Bijak Merespon Para Penolak Pajak

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 11 Maret 2015
Kategori: Opini
Dibaca: 19.552 Kali

Bayar-Pajak-750x422Oleh: Budi Sulistyo, pegawai Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan RI*)

Di tengah menjulangnya target pajak, strategi Direktorat Jenderal Pajak untuk meraih target menuai keberatan dari berbagai pihak. Tidak hanya wacana kebijakan yang akan disusun, beberapa aturan perpajakan yang telah ada pun tidak luput dari usulan penghapusan atau penundaan. Berbagai alasan dilontarkan untuk menghapus kebijakan fiskal tersebut, antara lain pengenaan pajak akan merugikan masyarakat tertentu, mengurangi pertumbuhan ekonomi, dan menambah pengangguran.

Secara umum, pihak-pihak yang menyatakan keberatan adalah pelaku usaha, akademisi, dan regulator di sektor terkait. Pelaku usaha maupun asosiasi pengusaha yang terkena imbas secara langsung tentu tidak menginginkan usahanya dikenai beban tambahan, yaitu pajak. Regulator usaha terkait juga tidak ingin sektor yang diawasi menjadi terhambat pertumbuhannya karena dikenakan pajak. Adapun akademisi lebih melihat secara helicopter view, yaitu pengaruh pajak terhadap perekonomian. Meskipun tidak selalu menolak wacana kebijakan pajak, adanya sikap kontra dari akademisi seolah menguatkan bahwa wacana kebijakan maupun sebuah aturan pajak layak untuk ditiadakan atau ditangguhkan.

Pro Kontra Wacana Aturan

Sebelum diketok palu oleh DPR, kenaikan target pajak menjadi sebesar Rp1.484,6 triliun mendapat respon dingin dari pelaku usaha. Pada awal Januari lalu, tiga asosiasi usaha yaitu Asosiasi Pengusaha Indonesia, Indonesia National Shipowners Assosiation (INSA) dan Dewan Pengurus Pusat Real Estate Indonesia (REI) menilai meroketnya target pajak akan mempengaruhi industri mereka. Kenaikan target pajak sebesar 40,3% tidak logis di tengah belum membaiknya perekonomian dunia dan akan menyebabkan kenaikan 45% pada pajak yang ditanggung konsumen yang pada akhirnya akan mengakibatkan perlambatan ekonomi, bukan pertumbuhan ekonomi.

Keresahan asosiasi pengusaha semakin terlihat ketika Pemerintah mewacanakan akan mengubah Peraturan Menteri Keuangan No 416 tahun 1996 yang mengenakan PPh final sebesar 1,2% menjadi PPh non final. Pajak tersebut akan diterapkan efektif pada Maret 2015 melalui pajak penghasilan (PPh) non final. Pengenaan PPh non final tersebut akan menggenjot penerimaan pajak dari sektor angkutan laut menjadi sebesar Rp1 triliun dari realisasi 2014 sebesar Rp80,19 miliar. Suara pengusaha juga disampaikan pada waktu pemerintah mewacanakan perubahan tarif PPnBM barang mewah, pajak properti, sampai dengan wacana PPnBM batu akik.

Protes Aturan yang Ada

Tidak hanya wacana aturan yang akan ditetapkan, kebijakan yang telah digulirkan oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak pun tidak luput dari keberatan dari berbagai pihak. Pajak Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang diberlakukan berdasarkan PP Nomor 46 tahun 2013 pendapat protes dari pelaku industri. Pelaku UKM keberatan dengan pungutan PPh final 1 persen dari omset usaha, dan mengusulkan diambil dari keuntungan bersih. Wirausaha pemula meminta penangguhan aturan pemotongan pajak final karena masih rentan rugi di tengah ketatnya persaingan dunia usaha.

Terakhir, Ditjen Pajak akhirnya menangguhkan Perdirjen Nomor PER-01/PJ/2015 tentang pemotongan pajak deposito yang baru diterbitkan 26 Januari lalu. Selain karena belum siapnya sistem IT, terdapat desakan dari asosiasi bank dan regulator perbankan untuk meniadakan aturan tersebut. Praktisi perbankan khawatir diwajibkannya perbankan menyerahkan rincian bukti potong Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan deposito dan tabungan nasabah akan menyebabkan larinya nasabah Indonesia ke luar negeri. Adapun Otoritas Jasa Keuangan mengingatkan pemberlakuan aturan tersebut akan menabrak aturan kerahasian perbankan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan.

Perlu Langkah Bijak

Direktorat Jenderal Pajak memerlukan langkah bijaksana untuk menanggapi keberatan sejumlah kalangan. Dalam menghadapi para pihak yang keberatan, tentu saja tidak ada satu jurus pamungkas untuk menghadapinya. Direktorat Jenderal Pajak telah membuat berbagai strategi untuk meningkatkan penerimaan pajak yang perlu disosialisasikan dengan baik. Dalam sosialisasi ke masyarakat, perlu ditekankan bahwa kebijakan fiskal dilakukan atas dasar kajian-kajian yang dilakukan baik oleh para peneliti Badan Kebijakan Fiskal maupun akademisi. Penelitian yang berisi data dan rekomendasi digunakan sebagai acuan peningkatan, perubahan atau justru penghapusan kebijakan pajak tertentu. Perubahan aturan tidak semata-mata hanya untuk meningkatkan penerimaan negara, namun juga untuk belanja yang pada pemerintahan sekarang diprioritaskan infrastruktur. Infrastruktur yang diprioritaskan adalah sektor vital di daerah-daerah yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, yaitu pembangunan irigasi pertanian, proyek pekerjaan umum (PU), proyek infrastruktur kelautan, dan infrastruktur transportasi.

Selain dibuktikan dengan kajian, potensi pajak yang masih bisa digali juga didapat dari koordinasi yang erat dengan regulator industri dan asosiasi pengusaha. Hasil dari koordinasi yang baik dapat menghasilkan rekomendasi langkah ekstensifikasi maupun intensifikasi pajak yang mana yang potensial untuk digulirkan. Selain itu, dengan koordinasi yang baik dengan regulator dan asosiasi industri, otoritas fiskal dapat mendorong industri untuk meningkatkan praktik good corporate governance. Beberapa studi menunjukkan good corporate governance yang bagus akan meningkatkan potensi pajak dan meminimalisir adanya tax avoidance (penghindaran pajak) dan tax evasion (penggelapan pajak).

Duduk bersama dengan asosiasi usaha dan para pelaku industri bisa memberikan salah satu perlu tidaknya pengenaan pajak dan mendapatkan masukan potensi pajaknya. Tentu saja, apabila industri dikenakan pajak tambahan akan ada resistensi di tengah belum membaiknya perekonomian. Sekali lagi, hasil kajian yang membuat simulasi kebijakan pajak dan manfaatnya terhadap perekonomian perlu untuk disosialisasikan agar otoritas fiskal dan para pelaku usaha mempunyai sudut pandang yang sama. Kajian yang dilakukan harus memastikan aturan baru tidak berbenturan dengan aturan yang telah ada, dan industri yang dikenakan pajak tidak dikenakan pajak berganda dengan aturan baru tersebut.

Persiapan Internal

Dengan target penerimaan yang sudah ditetapkan sejak pengesahan APBN-P 2014 pada Februari lalu, tentu saja Direktorat Jenderal Pajak harus segera membuat payung hukum untuk mengejar penerimaan Rp1.484,6 triliun. Wacana-wacana tambahan penerimaan negara sebesar Rp400 triliun harus segera ditetapkan menjadi aturan untuk kemudian disosialisasikan kepada masyarakat.

Setelah menjadi aturan, keberatan dari pihak-pihak yang terimbas kebijakan pasti akan selalu ada. Sepanjang sudah didiskusikan dan dilakukan sosialisasi dengan baik, otoritas fiskal harus secara tegas menerapkan aturan tersebut. Sumber daya manusia yang handal dan dukungan sistem IT pun menjadi prasyarat utama keberhasilan pencapaian target pajak 2015. Jangan sampai aturan yang telah ditetapkan kemudian dibatalkan karena kurangnya persiapan baik sumber daya manusia internal pajak maupun sistem IT yang belum support. Bukan pekerjaan yang mudah memang, namun dengan berbagai insentif dan dukungan pemerintah pusat bagi Direktorat Jenderal Pajak, target yang ada akan bisa tercapai tanpa banyak kendala dari para penolak kebijakan pajak.

*)Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

 

Opini Terbaru