Aspek Hukum Rencana Tata Ruang dalam Rangka Mewujudkan Aksi Perubahan Iklim

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 8 Agustus 2024
Kategori: Opini
Dibaca: 179 Kali


Oleh: Vito Prihartono *), Bobai M. A. Saragih **), dan B. Rakha Adjie Brata ***)

A. Pendahuluan

Indonesia telah menyadari bahwa perubahan iklim bumi yang diakibatkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer akan memberikan pengaruh merugikan pada lingkungan hidup dan kehidupan manusia.[1] Indonesia juga menyadari peranannya yang strategis dalam struktur iklim geografi dunia karena sebagai negara tropis ekuator yang mempunyai hutan tropis basah terbesar di dunia dan negara kepulauan yang memiliki laut terluas di dunia mempunyai fungsi sebagai penyerap gas rumah kaca yang besar.[2] Dengan mempertimbangkan tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Indonesia telah membuktikan komitmennya terhadap perubahan iklim dengan meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention On Climate Change) pada tahun 1994.[3] Komitmen tersebut berlanjut dengan ratifikasi terhadap perjanjian-perjanjian internasional yang lebih mutakhir, yakni melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Natlons Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) (UU 16/2016).

Indonesia juga menunjukkan komitmen terhadap perubahan iklim melalui peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 23/1997) yang selanjutnya dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009). Secara spesifik, UU 23/1997 mengatur bahwa pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.[4] Sebagai pengganti terhadap UU 23/1997 tersebut, UU 32/2009 dalam hal ini mempunyai kesadaran yang lebih selaras dengan perkembangan zaman, bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup karena itu perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Atas dasar kesadaran tersebut, instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang diatur di dalam batang tubuh UU 32/2009 sudah secara spesifik mempertimbangkan perubahan iklim.[5]

Di sisi lain, Indonesia sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang juga telah menyadari bahwa pengelolaan sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan lingkungan.[6] Dalam perkembangannya, Indonesia senantiasa menyadari pentingnya pemeliharaan lingkungan hidup dalam penataan ruang, bahkan lebih spesifik menyadari pentingnya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan dengan adanya penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagaimana ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU 26/2007).[7]

Penetapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UUCK) yang mengubah UU 26/2007 dan UU 32/2009 juga menunjukkan kesadaran Indonesia bahwa perubahan iklim menjadi salah satu sebab terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang akan berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional.[8] Dalam hal ini, UUCK telah secara spesifik mengadakan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, antara lain dengan menambahkan Pasal 14A yang mengatur bahwa pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang dilakukan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), di mana penyusunan KLHS tersebut dilakukan dalam penyusunan rencana tata ruang.[9] Apabila memperhatikan lebih lanjut ketentuan dalam UU 32/2009, terdapat pengaturan bahwa KLHS memuat kajian antara lain tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.[10] Dengan demikian, dalam konteks tersebut penyusunan rencana tata ruang wajib memperhatikan analisis tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim yang termuat dalam KLHS.

Tulisan ini akan menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perubahan iklim dan penataan ruang, serta kaitan antara kedua hal tersebut dari segi hukum. Diharapkan bahwa informasi ini dapat memberikan kejelasan berkenaan dengan implementasi tindak lanjut terhadap perubahan iklim melalui rezim hukum Indonesia, khususnya rezim hukum penataan ruang.

B. Pengaturan Mengenai Perubahan Iklim Dalam Hukum Indonesia

Pembahasan mengenai perubahan iklim dalam hukum Indonesia bermula dari adanya Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change/UNFCCC) yang disusun pada tanggal 9 Mei 1992 dan berlaku pada tanggal 21 Maret 1994.[11] Indonesia menandatangani perjanjian internasional tersebut pada tanggal 5 Juni 1992 dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) pada tanggal 1 Agustus 1994.[12] Ratifikasi tersebut dilanjutkan dengan pendaftaran ratifikasi ke PBB pada tanggal 23 Agustus 1994, serta keberlakuan secara efektif untuk Indonesia ditentukan yakni pada tanggal 21 November 1994.[13]

Tujuan dari adanya UNFCCC adalah untuk mencapai, stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada level yang akan mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya terhadap sistem iklim. Level tersebut harus dicapai dalam jangka waktu yang cukup untuk memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alami terhadap perubahan iklim, memastikan bahwa produksi pangan tidak terancam, serta memungkinkan pertumbuhan ekonomi dapat berjalan secara berkelanjutan.[14]

Salah satu komitmen yang diperjanjikan dalam UNFCCC serta berdampak pada pengambilan kebijakan oleh pemerintah adalah bahwa pihak dalam konvensi tersebut akan mempertimbangkan perubahan iklim, sejauh memungkinkan, dalam kebijakan dan tindakan di bidang sosial, ekonomi dan lingkungan terkait, serta menggunakan metode yang tepat, misalnya penilaian dampak, yang dirumuskan dan ditentukan secara nasional, dengan tujuan untuk meminimalkan dampak buruk terhadap perekonomian, kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan, sehubungan dengan proyek atau tindakan yang dilakukan pihak tersebut untuk melakukan mitigasi atau adaptasi terhadap perubahan iklim.[15]

Meski demikian, UNFCCC belum bersifat operasional sehingga dipandang perlu untuk menyusun instrumen hukum internasional baru sebagai pelaksanaannya yaitu Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change/Protokol Kyoto) yang disusun pada tanggal 11 Desember 1997 dan berlaku pada tanggal 16 Februari 2005.[16] Indonesia menandatangani perjanjian internasional tersebut pada tanggal 13 Juli 1998 dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim) pada tanggal 28 Juli 2004.[17] Ratifikasi tersebut dilanjutkan dengan pendaftaran ratifikasi ke PBB pada tanggal 3 Desember 2004, serta keberlakuan secara efektif untuk Indonesia ditentukan yakni pada tanggal 3 Mei 2005.[18]

Protokol Kyoto dalam hal ini hanya membebankan seluruh kewajiban sebagai ketentuan yang bersifat mengikat secara hukum kepada negara-negara maju yang termuat dalam Lampiran I dan Lampiran II UNFCCC, di mana Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Negara-negara yang tidak termasuk dalam Lampiran I dan Lampiran II UNFCCC namun memutuskan untuk menjadi pihak dalam Protokol Kyoto, hanya merasakan manfaat dari usaha-usaha terkait perubahan iklim yang dilakukan oleh negara-negara yang termuat dalam Lampiran I dan Lampiran II UNFCCC.[19]

Dalam rangka memperbaharui kesepakatan jangka panjang bagi operasionalisasi UNFCCC dengan cara yang lebih berhati-hati terhadap pembedaan antara negara maju dan negara berkembang, para pihak dalam UNFCCC sepakat untuk membuat Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement to the United Natlons Framework Convention on Climate Change/Persetujuan Paris) sebagai pengganti Protokol Kyoto. Persetujuan Paris disusun pada tanggal 12 Desember 2015 dan berlaku pada tanggal 4 November 2016.[20] Indonesia menandatangani perjanjian internasional tersebut pada tanggal 22 April 2016 dan mengundangkan Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Natlons Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim) pada tanggal 25 Oktober 2016.[21] Ratifikasi tersebut dilanjutkan dengan pendaftaran ratifikasi ke PBB pada tanggal 31 Oktober 2016, serta keberlakuan secara efektif untuk Indonesia ditentukan yakni pada tanggal 30 November 2016.[22]

Secara umum, Persetujuan Paris mengatur hal-hal sebagai berikut:

1. Tujuan spesifik dalam Persetujuan Paris adalah untuk menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2.C di atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5″C di atas suhu di masa pra-industrialisasi.[23]

2. Dalam rangka mencapai tujuan di atas, Para Pihak berketetapan untuk mencapai titik puncak emisi gas rumah kaca global secepat mungkin, mengakui bahwa pencapaian titik puncak bagi para pihak dari negara berkembang akan membutuhkan waktu lebih lama, dan segera setelah itu semua Pihak akan melakukan upaya penurunan emisi gas rumah kaca secara cepat sesuai dengan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia, sehingga mencapai keseimbangan antara emisi dari sumber antropogenik dan serapan dari rosot gas rumah kaca (net zero emission) pada pertengahan kedua abad ini.[24]

3. Setiap negara harus menyiapkan, menyampaikan dan mempertahankan kontribusi yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC) yang ingin dicapai serta menyampaikannya setiap lima tahun kepada Sekretariat UNFCCC.[25]

Sebagai pelaksanaan secara khusus terhadap UNFCCC dan Paris Agreement, Indonesia telah menerbitkan beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres 98/2021)

Perpres 98/2021 dimaksudkan sebagai dasar penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan sebagai pedoman pengurangan emisi gas rumah kaca melalui kebijakan, langkah, serta kegiatan untuk pencapaian target NDC dan mengendalikan emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional.[26]

Perpres 98/2021 menetapkan bahwa target NDC meliputi:[27]
a. menetapkan kebijakan dan langkah serta implementasi kegiatan sesuai komitmen Pemerintah berupa pengurangan emisi gas rumah kaca 29% (dua puluh sembilan persen) sampai dengan 41% (empat puluh satu persen) pada tahun 2030 dibandingkan dengan baseline emisi gas rumah kaca; dan
b. membangun ketahanan nasional, kewilayahan, dan masyarakat dari berbagai risiko atas kondisi perubahan iklim atau ketahanan iklim.

Baseline emisi gas rumah kaca pada tahun 2030 dalam Perpres 98/2021 adalah sebesar 2.869 (dua ribu delapan ratus enam puluh sembilan) juta ton CO2e. Pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% (dua puluh sembilan persen) merupakan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 834 (delapan ratus tiga puluh empat) juta ton CO2e apabila dilakukan dengan usaha sendiri. Sementara itu, pengurangan emisi gas rumah kaca sampai dengan 41% (empat puluh satu persen) merupakan target pengurangan emisi gas rumah kaca sampai dengan 1.185 (seribu seratus delapan puluh lima) juta ton CO2e apabila dilakukan dengan kerjasama internasional.[28]

Perpres 98/2021 juga mengatur penyelenggaraan nilai ekonomi karbon yang dilakukan melalui mekanisme:[29]
a. perdagangan karbon;
b. pembayaran berbasis kinerja;
c. pungutan atas karbon; dan/atau
d. mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

2. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon (Perpres 14/2024).

Perpres 14/2024 mengatur mengenai penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage) yang merupakan kegiatan usaha yang mencakup penangkapan karbon dan/atau pengangkutan karbon tertangkap, penginjeksian dan penyimpanan karbon ke zona target injeksi dengan aman dan permanen sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik.[30] Dalam hal ini, Perpres 14/2024 mengatur mengenai kegiatan tersebut secara khusus di bidang hukum pertambangan.[31]

Perpres 14/2024 lebih lanjut mengatur mengenai penyelenggaraan penangkapan dan penyimpanan karbon, di mana menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi melakukan koordinasi dengan, antara lain, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang, yakni dalam rangka:
a. penyelenggaraan penangkapan dan penyimpanan karbon yang mengakibatkan perubahan luas wilayah kerja pertambangan semula;[32]
b. pemberian persetujuan perluasan wilayah kerja pertambangan, dalam hal zona target injeksi pada wilayah kerja pertambangan meluas ke luar wilayah kerja pertambangan bersangkutan dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan karbon, di mana kontraktor melakukan pengusulan perluasan wilayah kerja kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang minyak dan gas bumi;[33] dan
c. penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.[34]

C. Hubungan Perubahan Iklim dan Penataan Ruang dalam Hukum Indonesia

Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mencerminkan hubungan antara perubahan iklim dan penataan ruang adalah sebagai berikut:

1. Peraturan Perundang-undangan di Bidang Lingkungan Hidup

a. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Hidup Strategis (PP 46/2016)
Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, KLHS memuat analisis tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim yang harus diperhatikan dalam penyusunan rencana tata ruang. PP 46/2016 lebih lanjut menegaskan bahwa KLHS wajib dilaksanakan ke dalam penyusunan atau evaluasi rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya (Pasal 2 ayat (2) huruf a PP 46/2016).[35]

Selanjutnya, terdapat pengaturan bahwa hasil kegiatan identifikasi dan perumusan isu Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi bagian dalam tahapan pengkajian pengaruh Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kondisi Lingkungan Hidup, memuat daftar yang paling sedikit berkaitan dengan beberapa hal, antara lain kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim (Pasal 9 ayat (2) huruf g PP 46/2016).[36] Dalam kegiatan berikutnya yaitu analisis pengaruh materi muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kondisi Lingkungan Hidup, hasil analisis paling sedikit memuat kajian tentang tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim (Pasal 13 ayat (1) huruf g PP 46/2016).[37]

Dalam hal ini, “tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim” adalah uraian bagaimana perubahan iklim dirasakan dan dikelola dampaknya oleh masyarakat. Tingkat kerentanan merupakan ukuran kerapuhan Masyarakat dalam menghadapi dampak. Kapasitas adaptasi adalah ukuran kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi dampak (Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf e PP 46/2016).[38]

b. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (Permen LHK 69/2017)
Sebagai pelaksanaan terhadap PP 46/2016, Permen LHK 69/2017 mengatur pertama-tama bahwa perubahan iklim menjadi kriteria dalam pengujian muatan Kebijakan, Rencana, dan/atau Program terhadap kriteria dampak dan/atau risiko lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan.[39]

Selanjutnya berkaitan dengan analisis pengaruh, analisis terhadap tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim dilakukan dengan cara:[40]
i. Mengkaji kerentanan dan risiko perubahan iklim sesuai ketentuan yang berlaku.
ii. Menyusun pilihan adaptasi perubahan iklim.
iii. Menentukan prioritas pilihan adaptasi perubahan iklim.

c. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim (Permen LHK 33/2016)

Analisis tingkat kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim sebagaimana dimaksud dalam Permen LHK 69/2017, dilaksanakan melalui penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim sebagaimana diatur dalam Permen LHK 33/2016, mengingat bahwa aksi adaptasi perubahan iklim menjadi bagian dari KLHS.[41] Tatacara penyusunan aksi adaptasi perubahan iklim tersebut adalah sebagai berikut:

i. Identifikasi target cakupan wilayah dan/atau sektor spesifik dan masalah dampak perubahan iklim

Identifikasi target cakupan wilayah dan/atau sektor spesifik dan masalah dampak perubahan iklim dilakukan melalui:[42]

  1. pemetaan wilayah dan/atau sektor terdampak perubahan iklim;
  2. pengumpulan data dan informasi terkait dampak kejadian iklim; dan
  3. pendataan kerugian dan manfaat akibat perubahan iklim.

Cara identifikasi target dilakukan dengan:[43]

  1. pengumpulan data dan informasi yang didapat langsung dari wilayah dan/atau sektor spesifik; dan/atau
  2. kajian literatur yang dapat ditelusuri.

Hasil identifikasi target tersebut dibuat dalam laporan lingkup kajian yang menjadi dasar/pedoman penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim.[44]

ii. Penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim

Penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim dilakukan untuk memetakan bahaya perubahan iklim terhadap faktor biofisik, sosial, dan ekonomi, yang berpengaruh terhadap resiliensi wilayah dan/atau sektor spesifik, yang dilakukan antara lain melalui:[45]

  1. analisis kondisi iklim dan kejadian iklim ekstrim historis di wilayah kajian;
  2. penyusunan skenario iklim periode masa depan;
  3. pengkajian dampak kejadian iklim historis yang mengancam fungsi ekologis;
  4. analisis historis dan proyeksi kerentanan dan risiko wilayah dan/atau sektor spesifik; atau
  5. analisis kapasitas kelembagaan dalam mengendalikan dampak perubahan iklim.

Hasil penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim tersebut dibuat dalam dokumen kajian kerentanan dan risiko iklim dan dijadikan dasar/pedoman penyusunan pilihan aksi adaptasi perubahan iklim. Dalam hal ini, penyusunan kajian kerentanan dan risiko iklim dilakukan menggunakan metode yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.[46]

iii. Penyusunan pilihan aksi adaptasi perubahan iklim

Penyusunan pilihan aksi adaptasi perubahan iklim dilakukan dengan cara sebagai berikut:[47]

  1. penelusuran studi pustaka pilihan aksi adaptasi perubahan iklim untuk wilayah dan/atau sektor spesifik terkait perubahan iklim yang dapat ditelaah dan ditelusuri; dan
  2. penelusuran pilihan aksi adaptasi perubahan iklim yang telah dilakukan.

Hasil penyusunan pilihan aksi adaptasi perubahan iklim tersebut disusun dalam bentuk daftar pilihan aksi adaptasi perubahan iklim dan dijadikan dasar/pedoman dalam penetapan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim.[48]

iv. Penetapan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim

Penetapan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim dilakukan oleh pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan antara lain:[49]

  1. cakupan wilayah dan/atau sektor terkait dengan risiko iklim;
  2. luasan wilayah dan/atau sektor yang terdampak oleh perubahan iklim;
  3. sumber daya yang dibutuhkan;
  4. potensi kendala dalam melaksanakan aksi adaptasi perubahan iklim;
  5. manfaat dari pelaksanaan aksi adaptasi perubahan iklim;
  6. periode manfaat aksi adaptasi perubahan iklim;
  7. perolehan manfaat investasi aksi adaptasi perubahan iklim; atau
  8. kapasitas kelembagaan dalam melaksanakan aksi adaptasi perubahan iklim.

Hasil penetapan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim disusun dalam bentuk daftar prioritas aksi adaptasi perubahan iklim dan diintegrasikan dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya.[50]

v. Pengintegrasian aksi adaptasi perubahan iklim

Pengintegrasian aksi adaptasi perubahan iklim dilakukan dengan menilai kesesuaian antara prioritas aksi adaptasi perubahan iklim dengan kebijakan, rencana, dan/atau program. Jika hasil penilaian kesesuaian menyatakan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim sesuai dengan kebijakan, rencana, dan/atau program, aksi adaptasi perubahan iklim dapat langsung dilaksanakan pada periode pembangunan berjalan. Sementara itu, jika hasil penilaian kesesuaian menyatakan prioritas aksi adaptasi perubahan iklim tidak sesuai dengan kebijakan, rencana, dan/atau program, aksi adaptasi perubahan iklim digunakan sebagai bahan penyusunan dan/atau evaluasi kebijakan, rencana, dan/atau program pada periode pembangunan berjalan dan/atau diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan periode selanjutnya.[51]

2. Peraturan Perundang-undangan di Bidang Penataan Ruang

 i. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP 21/2021)

PP 21/2021 mengatur bahwa analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang terintegrasi dengan KLHS antara lain dapat dilakukan terhadap tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim[52] serta dilakukan dalam tahapan pengolahan data dan analisis dalam proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,[53] rencana tata ruang wilayah provinsi,[54] rencana tata ruang wilayah kabupaten,[55] rencana tata ruang wilayah kota,[56] rencana tata ruang pulau/kepulauan,[57] rencana tata ruang kawasan strategis nasional,[58] rencana detail tata ruang kawasan perbatasan negara,[59] dan rencana detail tata ruang.[60]

ii. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang (Permen ATR/BPN 5/2022)

Permen ATR/BPN 5/2022 mengatur bahwa tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi salah satu data yang mendukung kebutuhan kajian enam muatan KLHS yang dikumpulkan dalam tahapan pengumpulan data dan informasi dalam proses penyusunan rencana tata ruang.[61]

Selanjutnya, dalam tahapan pengolahan data dan analisis dalam proses penyusunan rencana tata ruang, dilakukan koordinasi dan penyelarasan isu strategis wilayah terhadap penentuan isu Pembangunan Berkelanjutan yang telah dikonsultasikan dengan masyarakat dan pemangku kepentingan dan penyusunan analisis yang mempertimbangkan antara lain tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim.[62]

Selanjutnya, dalam tahapan perumusan konsepsi rencana tata ruang dalam proses penyusunan rencana tata ruang, dilakukan pengintegrasian materi muatan KLHS ke dalam rencana tata ruang yang meliputi identifikasi materi muatan rencana tata ruang yang berpotensi menimbulkan pengaruh terhadap kondisi lingkungan hidup dan analisis pengaruh materi muatan rencana tata ruang terhadap kondisi lingkungan hidup dengan memperhatikan isu strategis pembangunan berkelanjutan sesuai ketentuan PP 46/2016 dan Permen LHK 69/2017.[63]

D. Analisis dan Kesimpulan

Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, dapat terlihat bahwa aspek perubahan iklim terintegrasi dalam materi teknis penyusunan rencana tata ruang melalui KLHS. Dengan adanya kewajiban pengintegrasian KLHS ke dalam rencana tata ruang, maka rencana tata ruang, dari tingkat Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional sampai dengan rencana detail tata ruang, harus sudah mempertimbangkan perubahan iklim di dalam setiap pengaturannya, yakni sejak ketentuan umum sampai dengan ketentuan penutupnya. Hal-hal yang secara langsung mencerminkan substansi perencanaan tata ruang dalam rencana tata ruang yakni tujuan kebijakan dan strategi, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, indikasi program, dan ketentuan tentang zonasi, wajib mencerminkan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang telah dianalisis secara mendalam berdasarkan Permen LHK 33/2016. Hukum Indonesia telah menjamin bahwa perubahan iklim akan terintegrasi dalam setiap kebijakan pemerintah yang relevan, termasuk di bidang penataan ruang.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang sudah tersedia saat ini kiranya dapat dilaksanakan secara konsisten dan tegas guna pencapaian kualitas substansi rencana tata ruang yang lebih baik. Kedisiplinan pemerintah dalam menaati peraturan perundang-undangan, khususnya di bidang penataan ruang dalam hal mengintegrasikan KLHS ke dalam rencana tata ruang, menjadi kunci penting dalam pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim guna mencapai net zero emission sebagaimana diperjanjikan dalam Persetujuan Paris.

Referensi:
[1] Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), UU No. 6 Tahun 1994, LN No. 42 Tahun 1994, TLN No. 3557, Konsiderans Menimbang.
[2] Ibid.
[3] Ibid, Penjelasan Umum.
[4] Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 23 Tahun 1997, LN No. 68 Tahun 1997, TLN No. 3699, Pasal 9 ayat (3).
[5] Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, TLN No. 5059, Konsiderans Menimbang.
[6] Indonesia, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, UU No. 24 Tahun 1992, Konsiderans Menimbang.
[7] Indonesia, Undang-Undang tentang Penataan Ruang, UU No. 26 Tahun 2007, LN No. 68 Tahun 2007, TLN No. 4725, Konsiderans Menimbang.
[8] Indonesia, Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, UU No. 6 Tahun 2023, LN No. 41 Tahun 2023, TLN No. 6856, Konsiderans Menimbang.
[9] Ibid, Pasal 17 angka 8.
[10] Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 16 huruf e.
[11] Perserikatan Bangsa-Bangsa, “United Nations Framework Convention on Climate Change,” https://treaties.un.org/Pages/showDetails.aspx?objid=08000002800431ce&clang=_en, diakses 22 Maret 2024.
[12] Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), Pasal 2.
[13] Perserikatan Bangsa-Bangsa, “United Nations Framework Convention on Climate Change,” https://treaties.un.org/Pages/showDetails.aspx?objid=08000002800431ce&clang=_en, diakses 22 Maret 2024.
[14] Perserikatan Bangsa-Bangsa, Framework Convention on Climate Change, UNTS 1771 (1992), hlm. 107, Pasal. 2.
[15] Ibid, Pasal 4 ayat 1 huruf f.
[16] Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change,” https://treaties.un.org/Pages/showDetails.aspx?objid=0800000280021a16&clang=_en, diakses 22 Maret 2024.
[17] Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim), LN No. 72 Tahun 2004, TLN No. 4403, Pasal 2.
[18] Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change,” https://treaties.un.org/Pages/showDetails.aspx?objid=0800000280021a16&clang=_en, diakses 22 Maret 2024.
[19] Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, UNTS 2303 (2005), hlm. 162.
[20] Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Paris Agreement,” https://treaties.un.org/Pages/showDetails.aspx?objid=0800000280458f37&clang=_en, diakses 22 Maret 2024.
[21] Indonesia, Undang-Undang tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Natlons Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), LN No. 204 Tahun 2016, TLN No. 5939, Pasal 2.
[22] Perserikatan Bangsa-Bangsa, “Paris Agreement,” https://treaties.un.org/Pages/showDetails.aspx?objid=0800000280458f37&clang=_en, diakses 22 Maret 2024.
[23] Perserikatan Bangsa-Bangsa, Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change, UNTS 3156 (2016), hlm. 79, Pasal 2 ayat 1 huruf (a).
[24] Ibid, Pasal 4 ayat 1.
[25] Ibid, Pasal 4.
[26] Indonesia, Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional, Perpres No. 98 Tahun 2021, Pasal 2 ayat (1).
[27] Ibid, Pasal 2 ayat (3).
[28] Ibid, Pasal 3.
[29] Ibid, Pasal 46.
[30] Indonesia, Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, Perpres No. 14 Tahun 2024, Pasal 1 angka 12.
[31] Lihat ibid, Pasal 1 angka 1.
[32] Ibid, Pasal 5 ayat (3) huruf a.
[33] Ibid, Pasal 8 ayat (7) huruf a.
[34] Ibid, Pasal 11 ayat (2) huruf b.
[35] Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, PP No. 46 Tahun 2016, LN No. 228 Tahun 2016, TLN No. 5941, Pasal 2 ayat (2) huruf a.
[36] Ibid, Pasal 9 ayat (2) huruf g.
[37] Ibid, Pasal 13 ayat (1) huruf e.
[38] Ibid, Penjelasan Pasal 13 ayat (1) huruf e.
[39] Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Nomor P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 Tahun 2017, Pasal 8 ayat (2) huruf a.
[40] Ibid, Lampiran IV.
[41] Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim, Nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/ 2016 Tahun 2016, Pasal 12 huruf b.
[42] Ibid, Pasal 5 ayat (1).
[43] Ibid, Pasal 5 ayat (2).
[44] Ibid, Pasal 5 ayat (3).
[45] Ibid, Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2).
[46] Ibid, Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4).
[47] Ibid, Pasal 8 ayat (1).
[48] Ibid, Pasal 8 ayat (2).
[49] Ibid, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2).
[50] Ibid, Pasal 9 ayat (3).
[51] Ibid, Pasal 10.
[52] Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, PP No. 21 Tahun 2021, LN No. 31 Tahun 2021, TLN No. 6633, Penjelasan Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 2, Pasal 16 ayat (2) huruf c angka 2, Pasal 19 ayat (2) huruf c angka 2, Pasal 23 ayat (2) huruf c angka 2, Pasal 27 ayat (2) huruf c angka 2, 36 ayat (2) huruf c angka 2, Pasal 52 ayat (2) huruf c angka 1, dan Pasal 57 ayat (2) huruf c angka 1.
[53] Ibid, Pasal 12 ayat (2) huruf c angka 2.
[54] Ibid, Pasal 16 ayat (2) huruf c angka 2.
[55] Ibid, Pasal 19 ayat (2) huruf c angka 2.
[56] Ibid, Pasal 23 ayat (2) huruf c angka 2.
[57] Ibid, Pasal 27 ayat (2) huruf c angka 2.
[58] Ibid, Pasal 36 ayat (2) huruf c angka 2.
[59] Ibid, Pasal 52 ayat (2) huruf c angka 1.
[60] Ibid, Pasal 57 ayat (2) huruf c angka 1.
[61] Indonesia, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Peraturan Menteri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional tentang Tata Cara Pengintegrasian Kajian Lingkungan Hidup Strategis Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang, Nomor 5 Tahun 2022, Lampiran I.
[62] Ibid, Pasal 9.
[63] Ibid, Lampiran I.

 

*) Kepala Bidang Pertanahan dan Tata Ruang, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Usaha dan Wilayah, Kedeputian Perekonomian
**) Kepala Subbidang Tata Ruang, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Usaha dan Wilayah, Kedeputian Perekonomian
***) Analis Hukum pada Subbidang Tata Ruang, Asisten Deputi Bidang Pengembangan Usaha dan Wilayah, Kedeputian Perekonomian

Opini Terbaru