Cegah TKI Non-Prosedural, Kemnaker Operasikan Layanan Satu Atap di 11 Kota/Kabupaten

Oleh Humas     Dipublikasikan pada 7 April 2017
Kategori: Berita
Dibaca: 28.925 Kali

large_pjtkiSetiap warga negara memiliki hak untuk memilih pekerjaannya baik itu di dalam maupun luar negeri. Negara memiliki tugas untuk memastikan warga negara mendapatkan pelayanan dan perlindungan yang terbaik di setiap prosesnya. Hal tersebut sesuai dengan Nawa Cita khususnya butir pertama yaitu menghadirkan kembali negara untuk mengurus segenap bangsa dan memberikan rasa aman untuk seluruh warga negara.

“Bekerja di luar negeri adalah hak warga negara dan pemerintah hadir untuk melindungi hak tersebut.  Tapi jangan pernah berangkat atau pulang dengan jalur ilegal, gunakan selalu jalur resmi,”ujar Menteri Ketenagakerjaan M.Hanif Dhakiri, Jum’at 7 April 2017.

Setidaknya terdapat empat penyebab utama terjadinya TKI non-prosedural. Pertama, masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang prosedur penempatan dan perlindungan TKI. Kedua, terbatasnya akses informasi pasar kerja dalam dan luar negeri. Ketiga, maraknya praktik percaloan. Penyebab terakhir yaitu praktik migrasi tradisional.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka mencegah TKI non-prosedural tersebut. Salah satunya yaitu melalui Satuan Tugas Pencegahan TKI non-prosedural. Satgas yang terbentuk pada tahun 2014 ini terdiri dari unsur Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Imigrasi, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Perhubungan, Kepolisian dan BP3TKI. Tahun lalu, Satgas TKI non-prosedural berhasil menggagalkan keberangkatan TKI non-prosedural sebanyak 1.310 orang. Sedangkan tahun 2015, 1.584 orang calon TKI yang diindikasikan kuat ilegal berhasil dicegah oleh tim Satgas.

Upaya lainnya yakni dengan memperkuat sinergitas kementerian/lembaga terkait di isu tersebut. Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian, TNI, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Agama, dan BNP2TKI bersama-sama bekerja mencegah terjadinya TKI non-prosedural.

Terdapat enam langkah dalam upaya mewujudkan komitmen tersebut. Langkah pertama adalah memperkuat sinergi seluruh kepentingan melalui penyusunan perjanjian kerja sama yang akan mengatur kewajiban masing-masing pemangku kepentingan. Kedua meningkatkan peran masing-masing institusi untuk sosialisasi tata cara pemberangkatan calon TKI bersama-sama di daerah masing-masing kantong TKI. Ketiga memperketat proses penerbitan paspor dan keberangkatan WNI yang terindikasi akan bekerja keluar negeri secara non-prosedural.

Keempat, penegakan hukum dan pemberian sanksi kepada para pihak yang terlibat dalam proses pemberangkatan TKI nonprosedural ke luar negeri. Kelima, penguatan regulasi dalam rangka memberikan payung hukum bagi upaya pencegahan terjadinya TKI non-prosedural. Keenam kerja sama pengembangan kesisteman dan integrasi dalam rangka mendukung pertukaran data dan informasi.

Perlindungan terhadap TKI juga terus dilakukan salah satunya melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di daerah dalam upaya perbaikan tata kelola Tenaga Kerja Indonesia (TKI). LTSA bertujuan untuk memberikan kemudahan dan kepastian dalam pelayanan penempatan TKI.

Di tahun 2016 sudah terdapat 11 LTSA yang telah beroperasi. Beberapa di antaranya yaitu: Surabaya, Gianyar, Mataram, Entikong, Sumba Barat Daya, NTT, Kabupaten Kupang, Tanjung Pinang, dan Kendari. Tahun 2017 direncanakan akan kembali dibangun LTSA di 10 lokasi kantong TKI.

Kementerian Ketenagakerjaan juga telah menjatuhkan sanksi kepada perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang terbukti melanggar aturan. Sebanyak 46 PPTKIS dicabut izin operasionalnya dan 199 PPTKIS dijatuhkan sanksi skorsing. Dari 46 PPTKIS yang izin operasionalnya dicabut, 14 diantaranya karena mengirim tenaga kerja Indonesia (TKI) tidak sesuai ketentuan (unprocedural), tiga PPTKIS dinyatakan tidak memenuhi syarat perpanjangan, dua PPTKIS terlibat tindak pidana perdagangan orang (TPPO), 23 tidak melakukan perpanjangan izin, serta empat PPTKIS mengundurkan diri.

Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kemnaker Soes Hindarno menjelaskan, pencabutan tersebut bagian dari hasil evaluasi dan pengawasan rutin yang dilakukan Kemnaker. “Baik itu pengawasan administratif, inspeksi lapangan terkait sarana dan prasarana penampungan dan pelatihan, maupun investigasi atas pelanggaran,” katanya.(Biro Humas Kemnaker/EN)

 

Berita Terbaru