi, bukan yang diberi perlindungan yang berlebihan, bukan.
Dan kalau kita lihat, sekarang konstelasi hubungan kekuatan besar antar negara, terutama di Asia Pasifik. Kita lihat sekarang, rivalitas kekuatan besar, Amerika-Cina, Amerika-Tiongkok, Cina-Jepang, dulu masih kita lihat sebagai kemungkinan-kemungkinan. Tapi sekarang sudah kita lihat sebagai kenyataan. Sudah terjadi rivalitas itu. Dan kita, negara kita Indonesia, berada pada pusaran pertarungan itu. Apa yang harus kita lakukan, apa yang harus kita kerjakan? Menurut saya, ambil keuntungan yang sebesar-besarnya dari rivalitas ini. Manfaatkan rivalitas ini untuk national interest kita, untuk kepentingan nasional kita. Baik dari sisi ekonomi, baik dari sisi politik, ambil keuntungan-keuntungan itu.
Orang pada awal-awal saya setelah dilantik, melihat Indonesia akan saya bawa lebih condong kepada Tiongkok, kepada Cina, semua melihat, dunia melihat itu. Kita di dalam negeri juga melihat itu, karena saya sudah ke Beijing dua kali dan belum pernah ke Amerika sama sekali. Padahal tidak seperti itu. Apapun strategi besar sebuah negara harus kita punyai, apapun strategi itu harus dihitung, mana yang paling menguntungkan untuk national interest kita, kepentingan nasional kita. Tidak ada yang lain.
Kemudian, begitu kita ke Amerika, ketemu Presiden Obama dan menyampaikan kita bermaksud akan bergabung dengan TPP, berubah lagi pandangan-pandangan dunia terhadap Indonesia.
Saya kira yang paling penting hanya satu, kepentingan nasional. Tidak ada yang lain. Dan saya melihat rivalitas persaingan pengaruh negara-negara besar itu ke depan akan semakin meningkat, terutama yang berkaitan dengan South China Sea akan meningkat. Terutama dengan penguasaan akses sumber daya maritim, akses energi, akses pangan, ke depan akan mengarah pada tiga hal itu. Percaya. Sekali lagi, sumber daya maritim, energi, pangan. Dan itu semuanya ada di negara kita dengan jumlah yang sangat besar.
Saya kira kita tahu dua pertiga Indonesia adalah air. Energi kita gudangnya, semua hal yang berkaitan dengan energi kita gudangnya. Semua hal yang berkaitan dengan pangan kalau kita kelola dengan baik, ini juga kita gudangnya. Saya sudah berkali-kali saya sampaikan kepada Menteri Pertanian, konsentrasi penuh menangani, lapangannya diawasi, lapangan dikontrol, agar dalam tiga tahun ke depan betul-betul kita mempunyai kekuatan ini. Karena Indonesia akan dilihat oleh negara lain, dilihat oleh orang lain, kalau kita kekuatan-kekuatan ini bisa kita kuasai secara baik.
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Saya kira sudah beberapa kali saya sampaikan, kenapa maritim? Sejarah menunjukan kita pernah jaya jaman Sriwijaya karena kita menguasai maritim. Sejarah mengatakan kita pernah jaya nusantara jaman Majapahit juga karena penguasaan maritim. Karena, sekali lagi, dua pertiga Indonesia adalah air. Dan kita pada posisi silang Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Inilah kekuatan yang harus betul-betul kita siapkan, baik dalam hal untuk strategi pertahanan, baik terhadap penjagaan sumber daya alam laut kita, baik penyiapan infrastrukturnya, dan terutama untuk kepentingan ekonomi dan kemakmuran rakyat. TNI harus melihat ini, kita semua harus melihat ini.
Oleh sebab itu, kita harus berani melakukan sebuah transformasi, sebuah perubahan. Yang sering saya sampaikan dari konsumsi ke produksi, dari konsumsi ke investasi. Kita tidak boleh lagi menumpukan pertumbuhan ekonomi kita pada konsumsi. Kita harus menyiapkan bangsa kita sebagai sebuah basis produksi. Memang di awal-awal pahit, saya tahu, di awal-awal pahit. Di awal-awal pasti banyak tantangan. Tetapi itu adalah sebuah pilihan yang harus kita ambil untuk masa depan kita.
Kita tidak bisa lagi menjual bahan-bahan mentah kita. Saya sudah sampaikan, tidak! Harus minimal setengah jadi, pada tahap berikut barang jadi. Karena nilai tambahnya kalau setengah jadi itu bisa 30-40 kali lipat. Kalau jadi barang jadi bisa di atas 100 kali lipat nilai tambahnya, added value-nya.
Saya hanya ingin mengingatkan, penduduk kita 250 juta, yang semuanya butuh pekerjaan, butuh income. Kalau kita berjualan bahan mentah, ingat tahun 70-an a kita pernah booming minyak, harusnya pondasi itu bisa kita bangun, booming kayu pernah, gelondongnya habis, kayunya habis, kitanya dapat 5 dolar perkubik, yang terjadi kita sekarang dapat banjirnya. Hati-hati juga dengan minerba, yang sudah sekian tahun ini kita ekspor mentah-mentahan, dalam bentuk raw, harus mulai diproduksi. Ndak bisa. Bisa setengah jadi, dan akan kita paksa lagi pada tahapan berikut barang jadi. Karena nilai tambah ada di situ. Dan juga jangan sampai kita menjadi pasar barang produk-produk negara lain.
Saya titip, TNI, Polri, Bea Cukai, awasi ini jangan sampai produk-produk dari luar masuk secara ilegal. Kita banyak sekali produk-produk seperti itu yang masuk secara ilegal. Ini bisa menghancurkan produksi di dalam negeri. Barang masuk secara legal saja bisa melibas produksi kita, apalagi yang ilegal. Dan kesulitan kita adalah, kita mempunyai ribuan pelabuhan, kecil, sedang, maupun besar, yang itu perlu pengawasan.
Saya ingin mengingatkan agar ini diperintahkan sampai jajaran paling bawah, baik nantinya berupa informasi, baik nantinya dalam bentuk sebuah perintah langsung agar penjagaan terhadap produk-produk ilegal ini betul-betul kita kawal. Apabila kita lengah terhadap hal-hal yang tadi saya sampaikan, kita bisa ditinggal dan tertinggal, dan bisa tergulung oleh perubahan-perubahan yang tadi saya sampaikan.
Sekali lagi, kita tidak perlu takut menghadapi integrasi ekonomi regional maupun global, tetapi kita harus memiliki strategi dalam mengelola hubungan Indonesia dengan negara-negara lain terutama negara-negara besar. Dan kita harus bisa menjaga independensi, menjaga otonomi strategis kita, sehingga ke depan yang namanya fleksibilitas, kelincahan, kecepatan negara dalam menghadapi setiap perubahan dunia itu harus betul-betul kita siapkan. Dan kita harus percaya diri, harus optimis bahwa kita bisa melakukan itu. Tanpa itu juga akan sulit.
Saudara-saudara seluruh peserta Rapim TNI yang saya hormati,
Pada tingkat nasional, tantangan utama yang kita hadapi di dalam negeri adalah kemiskinan. Ketimpangan baik antar wilayah, maupun kesenjangan antara kaya dengan miskin. Ini adalah PR besar kita, Pekerjaan Rumah besar kita. Distribusi kesejahteraan rakyat yang belum merata.
Kemarin kita mendapatkan informasi dari Bank Dunia bahwa gini ratio kita sudah sangat mengkhawatirkan pada angka 0,41. Terakhir 2014 0,41 dan pada tahun ini 2015 semoga tidak terjadi kenaikan. Itu sudah, kalau saya, sudah lampu merah. Satu persen rumah tangga Indonesia menguasai 50 persen lebih sedikit kekayaan bangsa kita. Ini adalah sebuah kesenjangan yang harus sedikit demi sedikit, tahap demi tahap kita selesaikan.
Kita tidak anti kepada orang yang kaya raya, bukan. Kita ingin semua rakyat kita kaya raya. Tetapi kalau ada yang sangat super kaya kemudian ada yang makan saja sulit, inilah sebuah gap yang sangat lebar yang harus mulai kita dekatkan dengan pendekatan-pendekatan, baik untuk anggaran maupun pendekatan-pendekatan di lapangan. Dan kemiskinan, keterbelakangan, kesenjangan sosial kalau diterus-teruskan berbahaya dan akan ada kemungkinan akan menjadi sebuah bahan bakar bagi tumbuhnya konflik sosial, bagi tumbuhnya paham-paham separatisme, radikalisme, ekstremisme, dan yang lebih ke sana lagi, terorisme.
Dan ini juga hampir dialami oleh semua negara. Setiap saya bertemu dalam sebuah konferensi-konferensi internasional dengan kepala negara, prioritas nomor satu selalu semua negara sekarang ini adalah terorisme. Selalu disampaikan ISIS, selalu ke sana.
Oleh sebab itu, kita di dalam negeri juga harus mulai konsentrasi di masalah ini. Kalau kita tidak hati-hati, terorisme, ISIS betul-betul bisa menjadi sebuah ancaman yang nyata. Di lingkungan baik di propinsi, kabupaten, di kota, harus dimulai penyampaian-penyampaian, betapa kalau kita tidak hati-hati, kalau kita tidak deteksi secara dini, kita tidak sampaikan pada masyarakat betapa bahayanya ini kalau nanti menjadi sebuah kenyataan yang terlambat, salah besar kita.
Oleh sebab itu, saya mengingatkan pada pagi hari ini, kita harus hati-hati. Pendataan, pendampingan, dan langkah-langkah yang konkret, langkah-langkah terobosan untuk melakukan deradikalisasi harus terus-menerus dilakukan dengan menggunakan pendekatan-pendekatan keamanan, baik yang hard approach maupun yang soft approach. Pendekatan agama, pendekatan budaya.
Yang terakhir, saya ingin mengingatkan kita semuanya bahwa untuk membangun kekuatan pertahanan, kita harus memenuhi kebutuhan alutsista kita secara terpadu, baik di laut, udara, maupun darat. Karena saat ini hampir semua negara berlomba-lomba untuk memajukan teknologi pertahanannya. Kita harus melakukan upaya membangun postur pertahanan TNI yang kokoh, yang semakin kokoh, alutsista yang semakin lengkap dan semakin modern.
Modernisasi teknologi pertahanan harus dilakukan untuk mengimbangi kemajuan jaman. Kita juga harus mewujudkan kemandirian pertahanan dengan mengurangi ketergantungan kepada impor kebutuhan-kebutuhan pertahanan melalui pengembangan industri pertahanan nasional kita.
Para peserta Rapim yang saya hormati,
Terakhir, saya meminta kepada seluruh pimpinan, seluruh prajurit TNI untuk meningkatkan kapasitas sebagai TNI yang profesional. Sebagai tentara profesional, prajurit TNI harus benar-benar terlatih. Tadi juga sudah disampaikan oleh Panglima TNI, tidak terlibat dalam politik praktis, tetapi terus mendukung kebijakan politik negara, karena politik TNI adalah politik negara. Sehingga TNI harus berpijak pada kebijakan negara, karena semua yang dilakukan negara itu adalah untuk rakyat.
Rantai komando TNI harus ditegakkan. Hanya satu komando, tidak ke mana-mana. Tegak lurus, loyalitas, ketaatan pada perintah presiden sebagai panglima tertinggi TNI.
Terima kasih.
Wassalamualaikum wr.wb.
Om santi santi santi om.
(Humas Setkab)