‘Cash Flow Shortage’ dan Drama Harga BBM

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 30 Desember 2014
Kategori: Opini
Dibaca: 132.489 Kali

Oleh: Pringadi Abdi Surya*)

SPBUPada tahun 1972, Club of Rome menerbitkan Limits to Growth yang tesis dasarnya menyatakan bahwa jika borosnya pola konsumsi dunia dan cepatnya pertambahan penduduk sama seperti semula, dalam waktu seabad bumi tidak akan sanggup lagi memenuhi kebutuhan manusia.

Dalam konteks bahan bakar minyak, sejak tahun 1993, produksi minyak bumi Indonesia mengalami kemerosotan. Di sisi lain, pertumbuhan kendaraan terus meningkat. Ada sekitar 1500 motor dan 300 mobil baru yang manambah kepadatan jalan raya setiap harinya. Dari jumlah tersebut, perbandingan antara kendaraan angkutan penumpang dengan angkutan barang berkisar 70:30. Clean Air Asia, sebuah organisasi lingkungan hidup dibawah ADB, Bank Dunia dan USAID, juga memperkirakan bahwa pada tahun 2015 terdapat 540 kendaraan per 1000 penduduk, atau dengan kata lain tiap 2 orang penduduk memiliki 1 kendaraan.

Hal di atas tidak bisa ditampik mengingat pertumbuhan ekonomi yang terus positif, kurangnya layanan angkutan umum dan harga BBM yang disubsidi. Ketiga faktor tersebutlah yang menyebabkan rasio pertumbuhan kepemilikan kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat.

Maka, tidak salah pula bila dikatakan bahwa pemberian subsidi bahan bakar tidak tepat sasaran. Laporan CAA menyebutkan rasio pemakaian BBM di jalan raya adalah lebih dari 60%. Ini juga sejalan dengan kajian Kementerian ESDM. Bahkan World Energy Outlook memperkirakan bahwa laju konsumsi BBM di sektor transportasi negara kita naik dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 2,1% per tahun. Dengan sejumlah fakta tersebut, sebenarnya sudah cukup alasan bagi Indonesia untuk mencabut atau mengurangi subsidi bahan bakar minyak.

Namun, dasar pengurangan subsidi BBM tidak hanya hal-hal tersebut di atas, melainkan Cash Flow Shortage. Sebagaimana kita ketahui, kas adalah raja dalam proses bisnis. Dalam sepuluh tahun terakhir, belanja meningkat dari sekitar Rp 1.042,1 triliun (LKPP 2010) menjadi Rp 1.876,9 triliun (APBN-P 2014). Artinya sumber-sumber pendapatan juga harus mengimbangi belanja negara. Selisih/defisit di antara keduanya ditutup dengan pembiayaan. Tren target penerimaan negara yang tidak tercapai dalam beberapa tahun terakhir kembali terulang di tahun 2014. Di saat yang sama, meningkatnya mandatory spending begitu berpengaruh pada ruang fiskal kita.

Ketidakefektifan dalam pembuatan perencanaan kas, baik di sisi pengeluaran maupun penerimaan, menjadi masalah besar. Di dalam I account APBN bulan September lalu tercatat realisasi pendapatan mencapai 66,1% dengan pendapatan pajak 64,8% sementara belanja negara baru terealisasi 65,8% dengan kontribusi belanja pegawai 71,3% dan belanja modal hanya 37,2%. Artinya, masih ada Rp642,2 triliun belanja pemerintah, di antaranya Rp101 triliun belanja modal yang belum terealisasi untuk sisa tahun anggaran 2014.

Kontribusi pendapatan pajak tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pengeluaran negara. Idiom keluar dari saku kanan, masuk ke saku kiri itu memiliki nilai signifikan dalam realisasi pendapatan. Riil kas atau uang segarnya tidak ada di kas negara. Potongan gaji, pajak-pajak pekerjaan pemerintah semua langsung dipotong melalui potongan SPM.

Hal ini berarti, terdapat keadaan ketika kita butuh dana segar untuk membayar transaksi belanja pemerintah, dana tersebut belum tersedia di kas negara. Hal ini yang sempat terjadi pada beberapa waktu lalu ketiga SP2D terbit di hari Jumat pagi, tetapi uang baru dapat dibayarkan pada hari Senin karena ketiadaan kas (ceteris paribus).

Dalam kondisi yang demikian, dengan perkiraan yang mendekati pasti mengenai target penerimaan negara yang tak akan tercapai di tahun 2014, sempat muncul kekhawatiran transaksi-transaksi yang akan terjadi di bulan Desember terancam tak bisa dibayar. Karena itu, pemerintah perlu melakukan langkah yang cepat dan tepat untuk menanggulangi hal tersebut.

Ketika cash flow shortage terjadi, usaha pertama yang perlu dilakukan tentu mendapatkan dana segar secepatnya. Tetapi dalam konteks judul ini, pemerintah perlu melihat sisi belanja itu. Ada dua isu utama dalam APBN, yakni postur belanja pegawai dan belanja subsidi. Keduanya dianggap membebani APBN. Dalam waktu cepat, tidak mungkin persoalan belanja pegawai dapat diatasi. Maka pilihan kebijakan pemerintah adalah mengurangi belanja subsidi BBM.

Dalam konteks quality of spending, pemerintah mengedepankan pembayaran belanja modal yang sudah akan terjadi (dianggarkan), bukan menggantinya dengan belanja modal baru. Karena permasalahan kita adalah cash flow shortage, bukan alokasi belanja. Yang perlu diperhatikan lebih lanjut, pengurangan subsidi BBM ini haruslah kita lihat dalam konteks kebijakan yang lebih jauh, yaitu dalam konteks perubahan arah fiskal. Arah fiskal selama ini berjalan di satu sisi yaitu  konsumsi. Data-data yang dipaparkan di awal tadi mengindikasikan betapa pertumbuhan ekonomi kita bergerak di sisi konsumsi. Hal ini juga tercermin dari neraca pembayaran defisit kita.

Pertambahan belanja modal dalam 10 tahun terakhir hanya bertambah 5 kali lipat dibanding belanja subsidi yang mengalami kenaikan 12 x lipat. Kenaikan harga BBM saat ini merupakan pencegah resiko pada transaksi berjalan. Dan ini merupakan saat yang tepat untuk mendobrak subsidi yang pro-konsumsi dan mengalihkannya ke belanja modal, atau ke subsidi-subsidi pertanian dan kegiatan produktif lainnya.

Mengedepankan alokasi belanja modal, flat policy bagi belanja barang, mendesain kembali kebijakan subsidi, menghindari meningkatnya mandatory spending, dan reformasi birokrasi yang sungguh-sungguh dari sisi kinerja menjadi alat-alat penting untuk mengubah arah fiskal kita ke sisi penawaran/supply.

*) Pegawai Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI, tulisan ini adalah pendapat pribadi .

 

Opini Terbaru